Namanya Lea Ashara. Gadis berumur 20 tahun yang mengambil jurusan kedokteran di kampusnya. Ia memang tidak seperti anak-anak sebayanya yang bebas melakukan apa saja. Justru, ia adalah anak yang harus selalu membantu ibunya untuk mencari nafkah.
Kalau diperhitungkan. Sebenarnya yang membayar biaya kampusnya adalah dirinya sendiri. Karena ia mendapatkan uang pembayarannya dari beberapa pekerjaan paruh waktu.
Ibunya juga bekerja membuat bermacam-macam kue yang akan diantar ke toko terdekat, untuk menambah uang masukan. Setiap hari, seperti itulah aktivitas yang ia jalankan bersama sang ibu. Memang melelahkan, tapi itu sudah menjadi kewajiban mereka untuk menjalani hidup.
Hal yang menyebabkan ia dan ibunya mencari nafkah sendiri adalah, karena ayah dan ibunya sudah bercerai 8 tahun lalu. Sang ayah lebih memilih anak dari perempuan lain yang dihamilinya dibanding memilih bersamanya dan ibunya. Memang brengsek. tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Perceraian itulah yang menyebabkan ia harus bersikap mandiri bersama sang ibu.
Bahkan di saat teman-temannya yang lain diantar oleh ayah atau ibunya ke kampus. Ia hanya bisa tersenyum miris dengan perasaan iri yang terselubung di dalam hati melihatnya. Andai ia seperti mereka, pasti menyenangkan. Namun itu hanya kata andai darinya yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Bayangkan saja jika ia meminta ibunya untuk mengantarkannya ke kampus. Ia akan diantar menggunakan apa? Sedangkan ia berangkat ke kampus saja menggunakan bus umum. Lagipula jika ibunya mengantarnya ke kampus, pekerjaan sang ibu di rumah pasti tidak akan selesai. Entahlah, ia pikir hal itu saja sangat sulit.
Ia selalu mengisi hari-harinya dengan kesibukan tertentu. Entah itu bekerja, menyelesaikan tugas kampus, atau terkadang melamun. Karena ia pribadi yang cenderung pendiam, melamun juga termasuk kesibukan untuknya.
Ya meski fakta dari melamun nya adalah, sibuk berperang dengan isi pikiran yang hampir membuat dirinya stress.
Jujur, ia sangat lelah menghadapi semuanya. Walaupun terkesan egois, karena ia hanya memikirkan bebannya sendiri tanpa mengukur beban dari orang lain. Tapi apa salahnya jika ia lebih mementingkan perasaannya? Justru sangat bagus bukan?. Ia bisa hidup tenang tanpa harus menambah beban pikiran dan hatinya.
Namun, ia tetaplah dirinya. Yang selalu mementingkan perasaan orang lain dibandingkan perasaannya sendiri.
Rasanya aneh jika ia mengabaikan orang-orang disekitarnya. Ia terkesan egois. Seakan-akan, itu bukanlah dirinya.
-To be continued -
KAMU SEDANG MEMBACA
ASHARA [ON GOING]
Teen Fiction❝Biar aku jelaskan bagaimana rasanya menjadi seseorang yang dibenci. Dan biar aku ceritakan bagaimana rasanya berjalan di atas luka❞ - Lea