28° Sebuah Kepastian

66 13 2
                                    

Voment yea biar dapet salam cintah dari jaehyun 😋

Kepergian Fandy meninggalkan bekas rasa gundah yang kian menaik dalam diri Mika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepergian Fandy meninggalkan bekas rasa gundah yang kian menaik dalam diri Mika. Meski sebagian hati memberi empati atas apa yang terjadi di balik latar tegap Kevin, tapi tak munafik jika sebagian yang lain mempertanyakan nasibnya yang seakan-akan begitu malang dan tak ada harapan.

Memang Fandy sempat memberi janji, tapi rasanya hal itu belum cukup untuk membuatnya tenang. Janji membujuk sama saja usaha yang begitu kelabu, tak menunjukkan warna lainnya.

Kemudian netra Mika menatap hidangan yang sudah dibayar oleh Fandy, sepiring roti panggang dengan hangatnya yang mulai luntur benar-benar belum tersentuh sejak tadi, untuk sekarang makanan tersebut tidak menggiurkan baginya.

Mengalihkan pandangan dari roti panggang, kini netra cantik milik Mika berputar ke setiap sudut restoran, mengabsen setiap inci properti yang tak begitu menarik sangking normalnya. Hingga titik pusatnya jatuh pada pintu restoran, seketika pupil mata berkedip menuju gemetaran tak percaya akan apa yang sedang dilihat.

Presensi seseorang di ambang pintu sana memberhentikan fungsi hati Mika yang sebelumnya terlampau khawatir, dengan orang itu yang saling pandang membuatnya yakin bahwa mereka sama-sama menitik pusat pada arah lawan. Bagaimana orang itu berjalan kemudian ke arahnya, pun kian mengundang gundah untuk singgah ke arah lain.

Hingga duduk di depan Mika, netra mereka masih bertemu. Kevin yang sekarang, sadar sendiri bahwa kedatangannya sudah banyak makan waktu, lebih menarik dalam insan si hadapannya ke lubang kecewa. Namun, pria itu lebih menyadari bahwa setidaknya waktu yang diambil lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Maaf." Satu kata itu mengudara beriringan dengan Kevin yang menunduk, degup jantungnya sedikit tertahan kemudian. "Saya yang kemarin sepenuhnya salah karena telah bikin kamu lebih sakit."

Berusaha menghilangkan bayang-bayang predikat pengecut, pun Kevin mengangkat kepala, kembali menitik netra pada Mika. "Saya mau menikah dengan kamu sebagai bentuk tanggung jawab yang layak."

Di saat itu juga, perlahan anggukan dari Mika membungkam tembok pengecut dalam diri Kevin.

___

Perbincangan singkat yang terjadi tadi siang menjadi bukti akan senyum tipis yang Mika usahakan tersembunyi. Namun ternyata mustahil karena senyumannya tidak bisa ditahan.

Bukan senyum mengandung rasa jatuh cinta bagai remaja yang baru beranjak ke arah dewasa, melainkan senyum akan harapan yang akhirnya dapat digenggam, nyawa darah dagingnya sendiri akhirnya sebentar lagi memeluk hak tersebut.

"Dua sejoli lagi gila beneran, sih, kalau kayak gini." Celetukan dari Gema bahkan tak Mika hiraukan, selagi tidak merusak suasana ataupun mengganggu lebih ekstrem, biarkan saja.

"Ini anak lagi jatuh cinta kali, ya." Gema yang pernah merasakan tertimpat monyet pembawa cinta, pun hanya bisa bergeleng maklum. "Tapi kerjaan jangan dicuekin juga kali." Pria klimis itu berucap demikian bukan tanpa alasan, sebab Mika melepaskan tangannya dari troli.

"Kalau nggak ada gue, lo bisa aja kesambet setan genit, Mik."

"Kenapa, sih?" Itu suara tanya milik Lea, wanita itu datang karena kasihan mendengar Gema berbicara sendiri.

Pun Gema menunjuk Mika yang masih setia dalam kebisuan dengan tambahan senyum tipis. "Tuh, teman lo senyum ditahan-tahan gitu kayak orang naber."

Tak menanggapi candaan dengan hal serupa, Lea lebih memilih menoleh ke arah 'teman' yang dimaksudkan Gema, Mika yang masih belum sadar akan tatapan aneh dari orang-orang. Tanpa mengalihkan pandangan, wanita itu menepuk lengan Gema beberapa kali. "Gem, pergi sono."

"Kok, ngusir?"

"Urusan cewek, mau tahu lo?" Tak ayal Gema mengangguk, rasanya tidak sudi diusir karena dirinya sangat penasaran. Namun, ternyata jawaban Lea tidak enak didengar sekalipun. "Jadi cewek dulu."

Pun Gema berdecak sebal, sanubarinya menolak keras perubahan gender seperti LGBT, baiklah itu terlalu berlebihan. "Masalah cewek banget?"

"Iya."

Gumaman pria klimis itu terdengar cukup jelas, tapi tak juga membuat Mika tersadar akan celotehan dua insan bagai kembar itu. "Datang bulan?"

Mendengar hal itu, sudah cukup jelas membuat Lea sedikit terperangah, tak menyangka otak Gema akan mengarah ke sana, walaupun pada dasarnya ia sendiri tahu pria itu memang out of the box. "Udah, pergi sono! Privasi itu, asal nyeplos aja."

Guna mempercepat waktu, Lea mendorong Gema untuk pergi. Si empu yang sudah merasa tak berharga lagi, pun pergi dengan gerakan terakhir yakni menyugar rambutnya yang klimis sebagai perpisahan, yang mana bagi Lea itu menggelikan. Setelah kepergian yang dinanti, titik pusat kembali kepada Mika yang sudah seperti orang kehilangan kewarasan.

Tak ayal, Lea menampar pelan pipi Mika hingga kontan si empu menenggelamkan senyum dan menggantikannya dengan raut kaget. "Kenapa, sih? Kok, tiba-tiba nampar ...?"

"Senyum naber gitu, kenapa? Menang slot?"

"Sembarangan," tukas Mika tak suka dirinya dibilang demikian, meskipun satu sisi tahu bahwa Lea sedang asal ucap. "Tadi banget, Kevin datengin gue."

Mendengar nama Kevin, Lea pun penasaran bukan main. "Dia ngapain?"

"Dia mau nikahin gue."

Jelas saat itu juga tubuh Lea mematung. Meski sejenak, tapi Mika bisa menyadarinya langsung. Entah reaksi apa yang tepat digunakan, bibirnya benar-benar kelu. "Lo ... se—rius?"

Mika tahu ini bukan sepenuhnya kabar gembira di mana dirinya memang mengidamkan hal tersebut. Di mana ... ada kelegaan lebih ke arah posisi janin yang sebentar lagi tenang. Maka dari itu, ia hanya bisa mengulas senyum tipis, lantas mengangguk.

Meski dunia Mika hampir hancur, setidaknya darah daging itu tidak demikian.

"Perasaan lo gimana?" Masih terjebak dalam bingung untuk bereaksi, pun Lea memilih bertanya karena suasana hati Mika tak kalah penting. Siapa tahu, senyum itu hanya mementingkan perasaan lain. "Lo lega? Apa masih ada yang nggak rela?"

"Masih sakit, Le." Mengerti keadaan, bahu Mika diusap pelan oleh Lea, si empu pengusap melupakan panggilan yang tak estetik terucap barusan.

"Pasti sakit."

"Sekarang gue lebih prioritasin bayi yang nggak bersalah ini. Gue tahu lo pasti bakal ngomong nggak boleh egois, pikir diri sendiri juga. Tapi Le, sekarang gue ikhlas dan bahagia kalau bayi ini dapat tanggung jawab yang layak."

"Yang terbaik buat lo. Pesan dari gue cuma satu, jangan egois buat diri sendiri." Mungkin terdengar kembali memperingati, tapi memang Lea berniat begitu. Wanita itu benar-benar tak mau Mika terperangkap lebih jauh dari niat yang begitu baik untuk janin tak bersalah itu.

Padahal tadi dah semangat mau up di jam 8, eh harus badmood gara-gara sebagian chap hilang karena kecerobohan diri sendiri:( pelajaran banget sih biar ke depannya lebih teliti lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Padahal tadi dah semangat mau up di jam 8, eh harus badmood gara-gara sebagian chap hilang karena kecerobohan diri sendiri:( pelajaran banget sih biar ke depannya lebih teliti lagi

Kamis kalian semoga cerah ya ga kayak aku, harus seblakan sih biar mood bagus😤

Dah ya, bye~

Kamis, 22 Februari 2024

Akhir dan Takdir || Jaehyun X Mina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang