Di suatu pagi yang cerah, Mary terbangun dari tidurnya yang pulas. Ia sudah menantikan hari ini sejak dia masih berumur 17 tahun dan memutuskan bahwa ia ingin menjadi dokter bedah spesialis otak.
Ia pergi mandi dan mulai bersiap-siap untuk berangkat ke Rumah Sakit Mustika Abadi, rumah sakit dimana ia akan memulai KOAS-nya. Karin, sahabat dekat sekaligus teman serumahnya sudah meneriakkan namanya dari lantai bawah, "Woi, kebo, udah belom dandan barbie lo. Nungguin lo lebih lama daripada nungguin SIM yang ngga kelar-kelar proses pembaruannya."
Mary dan Karin sudah berteman sejak mereka kuliah di jurusan yang sama, yaitu jurusan kedokteran. Tapi sayangnya, dikarenakan keinginan gelar spesialis mereka yang berbeda —Mary ingin menjadi dokter spesialis otak, sedangkan Karin ingin menjadi dokter bedah jantung— mereka dipisahkan selama 4 tahun lamanya mereka berkuliah di kampus yang sama. Tapi Tuhan sudah menginginkan mereka bersama sepertinya, tidak ada yang menyangka bahwa mereka akan menjalankan kegiatan KOAS mereka di rumah sakit yang sama, yaitu RS Mustika Abadi.
"Mariana Aretha Hussein! Lo daritadi ngapain aja si?!" teriak Karin tidak sabar. "Iya, iya, ini gue turun!" balas Mary. Mary pun turun dengan buru-buru sehingga dompetnya yang tadinya dia bawa dengan jari kelingkingnya jatuh dari tangga, yang lalu diambil oleh Karin. "Jangan lari-lari di tangga!" ujar Karin. Mary pun menghembuskan napasnya secara kasar, "Kan lo yang dari tadi buru-buruin gue". "Ya makanya lo tuh kalo bangun jangan siang-siang." balas Karin. "Sejak kapan bangun jam 6 itu siang?!" tanya Mary. "Sejak lo mutusin kalo lo mau jadi dokter bedah otak terhebat di Jakarta!" balas Karin, tak mau kalah. Mary pun memutarkan bola matanya menandai bahwa dia kesal karena ia tau kalau apa yang dikatakan Karin ada benarnya. "Yaudah, ayo buruan" ucap Mary, tidak mau melanjutkan perdebatan kecil mereka yang sebenarnya sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
Ω
Sesampainya di rumah sakit, Mary dan Karin berpisah ke pembimbing mereka masing-masing. Kondisi rumah sakit tidak penuh dengan pasien pada hari itu, membuat Mary dengan mudah mencari sekumpulan mahasiswa kedokteran lainnya yang sedang bergerombol menunggu pembimbing mereka. Mary berusaha sebisa mungkin untuk mengikuti pembicaraan mahasiswa-mahasiswa yang lain, tetapi tak bisa dipungkiri kalau ia merasa sedikit tertinggal dari topik pembicaraan mahasiswa yang lain. Mary dengan teliti mendengarkan nama masing-masing mahasiswa yang diantaranya adalah Chris, Louise, Siska, Brina, dan Niko.
Mary kehilangan minatnya setelah seorang wanita yang menurutnya memakai terlalu banyak riasan muka saat sedang bertugas, membicarakan dokter senior mereka yang bernama Mark dan Eric. Tanpa Mary duga, seorang laki-laki berkemeja biru muda —yang ia tau, bernama Niko— berjalan ke arahnya. "Lo Mariana kan? Kita pernah papasan waktu pendaftaran KOAS disini". "Panggil Mary aja", ujar Mary, membetulkan cara Niko memanggil namanya. "Oh, sorry. Gue Niko." Ujar Niko sambil mengulurkan tangannya ke arah Mary. "Iya, gue tau kok lo siapa." jawab Mary, sambil menjabat tangan Niko. Dahi Niko mengkerut menandakan bahwa dia terkejut, "Kok lo bisa tau duluan? Perasaan gue belom pernah ngenalin diri gue ke lo deh, sebelumnya." Mary pun kebingungan untuk menjawab pertanyaan Niko, dia tidak akan membiarkan Niko tau kalau daritadi dia menguping pembicaraan dia dan teman-temannya. "Oh, itu tadi —"
Sepertinya dewa neptunus sedang berada di sisinya, karena tak lama kemudian seorang pria paruh-baya yang memakai jas dokter dan tak lupa dengan sebuah stetoskop yang mengelilingi lehernya datang menyambut mahasiswa-mahasiswa tersebut. Mary yang berdiri di barisan agak belakang terkejut melihat muka dokter senior yang datang itu. Ternyata dewa neptunus tidak memberinya banyak keberuntungan. Mary pernah melihat wajah yang sama di sebuah bar. Ah, ingin rasanya dia melupakan kejadian memalukan itu. Beberapa miggu yang lalu, Mary, Karin, dan teman-teman mereka yang lain merayakan diterimanya mereka melaksanakan KAOS di rumah sakit yang mereka inginkan. Saat Mary merasa ia mulai melantur dikarenakan banyaknya minum yang ia teguk pada malam itu, ia pergi ke toilet untuk menyegarkan dirinya. Sesaat setelah keluar, ia mengambil satu gelas wine lagi dan membawanya ke meja tempat dia dan teman-temannya duduk. Di perjalanan, tanpa sengaja Mary menabrak seorang pria berjas hitam rapi dan menumpahkan minumannya ke kemeja putih pria tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Mary menundukkan badannya dan menaikkan badannya berulang kali sambil meminta maaf. Bodohnya lagi, setelah sekitar 5 kali ia melakukan itu, Mary terjumplang dan jatuh ke depan, ke arah pria yang sekarang kemeja putihnya berubah menjadi kemerahan. Dengan sergap, pria misterius itu menangkap tubuh mungil Mary yang terbalut gaun malam bewarna hitam. Mary yang merasa tubuhnya didekap terkejut dan berusaha mendirikan dirinya sendiri. Saat sudah dirasanya dia bisa menopang tubuhnya sendiri, Mary membungkukkan badannya untuk terakhir kali, lalu berlari secepat kilat ke mejanya.
Mary mengedipkan matanya untuk meyakinkan bahwa ini semua tidak nyata, bahwa pria yang akan menjadi mentornya itu tidak mungkin adalah pria yang sama dengan pria yang ia tabrak di restoran pada malam itu. Tapi nihil, di ketipan ke 3-nya ia masih melihat muka yang sama. Mary pun reflek menundukkan wajahnya ketika pria tersebut memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi, semuanya. Perkenalkan, nama saya Eric Robert Winston. Selama kegiatan KOAS kalian, saya yang akan membimbing dan mengarahkan kegiatan-kegiatan apa saja yang akan kalian lakukan di Rumah Sakit Mustika Abadi. Saya sudah bekerja di rumah sakit ini selama kurang lebih 5 tahun. Kalau ada yang ingin kalian tanyakan bisa langsung ke saya ya." jelas Eric. Mahasiswa dengan riasan muka agak tebal —yang Mary tau, bernama Siska— dengan sedikit malu-malu mengangkat tangannya. Eric membiarkan Siska bertanya, "Kita harus memanggil dokter dengan panggilan apa ya? Dokter Eric? Robert? Atau bahkan Dokter Winston?" Eric terkekeh, "Eric is fine." Siska pun mengayunkan badannya ke kanan dan ke kiri tidak jelas.
Eric pun melanjutkan penjelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilalui oleh mahasiswa-mahasiswi didepannya. Di sela-sela penjelasan Eric, ia menyadari satu wanita yang sedari tadi menundukkan wajahnya. "Kamu, iya kamu yang dari tadi menunduk. Siapa nama kamu?" Tubuh Mary menegang, ia mengucapkan segala macam serapah dan doa kalau bukan dia yang dipanggil pria itu. Niko menyikut tangannya menandakan bahwa memang benar dirinya yang dipanggil. Dengan semua sisa tenaganya, Mary menaikkan wajahnya dan menghadap ke pria itu. "Nama kamu siapa?" ulang Eric. Mary menjawab, "Mariana Aretha Hussein, dok" Eric diam sejenak, ia merasa kalau wajah yang diliatnya sekarang ini terlihat familiar, tetapi ia menyisihkan pikiran tersebut untuk saat ini, dan bertanya, "Apa kamu mendengarkan apa yang saya jelaskan barusan?" "Ya, dok. Sedari tadi saya menuliskan semua yang anda katakan ke notes saya." jawab Mary, sambil mengangkat handphone-nya ke udara memperlihatkan aplikasi mencatat yang sudah terbuka. Eric mengangkat ujung bibirnya untuk sesaat, sangat cepat sampai-sampai tidak ada yang menyadari senyum kecilnya selain dirinya sendiri dan Mary yang sedari tadi menatap wajahnya. "Oke, melanjutkan apa yang saya bicarakan tadi..." Eric meneruskan penjelasannya, walaupun ada suatu hal yang baru saja ia sadari.
Ω
Beberapa saat setelah Eric membagi tugas dan membubarkan peserta KOAS ke tugasnya masing-masing, ia terus memperhatikan satu peserta yang menarik perhatiannya. "Ngeliatin siapa si lo daritadi?" tanya Mark, seorang dokter ahli jantung, sekaligus teman baiknya. "Itu, anak KOAS yang rambutnya dikuncir tinggi. Kayaknya gue pernah liat dia, tapi gue ngga tau pastinya dimana" jelas Eric. Mark terkekeh, "Ya lo coba tanya lah, daripada nanti kepikiran pas lo lagi ngoperasi" Eric mempertimbangkan kata-kata Mark. Ia memutuskan untuk mengikuti apa kata temannya yang satu itu. "Mari—"
"Mary!" lantang Alexa, rekan Mark dalam spesialis jantung sekaligus kekasih hatinya. Mary yang sedang dalam perjalanan ke ruang latihan operasi menoleh, "Alex!" ia hampir berteriak kalau saja ia lupa bahwa mereka sekarang sedang berada di rumah sakit. "Oh my god, gue kira kita ngga bakalan bisa ketemu di RS. Lo sih sibuk banget sekarang pas udah resmi jadi dokter bedah jantung" ucap Mary. Alexa terkekeh, "Yaelah, gue ngga mungkin ngga nyempetin waktu buat liat hari pertama lo KOAS disini." Mary tertawa, "Yaudah gue lanjut OR dulu. Jam makan siang nanti, lo free ngga?" "Gue free terus kok hari ini, kalo ngga ada keadaan darurat." jelas Alexa. Mary merengutkan wajahnya, "Kalo gitu lo ngga nyempetin waktu buat gue namanya, emang lo-nya aja yang kebanyakan waktu kosong." Alexa hanya meringis. "Ya udah, gue cabut dulu ya. Takut dimarahin pembimbing gue," pamit Mary, melambaikan tangannya. Alexa tersenyum kecil melihat adiknya yang perlahan berhasil mewujudkan mimpinya untuk menjadi dokter.