🌸
"Jika lagu drunk text milik Henry Moodie menceritakan tanggal 5 November, maka fatamorgana yang enggan menjadi nyata milikku menceritakan tanggal 16 Agustus"Alvina_ptr
🌸~~~
Lovi Narrendra, gadis bibliophile, itu menyeka keringatnya yang bercucuran. Rambut pendeknya kini lepek dan baju kemeja sekolahnya pun sedikit basah dibagian punggung karena keringat. Kipas angin yang mendjadi fasilitas sekolahnya itu telah menunggunya namun ponselnya berada di tangan temannya.
"Bisa minta tolong kembalikan ponselku?" Tanyanya yang membuat teman-temannya itu meliriknya.
"Kalau aku punya ponsel sepertimu. Aku ngga bakalan minjam punyamu." Nyasia Inez Tsamara yang kerap disapa Inez itu mengembalikan ponsel milik Lovi.
Desya Kaina Ayra Ranaa, teman dekat Lovi itu segera menyeret Lovi ke dalam kelas. Ya, dia tau apa yang akan terjadi bila Lovi tidak segera pergi dari sana.
"Kamu ngga papa, kan?" Tanya Desya yang diangguki oleh Lovi.
Lovi segera mencari buku matematika untuknya belajar. Dia sangat takut jika tidak masuk ke perguruan tinggi negeri.
Zafran, laki-laki berambut lurus yang sedang membaca buku pun menoleh ke arah Lovi. "Apa yang kamu cari?" Tanyanya.
Lovi memandangi Zafran sebentar, "Buku matematika. Kamu bawa ngga?" Lovi masih sibuk mengobrak-abrik laci mejanya.
Zafran menggeleng lalu menyerahkan buku matematika entah milik siapa itu ke Lovi. "Terima kasih."
Sudah satu jam Lovi berkutat dengan buku matematika itu pun merasa suntuk. "Aku bosen," ujarnya sambil menutupi wajahnya.
Desya yang melihat itu pun menyerahkan novel yang sedari tadi dibacanya. Lovi memeluk Desya dan mengucapkan terima kasih. Sesuka itu dengan novel.
"Teman-teman ayo keluar sebentar lagi lomba joget kursi mau mulai," teriak Hafa yang membuat teman-temannya yang sedang berkenala di alam mimpi terbangun begitu saja.
Lovi menyentuh bahu Desya. "Ayo keluar." Desya masih mengumpulkan nyawanya. "Aku malas bangun apalagi keluar."
Tanpa basa-basi Desya menarik Lovi yang akan terjatuh pada dunia aksaranya.
Mereka duduk dibawah pohon. Teringat beberapa jam yang lalu Lovi bertengkar dengan dua temannya.
Segerombolan siswa yang Lovi ketahui adalah siswa kelas sebelah itu berjalan seolah-olah jalan ini hanya untuk mereka.
Seoranglaki-laki berkemeja biru itu mencuri pandangan Lovi. Wajahnya yang tampan, rahangnya yang tegas itu membuatnya berdecak kagum. Siapakah dia? Pertanyaan itu terbesit di benak Lovi.
"Desya, kamu kenal ngga sama temannya Ishan yang pake kemeja biru?" Bisik Lovi takut terdengar oleh orang-orang disekitarnya.
"Temannya Ishan," jawab Desya santai. Lovi pun memukul pelan paha Desya. "Aku salah apa?"
Wajahnya seperti tidak asing di mata Lovi.
"Kamu suka?" Tanya Desya tanpa memandang Lovi.
"Ngga tau. Tapi aku hanya pengin tau itu siapa," jawab Lovi yang masih memandang laki-laki itu.
Sebuah tepukan mengenai bahu Lovi dan Desya. Dia adalah Gilbert Sarfaraz, teman sekolah menengah pertama Lovi. Lovi dan Desya berbeda sekolah dulu.
Laki-laki berperawakan tinggi dan rambut keriting itu memandang satu persatu teman-temannya itu.
"Kalian membicarakan siapa?" Tanya Gilbert penasaran.
Lovi melihat Gilbert sebentar lalu menggeleng. Lovi curiga jika temannya ini sangat ingin tau.
"Oh, ayo lah, man." Sebuah paksaan yang membuat Lovi memilih untuk diam. Dia sangat ingin tau sekarang.
"Kamu kenal ngga sama cowok pake kemeja biru?" Tanya Desya yang sedang mewakili Lovi.
Gilbert memandang Desya sambil menaikan satu alisnya. "Yang mana?"
Desya menunjuk laki-laki yang dia maksud sambil menyenggol Lovi yang sedari tadi memandangi laki-laki itu.
"Aku mengenalnya," ujar Gilbert yang membuat Lovi bersemangat mendengarkan. "Dia satu organisasi denganku. Namanya Galen."
Nama yang tidak asing di telinga kedua temannya, terlihat keduanya saling pandang.
"Lovi tidak ada bosan-bosannya menanyakan laki-laki itu," ledek Gilbert yang membuat Lovi kebingungan.
Desya menyenggol lengan Lovi. "Lihat dia lagi ngomong santai sama teman perempuannya."
"Aku ngga peduli."
"Bohong," ucap Gilbert meledek Lovi.
"Ngapain aku bohong sama kalian. Aku juga baru pertama kali liat dia berkeliaran di sekolah," kata Lovi dengan nada acuhnya.
Desya yang mendengar itu pun memukul lengan Lovi dan membuat sang empu mengaduh kesakitan. "Kemarin sore sebelum pulang sekolah kamu lihat Ishan? Kalau kamu ingat Galen berdiri di samping Ishan."
Lovi mengingat kembali apa yang terjadi kemarin sore. Namun dia benar-benar tidak mengingat apapun.
"Coba kamu ingat-ingat lagi," pinta Desya saat melihat Lovi menggeleng.
"Aku benar-benar ngga ingat apapun soal Galen kemarin sore," jawab Lovi yang bersikukuh dengan jawabannya.
"Kalian bisa diam?" ujar Gilbert yang membuat mereka berdua terdiam. "Lomba mau mulai."
Sepanjang perlombaan mereka hanya mengomentari pemain-pemain yang payah dalam lomba joget kursi itu.
Lovi masih memandangi Galen yang sedang bercengkrama dengan teman perempuannya. "Kalau aku suka dia, aku milih buat mundur, sih."
"Dapetin dulu aja hatinya. Dia orang yang baik," ujar Gilbert yang mendapatkan tatapan mematikan.
Menurut Lovi baik atau tidaknya seseorang belum tentu dibelakang juga baik. Ingat dia baru mengenal Galen beberapa menit yang lalu.
Desya menyenggol lengan Lovi. "Tolong fotoin Fahiz."
Lovi mengangguk malas yang dihadiahi pelukan erat Desya yang membuat dia sesak nafas.
"Aku bakalan fotoin tapi lepasin dulu pelukanmu," kata Lovi sedikit mendorong Desya yang terkekeh itu.
"Aku ke kelasku," izin Gilbert yang diangguki oleh teman perempuannya yang sedang sibuk membahas foto.
"Fahiz itu ganteng, tinggi, dingin juga karakternya," ujar Desya sambil menunjukan foto yang tadi dikirim oleh Lovi. Desya sedang dimabuk cinta sekarang.
"Ayo ke kelas. Lomba telah usai," kata Desya.
"Tunggu."
"Kenapa?" Tanya Desya keheranan.
Lovi menggeleng lalu menyeret Desya ke kelas. Sebenarnya dia ingin berjalan dibelakang Galen dan teman-temannya. Urungkan saja itu membuat Lovi geli.
Bagaskara melambaikan tangannya dan akan kembali esok pagi dengan semangat yang baru. Cepat sekali hari akan berlalu.
Lovi dan Desya berjalan bersamaan untuk pulang.
"Dzikra dilabuih oleh Inez dan Enisa," adu Lovi kepada Desya yang sedang memainkan ponselnya.
"Biarkan saja. Mari pulang, ibuku telah menjemput."
Lovi mengangguk lalu berlari mendahului Desya.
"Lovi, tunggu aku."
Mereka tidak sabar untuk menanti hari esok yang penuh dengan enigma.
~~~
Hi!
Apa kabar, semuanya?
Jangan lupa bahagia dan sampai jumpa.
Bye! Bye!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatamorgana yang Enggan Menjadi Nyata
Teen FictionBayangan tentangmu terekam di benakku. Caramu tertawa, tersenyum, berbicara masih tersimpan di benakku. Namun, hal tersebut luntur saat mendengar kabar dari seorang kawan. Sakit? Jangan tanyakan hal tersebut. Sebelum seorang kawan menyampaikan kabar...