04. Feelings of doubt

129 61 143
                                    

Matahari pagi mulai terlihat. Rutinitas setiap pagi mulai dilakukan. Seperti Lea yang harus berangkat ke kampus hari ini.

"Bu, Lea berangkat ya"

Sebelum pergi, terlebih dahulu ia pamit kepada sang ibu, Deana. Yang sedang menyapu halaman. "Belajar yang rajin ya, hati-hati di jalan nak" ia mengangguk dan tersenyum kepada wanita paruh baya itu.

Selesai berpamitan, ia langsung pergi ke halte agar cepat berangkat. Meski sejujurnya ia tidak ingin cepat-cepat ke kampus, karena ia akan sedikit canggung jika bertemu Gavin disana. Ya jujur, ia masih speechless mengetahui bahwa katingnya itu menyukainya.

"Huh, semoga nanti sampai kampus, aku ga canggung pas ketemu Gavin" ia bergumam sambil menatap keluar jendela bus.

Selama perjalanan ke kampus, ia hanya termenung. Ia tidak tahu harus melakukan apa, ucapan Adista kemarin terngiang-ngiang di pikirannya.

"Emang itu benar ya?" Bukannya tidak percaya, ia hanya ragu.

Bus terus melaju agar sampai di tujuan. Namun pada saat bus umum yang ia tumpangi berhenti di lampu merah, ia yang sedari tadi memang melihat ke jendela bus lantas terkejut.

Ia terkejut karena melihat seorang lelaki dengan motor balap tengah menoleh kearahnya. Ia terus memandangi kepala seseorang yang tertutupi helm itu, tunggu! Itu Gavin?.

Lelaki itu melambai kearahnya. Lantas ia cepat-cepat ia mengalihkan pandanganya. Ternyata tebakannya benar, itu adalah Gavin.

Ia gugup, sangat gugup. Ketika mengetahui bahwa yang sedari tadi menoleh ke arahnya adalah Gavin.

Namun, tidak lama lampu merah itu menyala. Akhirnya tiba lampu hijau, semua kendaraan menancap gas. Termasuk motor Gavin dan bus umum yang ditumpangi Lea.

"Kayanya bener kalau Gavin suka sama aku"

ia menghela nafas pelan. Bukannya ia tidak suka jika Gavin menyukainya, hanya saja ia bingung. Kalian tahu bukan, bagaimana kali pertama rasanya disukai seseorang?.

Ya itulah yang dirasakan Lea saat ini, ia bingung dan gugup.

~~~

"Lea, lo tadi ketemu Gavin di lampu merah ya?"

Lea kaget, bagaimana Adista tahu kalau tadi ia bertemu dengan Gavin di lampu merah?. Padahal ia seharian ini, belum pernah membicarakan tentang Gavin.

Sejenak, melihat ekspresi kaget Lea. Adista terkekeh, ia tahu bahwa saat ini pasti Lea sedang ga karuan.

"Gue tau kok, Gavin tadi nge-chat gue" Lea tersenyum kikuk mendengarnya. Ternyata katingnya itu sudah lebih dulu mengatakannya pada Adista.

"Emm Dis, kamu nanti pulangnya sama siapa?"

"Lo ngalihin topik ya?" Adista memainkan alisnya guna menggoda Lea. "Lo pasti tau kalau gue pulangnya sendiri terus—

—Oh ya, tadi si Gavin juga nge-chat gue. Katanya ntar pulang, lo mau ga di antar dia?"

Mendengar ucapan yang dilontarkan Adista selanjutnya membuat Lea melotot.

Apa-apaan!. Katingnya itu mudah sekali memberi tawaran seperti itu padanya. Padahal ia sama sekali belum berkenalan.

"G-ga dulu lah Dis. Kita ke kantin aja yuk?"

"It's okay, itu menurut kemauan lo aja. Gausah di paksain. Ke kantin? Gas lah"

Keduanya langsung pergi menuju kantin untuk mencari tambahan makanan pengganjal perut. Jangan sampai nanti, keduanya tidak fokus saat sang dosen sudah menjelaskan materi. Apalagi materi tentang 'kehamilan'. Bisa gawat jika keduanya salah pahami.

• • •

Adista rasanya ingin sekali mengutuk Gavin sepupunya itu menjadi pasir. Dulu sebelum Gavin mengetahui tentang Lea, lelaki itu tidak berniat sama sekali untuk bertutur sapa dengannya.

Tapi lihatlah setelah Gavin tertarik dengan Lea, sang sahabat. Rasanya ia muak untuk terus meladeni pertanyaan dari Gavin tentang Lea.

Bahkan tengah malam sekalipun, Gavin rela mengirim pesan pada Adista. Hanya untuk menanyakan tentang Lea lagi. Untung saja ia sayang pada sahabatnya itu, kalau tidak. Pasti ia sudah mengutuk sahabatnya itu karena iri dengan effort Gavin pada Lea.

Ting

Adista langsung membuka handphonenya untuk membuka pesan yang masuk. Ia kira pesan yang masuk adalah pesan penting. Tapi ternyata, itu hanya pesan dari Gavin.

Ia membuka pesan yang dikirim Gavin tersebut. Anak itu tidak ada lelahnya mengirimnya pesan hanya untuk bercerita tentang Lea. Bahkan ini sudah larut malam.


GAVINDRA


Sepupu, send nomor Lea ke gue dong

Handphone Lea rusak. Dia belum niat beli  handphone lagi

Lo kaga bohong kan?

Ngapain gue bohong anjir

Jujur aja udah, ntar gue traktir lo deh

Lah kaga percaya lo?. Lea ntar beli  handphone lagi pas udah mulai ngerjain  skripsi 

Awas lo ketahuan bohong sama gue

Bodo Amat

Setelah pesan yang ia kirim, Adista menutup roomchatnya dengan Gavin dan langsung beranjak ke kamar mandi. Ia tahu pasti Gavin tengah kesal saat ini.

Tetapi, baru sampai pintu kamar mandi. Ia bergumam sambil berpikir-pikir. "Tapi gue bingung. Apa si Gavin beneran serius sama Lea?"

Sejujurnya dari lubuk hati Adista sendiri, ia juga masih ragu pada sepupunya itu perihal perasaannya terhadap Lea. Karena, Lelaki itu baru melihat Lea dan langsung tertarik begitu saja. Mungkin benar ada 'cinta pandangan pertama'. Tapi, tidak mungkin secepat itu kan?.

"Gue harus pastiin dulu. Gue gamau ujung-ujungnya Lea jadi mainan Gavin"

"Tu anak kan kadang gajelas" Mungkin jika ada yang melihatnya saat ini, orang itu akan mengatakan bahwa Adista tidak waras. Karena ia berbicara sendiri ke arah pintu kamar mandi.

Tapi seperti ucapannya barusan, ia akan memastikan niat Gavin yang memang serius atau tidak. Ia tidak akan membiarkan Lea tersakiti hanya karena sepupunya itu.


- To be continued -

ASHARA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang