Bab Tujuh

12 2 0
                                    

Meeting yang penting.

***

Sehabis makan siang, benar saja, ruang meeting sudah terbuka lebar-lebar, menyedot beberapa orang diposisi yang penting di perusahaan ini, salah satunya perempuan dengan pakaian berwarna putih serta rok kentat berwarna hitam, kata Anda, Avita seperti anak yang baru praktik kerja saja, karena pakaian itu.

Avita mencoba fokus dengan apa yang disampaikan Pak Eddy di depan layar proyektor, tapi masih saja, semuanya hilang karena bayang-bayang Drew, yang menyelinap di otak Avita.

Avita sendiri tak meyangka Drew bertindak semanis itu, dan ia pun sama, tidak menyangka bahwa akan bertindak sekejam itu. Tapi, apalagi yang bisa Avita lakukan selain itu, ia mesti tegas dengan keputusan yang ia ambil, ia tidak bisa membayangkan nantinya bagaimana kalo Salsa atau pun Tante Mirna mengetahui perasaanya dan apa yang ia lakukan dengan Drew, Avita benar-benar mendadak merasa tidak pantas bersanding dengan Drew.

Apa lagi yang bisa ia banggakan saat menjadi benalu di hubungan Drew dan Salsa? Apakah Avita tak mempunyai pikiran dan perasaan, ia perempuan dan bodohnya merebut hak perempuan lain, ayolah Avita, hidup hanya sekali, jangan menjdi orang yang natinya akan dibenci.

Saat polpen yang sedari tadi dimainkan Avita direbut oleh Ibu Aisha dari divisi kelayakan kantor dan barang-barang, Avita baru tersadar bahwa sudah tiga puluh menit ia dalam ruangan yang berisi orang-orang penting ini, matanya pun jatuh kepada lak-laki yang sekarang mengganti posisi Pak Eddy itu.

Entah apa yang dikatakan laki-laki itu sejak tadi, tapi demi Tuhan, Avita tak mengerti bahkan ia tak mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu. Sepertinya Avita benar-benar harus keluar dari ruangan ini.

"Baik lah, hanya itu yang bisa disampaikan oleh perusahaan kami Pak," kata laki-laki bertubuh tegap itu, rambutnya tertata rapi, badannya pun cukup membuat mata segar.

"Baik, Pak Sandy terima kasih," balas Pak Eddy saat melihat Pak Sandy selaku Arsitektur yang ditunjuk untuk menangani renovasi perusahaan tempat Avita bekerja.

Saat semua orang yang ada di ruangan itu membersihkan mejanya saat mendengar kata penutupan yang terucap dari mulut Mbak Rini, Avita pun tak mau kalah, ia mesti menetralkan pikirannya, agar semua pekerjaannya bisa ia handle dengan baik, tanpa mecampurkan urusan pribadi dan perasaannya yang tengah kacau.

Setelah Avita benar-benar meninggalkan ruangan itu, mata Avita jatuh pada jam di lingkaran tangannya, satu setengah jam ia berada di dalam ruangan itu, tidak terasa, hingga membuat perut Avita keroncongan lagi.

Sebelum masuk ke dalam sarangnya lagi, Avita memilih berjalan ke luar kantor, mencari udara segar diantara udara yang penuh polusi di kota Banjarmasin ini, selain berniat mencari udara Avita juga berniat membeli jajanan yang ada di depan kantornya.

Bukan OB yang tengah banyak pekerjaan, tapi Avita kapok saat menitipkan belajaannya ke OB, kala itu ekpitasinya hancur lebur, tidak sesuai dengan keinginanya, karena menurut Avita makanan itu adalah satu hal paling penting dalam hidupnya.

Saat langkah Avita berjalan kecil di bawah terik matahari, di sudut taman kantornya ia menemukan Adik kecil – dia lagi, adik kecil yang pernah ia temui waktu ke makan Ibu dan Ayahnya, tengah mengambil bunga kertas yang ada di taman itu.

Masalah bunga kertas, itu, adalah bunga yang paling ditakuti Avita sekarang, karena dulu, dulu sekali, Avita sama seperti anak perempuan itu, suka memetik bunga, rumput bahkan benda apa pun ia pegang, tapi saat berusia enam tahu, Avita terkena duri kecil di batang itu membuat ia menjadi takut, sampai sekarang.

Who? (Tamat / Pindah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang