Mentari memancarkan sinarnya, cuaca pun mendukung, suasananya begitu sejuk dan memenangkan.
Tampaklah seorang perempuan tersenyum cerah, duduk di sebuah cafe.
"Sudah lama menunggu?" ucap Zayn.
Zayn Alister Fabian, lelaki itu tampil sangat tampan hari ini. Memakai tuxedo hitam, rambut yang berkilau dan rapi. Menambah kesan gagah di mata Sherina Giselle Anastasia.
Keduanya pun duduk berhadapan, ia sempat terpaku melihat sosok yang begitu sempurna di depannya.
"Aku baru saja sampai. Tumben sekali kamu mengajakku ke sini," bingung Anne.
"Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."
"Apa itu?" tanya Anne.
"Saya mau kita putus," ujarnya.
Bak tersambar petir, Anne syok mendengarnya. Apakah ini mimpi? Jika iya bangunkan ia sekarang juga.
Dia tertawa kecil. "Zayn, aku tau kamu becanda, sungguh ini tidak lucu."
"Saya serius, Anne. Hubungan kita cukup sampai di sini."
Perlahan, cairan bening meluruh ke pipi. Semesta bahkan tak mendukungnya.
"Kenapa, Zayn? Kenapa tiba-tiba minta putus. Kita sebentar lagi akan menikah!" emosi Anne.
Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari jasnya, lalu menyodorkannya pada Anne, undangan pernikahan.
"Saya akan menikahi wanita lain."
Anne tertawa miris, melihatnya saja tak sudi. Jemarinya bergerak cepat, mengusap kasar air matanya.
"Oh? Baguslah! Aku doakan semoga pernikahan kalian bahagia."
"Terimakasih, kamu juga semoga mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada saya, Anne."
"Sudah, 'kan?" Anne bangkit dari duduknya, sembari membawa tasnya, "kalau begitu aku pamit."
Bunyi lonceng berdentum, pertanda Anne sudah pergi. Zayn menatap kosong, tersirat akan kesedihan.
"Maafkan saya, sudah menyakiti hatimu, Anne ...."
𓉳𓉳𓉳
"Kakak yakin mau ke sana?" ragu Aska.
"Yakin. Kamu dapet undangan dari dia juga, 'kan, Aska? Kamu harus dampingi Kakak," pinta Anne.
Sembari menyetir mobil, Aska menghela napas berat. Mengapa dia harus terlibat?
Ah! Benar-benar membuatnya frustrasi.
"Bukankah lebih bagus Kakak bawa pendamping ke pernikahan kak Zayn. Alih-alih bareng Aska?" saran Aska.
Anne mengusap dagunya, tersenyum misterius, "kamu pintar juga, nanti kupikirkan lagi."
"Siapa dulu, Aska!" lelaki berumur 20 tahun itu membusungkan dadanya bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLICE OF MEMORIES (Collab WIM)
Storie breviHarta dari sebuah kehidupan tak hanya tentang kenangan, akan tetapi memori yang menjadi induk sebuah kenangan. Menjadi bagian-bagian yang lebih dasar dari sebuah kenangan, lebih banyak, lebih terpajang, dan lebih mengejutkan. Kadang kala, ketetapan...