Janlup vote dan komen biar semangat up-nyaa
🐨HAPPY READING🐨
Ambang kebingungan menyelimuti tubuh Mika yang kini sedang berdiri kaku di depan sebuah minimarket. Setelah membeli dua testpack di apotek terdekat, ia lantas datang ke tempat belanja bernuansa merah biru, keberanian dalam dirinya tak ada untuk memakai alat itu di rumah, terlalu beresiko.
Dengan langkah yang diusahakan tegas, Mika berjalan maju memasuki minimarket tersebut. Tanpa menoleh ke sekitar, ia meluruskan pandangan dan langkah ke arah toilet. Rasanya waktu dan cara jalannya begitu lambat, ia seperti diserang oleh hawa-hawa negatif sekitar. Padahal, orang-orang sekitar sibuk sendiri dengan kegiatan masing-masing. Perasaan sepihak itu membuat Mika mulai mempercepat langkah agar cepat menampakkan kaki di lantai licin khas toilet.
"Awh ..."
"M-maaf." Refleks Mika memusatkan netra matanya ke kiri, kala itu juga keterkejutan meraba sekujur tubuh, memberikan kesan kekhawatiran bahkan sampai merinding yang begitu terasa seakan nyata. Orang yang barusan ia tabrak juga menatapnya penuh keterkejutan, tapi tak lama senyum hangat menyambut baik kedatangannya yang tak dipungkiri.
Keterpakuan Mika yang memakan waktu cukup lama menjadi awal kecerobohan, wanita itu tak menyadari kantung kresek di genggaman jatuh ke lantai, menampakkan isinya yang tak lain adalah dua buah testpack. Sontak setelah berkontak mata, orang yang ditabrak oleh Mika, yang membuat wanita itu terkejut bukan main—tak lain adalah Dina—mengalihkan atensi ke bawah.
Melihat Dina yang menetapkan netra mata ke bawah, Mika pun mengikuti arah pandangnya perlahan. Saliva yang tertahan dengan keras disalurkan ke tenggorokan, menaikkan rasa panik yang kian jadi. Bukannya buru-buru mengambil barang itu, ia justru mematung dengan aliran keringat yang mulai bercucuran liar di dahi.
Mika bukan percaya diri akan aib yang mulai diketahui, melainkan percuma saja, toh sudah dilihat dengan mata telanjang juga.
Di lain sisi, dua benda kecil itu membuat Dina terperangkap dalam zona tanya. Pertanyaan itu dengan liar berkecamuk mengelilingi setiap sudut otaknya, apa benda kecil tersebut ada benang merah dengan permasalahan yang membuat sikap Mika berubah hampir 180°? Apa mungkin suatu nyawa yang tidak diinginkan hadir dalam dunia Mika?
Keheningan yang melanda ruang samping toilet yang sepi itu mulai diputuskan untuk dihentikan dengan dehaman awal yang diberikan oleh Mika, terpaksa senyum kaku ikut masuk dalam perannya yang begitu mendadak. "Itu ..."
Entah, beribu pikiran yang hinggap benar-benar berpengaruh bagi Mika, alasan yang ingin ia lontarkan dengan tenang nan cepat tak sesuai ekspektasi. Pada akhirnya ia kembali bertemu tatap dengan Dina yang kemudian menerbitkan senyumnya kembali.
Mika tahu bahwa Dina terkejut, tapi apa reaksi itu begitu normal untuk ditunjukkan?
"Kalau ada masalah lebih baik cerita, Mik." Bahu Mika yang dipaksa tegap itu kian meluruh lemah. Ucapan sederhana yang sudah umum diperdengarkan itu seakan menjadi penusuk bagi tameng yang susah payah ia tegakkan.
Masih dengan batin yang menyembunyikan rasa kaget, Dina mulai mengambil dua testpack itu, lantas memasukkannya kembali ke dalam kantung kresek, kemudian mengulurkan benda tersebut ke arah Mika. "Gue yang bukan siapa-siapa lo aja tahu kalau lo lagi ada masalah, apalagi keluarga dan sahabat lo."
Uluran tangan itu disambut oleh tangan Mika yang menyimpan pelan gemetaran. Apa ia selama ini begitu payah menyembunyikan sesuatu? Apa diam-diam, keluarga serta sahabatnya juga menaruh rasa curiga padanya?
"Mereka berhak nerima cerita dari lo," ujar Dina dengan nadanya yang semakin melembut. "Mereka bahkan lebih kecewa kalau lo nggak cerita."
Dina kembali mengucapkan kata yang benar adanya. Pasti, kerabat yang baik itu akan kecewa kala tahu ...
"Mereka ngasih lo waktu buat bisa nenangin diri sebentar, bukan buat nyari alasan buat bohong."
... masalah atau cerita itu dari orang lain ketimbang empunya.
___
Dalam bilik toilet, Mika lagi-lagi terdiam, seakan hobi barunya sekarang adalah diam untuk meratapi segala masalah tanpa ada pergerakan. Setelah hasil yang ia lihat baru saja di kedua testpack tersebut, batinnya kembali berpikir, apa masih pantas dirinya memberitahukan apa yang terjadi?
Rasanya ingin menangis, tapi dadanya yang kembali sesak seakan tak memberi izin pada air mata untuk kembali meluruh perih. Tatapannya seperti orang yang tak bersemangat hidup, begitu kosong dengan genggaman tangan sangat lemah masih terus menahan testpack agar tidak jatuh.
Garis yang tak diinginkan pada akhirnya terpampang jelas tanpa rekayasa, membuahkan hasil sebuah getaran bibir yang kelu. Dua garis dengan warna merah pekat menjadi jawaban atas kegelisahan selama ini. Namun kegelisahan yang diinginkan sirna perlahan, justru semakin menampakkan hawanya.
Dalam diam, batin Mika terus kalut mempertanyakan apa langkah yang sebaiknya diambil. Lebih baik harga dirinya atau nyawa yang tak bersalah ini?
Ia tahu kehadiran janin itu tak bersalah, nyawa tak bersalah itu datang tanpa kendalinya. Namun, tak bisa disembunyikan juga bahwa dirinya tak menginginkan kehadiran si mungil itu.
Puing-puing merah itu dengan maksimal segera ditenggelamkan, waktu yang telah terbuang hanya untuk berdiam diri diputuskan untuk dihentikan. Posisi duduk kini berganti menjadi berdiri yang tak bergairah. Tangannya meraih pintu, lantas membukanya pelan. Kakinya kemudian mulai melangkah sampai berpijak meninggalkan toilet.
Semua yang ada di dalam minimarket sibuk masing-masing, tak ada yang sempat hanya untuk melihat kondisi Mika yang berdiri hening dengan pandangan sulit meninggalkan kekosongan. Hawa pendingin yang menyeruak menusuk kulit tidak sebanding untuk mengalahkan dinginnya sakit yang tersirat masih menjalar. Helaan napas pun keluar, menyadarkannya akan dunia yang tak melulu memihak. Kakinya kembali memijak ke arah selanjutnya sampai berada di depan, tatapan kosong itu mulai menitik ke tempat sampah di hadapannya. Perlahan, tak peduli dengan pandangan orang lain yang kebetulan lewat, ia mulai mengambil dua testpack itu, memperlihatkan dengan jelas dua garis merahnya, lantas benda tersebut dibuang untuk menyatu dengan benda lainnya yang sudah tak layak.
Tak ingin melihat sekitar, Mika kembali berjalan dengan pandangan yang ditundukkan, melewati dua pria yang langsung menghindar saat dirinya terus lurus tanpa melihat ke depan.
"Jalan jangan nunduk, Mbak." Teguran itu Mika dapatkan tak jauh dari arah belakang, tapi suara berat itu tak kunjung ia gubris, wanita itu terus berjalan dengan posisi yang sama.
Pria yang barusan menegur—Dean dengan sorot galak—hanya menghela napas kasar. Ia hanya menggelengkan kepala pelan sebagai bentuk lampias, lantas setelahnya langsung masuk ke dalam minimarket. Satu orang lainnya yakni Kevin justru diam membeku di depan minimarket, memorinya yang kuat kembali merekam apa yang menurutnya tak diinginkan. Siluet Mika dengan tangannya yang melepaskan benda bernama testpack masih memutari otaknya.
"Lo kenapa malah bengong?" Dean kembali setelah menyadari Kevin tak mengekorinya sejak tadi. "Katanya lo haus. Kita mau ada meeting, Vin." Ketusan itu tak digubris oleh si empu, Dean yang berada di ambang sumbu tersabarnya mulai memicing tak suka.
"Vin, gue nggak peduli masalah lo sekarang, yang penting bagi gue itu meeting."
Kevin perlahan sadar, tarikan napas telah diambil, matanya menyirat kelimpungan seakan mencari sesuatu yang telah hilang, tak lama netra itu melekat penuh harap ke netra seberang yang sedari tadi menajam. "Setelah meeting, gue mau ngomong."
Masih dalam emosi yang kian membalut, Dean berdecih tak suka, baginya begitu drama. "Sekarang juga bisa."
Dean lihat, kepala Kevin yang biasanya terangkat dengan percaya diri kian meluruh tunduk seperti wanita tadi yang hampir menabraknya. "Lo ingat muka cewek yang tadi?"
___
Kritik dan sarannya Kakak, biar tahu dan bisa memperbaiki kesalahan
Dah dulu, salam manis dari author a.k.a Kyuna/mamangjagung😋
Senin, 01 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir dan Takdir || Jaehyun X Mina ✔️
Fiksi Penggemar[END] Untuk judul buku akan diganti jadi 'Jejak Luka'. ⚠️18+ ___ Semua bermula begitu saja. Mika wanita yang berusia 28 tahun harus dihadapi sebuah masalah yang tidak bisa diterima oleh dirinya sendiri. Prinsipnya perihal pernikahan terpaksa harus...