"Bu, Lea pulang" begitu Lea memasuki rumah. Sang ibu tidak ia temukan, tidak mungkin kan kalau ibunya pergi keluar tanpa mengunci pintu?. Karena pada saat ia dan Adista datang, rumah hanya tertutup asal-asalan.
"Ibu, yuhuu" itu suara Adista yang menyahut mencari keberadaan ibu sang sahabat.
"Kayanya ibu keluar deh" Adista mengikuti Lea yang berjalan menuju dapur. "Gamungkin deh Dis. Ibu kalau keluar rumah, pasti ngunci pintu" balasnya pada Adista.
Adista mengangguk mendengarnya. Benar juga, mana mungkin ibunya Lea pergi keluar tanpa mengunci pintu.
"Jadi gimana nih? lo jadi perginya?"
"Jadi lah Dis, kita tungguin ibu bentar ya"
"Okay gue tungguin deh. Ntar kalau ibu udah dateng, gue mau makan kue bikinan dia dulu. Kangen banget gue tuh, lagian gue udah jarang datang ke-"
"Kalian kapan datangnya?" Tepat. Ibunya Lea datang dan langsung menghampiri kedua anak perempuan itu. "Ibu darimana?, Keluar rumah kok pintu ga dikunci?" Tanya Lea pada sang ibu.
"Ibu tadi da-"
Ucapan wanita paruh baya itu terpotong kala Adista menyahuti lagi. "Ibu, kue yang ibu bikin masih ada kan? Adis minta ya bu" Lea dan ibunya terkekeh melihat Adista. Memang setiap Adista datang kesini, ia tidak pernah lupa untuk memakan kue buatan ibunya Lea.
"Iya masih ada kok, ibu juga nyimpan setengahnya" jelasnya pada Adista.
Adista sebenarnya memanggil wanita paruh baya itu 'ibu'. Alasannya karena, ia merasa kehilangan sosok ibu. Ibunya selalu sibuk dengan pekerjaannya tanpa pernah membagi waktunya dengan Adista. Setiap melihat ibu dari Lea, rasanya ia iri. Walaupun ia dan keluarganya bergelimang harta, tapi ia sendiri tidak merasakan adanya kebahagiaan di dalamnya.
Entahlah, rasanya ia seperti hanya hidup sendiri saat memasuki rumah mewah yang hanya rutin ditinggali olehnya. Berbeda dengan rumah Lea yang walaupun sederhana, tapi rasanya nyaman saat melihat sahabatnya itu selalu berinteraksi dengan ibunya. Ia juga ingin merasakannya, maka dari itu ia juga memanggil ibu Lea dengan sebutan 'ibu'. Lagipula Lea dan ibunya tidak keberatan, lalu apa salahnya?.
• • •
Kini ia dan Adista sedang berada di dapur memakan kue buatan ibunya. Sedangkan ibunya sudah pergi lagi mengantar kue ke toko-toko.
Saat melihat Adista yang begitu lahap memakan kue, membuatnya tersenyum tipis. Sekarang ia paham bahwa bagi Adista, harta tidak menjamin adanya kebahagiaan. Karena hal sederhana saja mampu membuatnya bahagia. Sederhana namun begitu luar biasa.
Adista bingung melihat Lea yang sedari tadi menatapnya. "Lo ngapain ngeliat gue daritadi? Muka gue cemong ya?" Adista berkata sambil mengusap-usap wajahnya.
"Engga kok, cuma ngeliat kamu yang lahap banget makan kuenya" ia terkekeh pelan.
"Gue lahap? Hahaha, wajar sih. Enak banget kuenya tau ga?. Eh kuenya cepat makan. Kita kan masih mau ke cafe, Lea. Ntar kita malah telat "
Lea menganggukkan kepalanya membalas perkataan Adista. Memang sih ia akui bahwa kue buatan ibunya itu enak, tapi sepertinya Adista lebih mendominasi makan lahap karena lapar.
"Eh Lea, ngomong-ngomong setelah lo selesai kerja di cafe. Lo kemana lagi?" Tanya Adista terus mengunyah potongan kue dimulutnya.
"Selesai di cafe, nanti aku bakal ke toko bunga Dis"
"Emangnya lo berapa jam di cafe?"
Lea berpikir sejenak mengingat berapa jam ia harus berada di cafe. "Sekitar 4 jam an lah" balasnya seadanya.
"Setelah lo dari cafe, lo langsung ke toko bunga dong?" Lea menganggukkan kepalanya. "Iya"
"Kalo gitu. Ntar ke toko bunga, gue ikut lagi ya" pinta Adista yang mulai menghabiskan kuenya. "Iya Dis gapapa kamu ikut. Tapi kalo kamu udah cape bilang, ya?" Pintanya.
"Okay beres itu mah" Adista tersenyum sampai matanya tidak terlihat. Yah, perempuan itu memiliki eyes smile.
~~~
Kedua perempuan itu sekarang berada di cafe, sesuai yang mereka janjikan sebelumnya. Dimana Adista terlihat sedang membersihkan meja, dan dan Lea yang mengantarkan beberapa pesanan minuman.
"Semangat Lea!" Lea mengambangkan senyumnya mendengar ucapan Adista. Sempat-sempatnya Adista mengucapkan hal itu saat ia sendiri tengah bekerja.
Adista terus melanjutkan pekerjaannya. Dan Lea juga melanjutkan pekerjaannya mengantar minuman ke meja-meja. Hingga pada meja berikutnya, ia terkejut karena seorang lelaki yang mengenalinya.
"Lo kerja di sini?"
Ia sendiri mengernyit heran. Sungguh, ia tidak tahu siapa lelaki ini. Ia ingin sekali memanggil Adista untuk menanyakan lelaki ini. Namun, sepertinya sahabatnya itu tengah sibuk.
"I-iya, kamu siapa ya?" Pertanyaan Lea membuat lelaki itu terkekeh. "Ah pasti lo ga kenal gue ya?"
Lea menganggukkan kepalanya. "Iya, kamu siapa?. Kamu kenal aku?" Tanya nya bertubi-tubi.
"Jelas lah gue kenal. Lo Lea kan? Teman Adista?" Ia menganggukkan kepalanya lagi guna menanggapi. "Gue Gavin, kating lo di kampus" mendengar ucapan berikutnya, sontak Lea sedikit melototkan matanya.
Ia sungguh bingung. Jika benar lelaki di depannya ini adalah katingnya di kampus, kenapa lelaki ini mengenalnya? Sedangkan ia sendiri tidak tahu siapa lelaki ini.
"E-eh iya kak. Permisi"
Tidak ingin berlama-lama, ia segera pergi meninggalkan meja itu. Nanti sepulang bekerja, ia harus melontarkan banyak pertanyaan pada Adista. Karena lelaki tadi mengenal adista, sepertinya sang sahabat juga pasti mengenali Lelaki yang berbicara dengannya tadi.
Ia harus menanyakannya bertubi-tubi, dan harus segera mendapatkan penjelasan lebih.
- To be continued -
KAMU SEDANG MEMBACA
ASHARA [ON GOING]
Jugendliteratur❝Biar aku jelaskan bagaimana rasanya menjadi seseorang yang dibenci. Dan biar aku ceritakan bagaimana rasanya berjalan di atas luka❞ - Lea