- 2 -

0 0 0
                                    

Eric yang daritadi mendengarkan pembicaraan dua wanita itu pun terkejut. Ia langsung menolehkan kepalanya, agar berhadapan dengan Mark. "Itu cewek kenal sama Alexa?" Mark juga terlihat tak percaya, "Emang nama cewek KOAS lo siapa?" "Mari...ana? Arletha Hussein?? Ya, Mariana Arletha Hussein." Mark tertawa. Teman anehnya itu tertawa sangat lantang, sehingga membuat beberapa orang disekitar mereka menatapnya. "Kenapa sih lo? Mark! Jelasin dulu kenapa lo ketawa ngga jelas kayak orang ngga waras!" kesal Eric. "Lo dengerin baik-baik. Alexa Marleen Hussein, Mariana Arletha Hussein." Mark mengatakan dua nama tersebut berulang-ulang hingga Eric sadar akan sesuatu. "Alexa punya adik?" tanya Eric dengan muka yang sudah tidak bisa dikondisikan. Mark tersenyum kecil, "Dia emang sering sih ngomongin seseorang bernama 'Mary', sebelum gue menyibukkan dia untuk melakukan hal lain." Eric mendengus saat ia mendengar perkataan Mark. "Kalau hal ini bikin lo ngga tenang, mendingan lo tanya ke orangnya. Biar lo ngga kepikiran juga kan," jelas Mark lagi. "Terus masa gue harus mendekati adiknya Alexa?" Eric keceplosan. "Daritadi tidak ada yang mengatakan kalau lo akan 'mendekati' adik dari cewek gue." Mark tak bisa menahan senyumnya. Eric gelagapan mencari kata yang tepat untuk membela dirinya, "Maksud gue, apa iya gue harus membicarakan hal yang sebenarnya belum pasti ini, dan menganggu waktu adik dari cewek lo itu?" ulang Eric. "Ya... daripada lo kepikiran kan nanti," jelas Mark. Eric berpikir sejenak, mempertimbangkan apa yang dikatakan Mark.

Tak mau berfikir terlalu lama dan banyak menduga-duga, Eric pergi ke OR 2 untuk menemui Mary. Ia melihat bahwa wanita itu tidak sendiri, ada dua mahasiswa lainnya yang memang memiliki tugas yang sama dengan Mary. Eric tidak mau mengulur waktu, dan memanggil namanya, "Mariana?" Mary yang sedang merapikan dan berlatih untuk menyiapkan alat-alat operasi sebagai asisten utama menoleh, ia makin terkejut saat menyadari bahwa yang memanggilnya adalah pria itu.

Tidak memiliki pilihan lain, Mary mengumpulkan sisa kekuatan yang ia punya untuk berjalan kearah Eric. "Yes, sir?" jawab Mary setelah jaraknya dan Eric sudah terasa dekat. Eric menatap wajah yang semakin lama, semakin ia yakin bahwa ia pernah melihat wajah yang sama di suatu tempat. "Apakah kamu memiliki waktu untuk berbicara?" tanya Eric. "Maaf sebelumnya, dok. Berbicara tentang apa ya?" ujar Mary, kebingungan. "Bukan hal yang terlalu penting sebenarnya, tapi menurut saya hal ini tidak bisa ditunda-tunda," jelas Eric. "Baik, dok. Sebentar, saya akan pamit ke rekan-rekan saya," jawab Mary yang dengan cepat membisikkan sesuatu kepada Niko dan menganggukkan wajahnya ke Brina.

Ω

"Jadi, apa yang ingin anda bicarakan, dokter?" tanya Mary, sesaat setelah mereka keluar dari OR 2. Eric merenungkan kata-kata yang akan ia katakan kepada wanita tersebut. "Dok?" tanya Mary sekali lagi. "Oh ya, ehm. Saya ingin menanyakan satu hal kepada kamu, tapi kalau jawaban kamu bukan jawaban yang saya kira akan terlontar, tolong jangan tertawa ya," ucap Eric tidak yakin. Mary mengerutkan hidungnya menandakan kalau dia bingung. "Memang apa yang ingin anda tanyakan?" Eric diam sejenak, "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Saya merasa sangat familiar dengan wajah kamu," jelas Eric. Mary pun kebingungan, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan pria itu? Kalau jawaban yang sebenarnya saja adalah kejadian yang sangat ingin ia lupakan. "Uhm.... Saya rasa tidak, dok. Kalau memang benar kita pernah bertemu sebelumnya, saya ngga bisa mengingat kejadian tersebut," bohong Mary. Eric pun mengumpat didalam hatinya, harusnya gue ngga nanya dia, ngga penting banget. Dengan canggung, Eric menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal. "Ya udah, lupakan saja pembicaraan kita ini. Terimakasih karena kamu menepati janji dan tidak menertawai saya," ujar Eric. Ia menatap dalam mata hijau tua milik Mary, satu detik, dua detik, terlalu banyak detik terlewat. Eric menggelengkan kepalanya dengan cepat untuk mengembalikan pikirannya yang sepertinya sudah kemana-mana. "Baik, dok," ucap Mary, ingin cepat-cepat kabur dari hadapan pria itu. "Kalau begitu, apa saya bisa kembali ke OR? Atau anda masih membutuhkan saya untuk hal lain?" Mary berusaha untuk mengakhiri obrolan, berharap kalau ini akan menjadi percakapan terakhir mereka. "Yeah, that would be all. Maaf telah menghabiskan waktu kamu," ujar Eric. "Tidak apa-apa, dok."

Sudden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang