02. Kris

10 3 2
                                    


"Yah, dokter bilang sih ada cedera otak yang cukup parah sehingga menyebabkan amnesia." Ucap Rey.

"Katanya aku nggak sadarkan diri hampir 5 bulan lamanya. Nggak ada yang bisa menjamin juga apakah ingatanku bakalan bisa pulih semuanya atau enggak." Rey menghela nafas sebelum melanjutkan, "Aku sendiri nggak bisa mengingat detil kejadiannya sih, yang kuingat hanya saat aku terbangun di rumah sakit, disampingku ada Ayah."

"Hmm, tapi kamu mengenaliku, kan? Rey?" Tanya sosok lawan bicara Rey.

"Kamu... Kris." Jawab Rey.

6 bulan telah berlalu setelah tragedi kecelakaan yang dialami oleh Rey, kondisinya sangat parah ketika pertama kali ia dibawa ke rumah sakit, pecahan kaca helm yang dikenakannya pada saat itu hampir membuat kebutaan permanen di matanya, tungkai bawah kaki kirinya patah, dadanya terluka terkena serpihan dari sepeda motornya, namun, dari semuanya itu cedera di kepalanya lah yang paling parah, jika saja dokter tidak dengan segera menanganinya pada saat itu, mungkin saja Rey hanya akan tinggal nama saat ini.

Kris mengambil kursi di dekat meja komputer Rey, menggesernya mendekati tempat tidur, memposisikannya terbalik dan mendudukinya, tangannya menyilang bertumpu pada bagian atas sandaran kursi itu.

"Terus kondisi kakimu gimana sekarang?" Tanya Kris.

"Sepertinya aku masih bakalan tetap membutuhkan kruk untuk berjalan, sampai benar-benar bisa berjalan normal lagi." Rey mencoba untuk mengangkat tubuhnya dan bersandar pada penyangga bagian kepala tempat tidurnya. Menghela nafas, lalu berkata, "Hanya saja, amnesia ini mengganggu banget sih, aku bahkan nggak ingat hari-hariku di sekolah selama ini, teman-teman, lokasinya. Nama sekolah pun aku baru mengetahuinya dari seragam-seragam sekolah yang tersimpan di lemari. Semakin ku coba ingin mengingat, semakin pening rasanya ini kepala." Ia menaruh telapak kepalanya di dahi, seakan-akan gestur itu bisa dengan segera memperbaiki isi kepalanya yang saat ini sedang error.

"Hey, jangan dipaksakan. Semua butuh waktu untuk pulih. Maaf aku baru bisa menjengukmu sekarang ya, jadi mahasiswa baru ternyata bener-bener menyita waktu loh, tugas kuliah sampai numpuk, haduhh." Keluh lelaki berkacamata itu. "Smartphone mu gimana?? Mungkin kamu bisa mengingat beberapa hal dari situ nggak sih?"

"Rusak, nggak berbentuk, bahkan mungkin nomor SIM Card nya juga sudah mati. Haha." Rey mencoba tertawa, datar, terdengar palsu.

"Yah, sosial media mu juga nggak membantu, kamu bukan orang yang aktif di sosial media sih. Bahkan di instagram fotomu cuman 1, facebook nggak punya, dan aku nggak tahu apakah kamu punya sosial media yang lain atau nggak." Kris menghela nafas, membenarkan posisi kacamatanya dengan telunjuk.

"Sekalipun punya dan aktif, sepertinya aku juga nggak akan ingat kata sandi untuk akses masuk ke sana." Ucap Rey muram.

"Tapi... Aku penasaran. Di samping semua hal yang kamu lupakan. Kamu masih ingat cara berbicara dengan kosakata yang fasih, ya? Kenapa kemampuan berbahasa seseorang nggak ikut hilang pada saat amnesia sih? Lalu, kemampuan untuk berpakaian, baju dan celana, kamu langsung tahu semua fungsi dan tempatnya tanpa tertukar?" Tanya Kris dengan ekspresi wajah serius.

"Kamu... Serius menanyakan hal-hal kayak gitu?" Rey mengernyitkan dahi dan menatap Kris tak percaya.

Terdengar keheningan yang awkward untuk beberapa saat, sebelum mereka tertawa bersama pada akhirnya. Beberapa saat setelahnya, Kris berpamitan pulang dan menitipkan salam untuk pamannya kepada Rey.

***

Kris adalah anak dari kakak mendiang ibunya Rey, sehingga menempatkan ia sebagai posisi kakak sepupu jika dilihat melalui silsilah keluarga. Berbeda dengan Rey yang mempunyai style yang terkesan cuek dan style as I want. Kris terlihat lebih kharismatik dan rapi, rambutnya selalu ia style dengan gaya rambut undercut, ditambah lagi dengan kacamata yang selalu ia kenakan, entah kenapa aksesoris yang satu ini selalu saja berhasil memberikan nilai tambah untuk tingkat kewibawaan seseorang.

"Miawwww, miaww!"

"Halo, Georgie! Sudah lama menunggu? Kamu pasti lapar ya? Kasihann." Kris langsung disambut oleh kucing peliharaan kesayangannya ketika memasuki pintu kos yang ia diami. Meskipun hari ini hari Minggu, setelah memberikan makanan ke Georgie, ia langsung bergegas untuk bersiap menuju ke tempat kerjanya sebagai barista di salah satu coffee shop di dekat kampusnya.

TING!

Pesan Grup Whatsapp Mata Kuliah Teori Ilmu Psikologi

"Besok pagi saya ada meeting, jadi tidak bisa memberikan kelas, silahkan buat kelompok grup berisikan maksimal 4 orang untuk mengerjakan tugas berikut: Jabarkan mengenai Teori Eksistensial Humanistik, termasuk di dalamnya poin-poin mengenai sejarah dan aliran-aliran yang mempengaruhi serta berikan contoh pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari. Sajikan dalam bentuk makalah. Akan kita bahas di pertemuan selanjutnya.

-TTD Dosen"

"... Hanjir! Ini fhugas ga ada selesainya kayaknya, nongol fherus!" Ucap Kris sambil melihat pesan grup di layar smartphone dengan tangan kanannya, di mulutnya tersisip sepotong roti yang ia beli ketika dalam perjalanan pulang dari rumah Rey tadi, sedang tangan kirinya sibuk mengibas-ngibaskan kaus kaki untuk kemudian ia kenakan.

Kris beranjak, "Georgie! Tuanmu ini pergi kerja dulu ya, biar bisa beli makanan buat kita, kamu jaga rumah, jangan dibikin berantakan, okay?" Ucapnya kepada Georgie sambil jari telunjuk tangan kirinya ia goyang-goyangkan ke kiri dan kanan, seakan-akan sedang memberi pesan kepada seorang manusia sungguhan.

"Miawww!" Sambut kucing itu dengan penuh semangat, seakan-akan mengiyakan pesan yang disampaikan majikannya tadi.

***

Rey meraih kruk yang tersandar di ujung tempat tidurnya, dengan perlahan ia mencoba untuk berjalan mendekati lemari buku di dekat meja komputernya, ia mencoba menerawang kembali pesan yang diberikan dokter padanya, yakni untuk mencoba mengingat kembali hal-hal kecil secara perlahan, apapun itu, walaupun mungkin hanya secarik foto, tulisan tangan, ataupun benda-benda yang mungkin saja tersimpan kenangan di dalamnya. Satu yang tersimpan dalam benak Rey, ia bukanlah tipikal orang yang sentimental terhadap barang kenangan, bahkan untuk sekedar berfoto saja ia malas melakukannya.

Jemari tangannya mencoba menelusuri deretan buku yang berjeret di lemari itu. Tidak ada yang menarik ingatannya, hanya sekumpulan buku pelajaran ketika sekolah, dan buku-buku novel thriller mystery yang bertengger di sana.

Komputer. Mungkin saja banyak informasi di dalamnya. Batin Rey. Ia mencoba duduk di kursi komputer dengan susah payah, lalu menekan tombol power untuk menyalakan mesin itu.

Tok Tok Tok

"Rey, kamu masih bangun?" Suara Ayah Rey terdengar dari luar pintu kamar.

Rey meraih kruk dan beranjak dari kursi yang ia duduki, menuju ke arah pintu dan membukanya, "Ayah sudah pulang?"

Di tangan sang Ayah terlihat piring lengkap dengan alat makan dan bungkusan makanan di atasnya.

"Ini Ayah belikan makanan buatmu, segera makan dan minum obatmu, ya."

"Terimakasih, Ayah." Ucap Rey. Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00, ingatan Rey mungkin agak kacau, tapi ia dapat mengingat dengan jelas bahwa Ayahnya tidak pernah membuka toko sampai selarut ini. Sang Ayah lalu pamit setelah memberi pesan agar segera beristirahat kepada Rey.

Rey menutup pintu, berbalik arah dan berjalan kembali ke meja komputer, ia mendapati layar komputernya telah sepenuhnya menyala, ia kemudian duduk dan mengarahkan kursor mouse ke icon user bertuliskan Rey's-PC dan mencoba mengkliknya.

Tentu saja, password! Batin Rey, ia mendengkus kesal.

Tidak ada tombol hintuntuk kata petunjuk di sana, ia mencoba memasukkan tanggalkelahirannya seperti yang umumnya orang-orang lakukan, nihil.

Gadis Beraroma LemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang