🥀
Mengingat hari itu membuat derai air mata bercucuran tanpa disadari oleh pemiliknya. Jika Si Pemilik berani membuka litaninya, dia yakin prosa nan dikara miliknya berhenti menerima aksara yang ditulis olehnya.
Alvina_ptr
🥀
~~~
Lovi mendudukan dirinya di kursi milik Ece. Dia ingin bercerita dengan Desya. Mereka adalah teman dekat yang termasuk ke dalam kelompok pendiam di kelas.
"Lovi, aku mau nanya. Gilbert punya pacar?" Tanya Dzikra tiba-tiba. Dia harus menghadap ke belakang untuk bertanya.
"Ngga tau aku. Sudah lama dia ngga jawab pesanku. Mungkin dia punya pacar," jawab Lovi sambil menunjukkan pesannya yang belumdijawab oleh Gilbert.
Dzikra mengangguk lalu melanjutkan perbincangan dengan teman-teman yang lain.
~~~
Suara bersatunya papan tulis dengan penggaris besi terdengar nyaring. Bencana dimulai dari sini.
"Dengarkan baik-baik biar ngga ada yang nanya nantinya. Lomba kesenian nanti kita usung dengan tema kebudayaan. Jadi nanti kita bakal nampilin kentongan pada tanggal dua puluh sembilan Oktober nanti. Buat latihannya sudah ditentukan, yaitu hari Sabtu dan Minggu. Masih ada waktu satu bulan buat latihan," ucap Hafa dengan lantang.
Lovi dan teman-teman dekatnya hanya mengerutkan dahinya. Mereka pilon dengan lomba kesenian yang sudah dirancang itu. Namun mereka memilih untuk diam dan menyetujuinya.
"Aku bener-bener pengin lulus biar cepet keluar dari sekolah. Bukan karena sekolahnya tapi teman sekelas," bisik Lovi kepada Desya. Desya yang mendengar itu pun memamerkan jempolnya tanda setuju.
"Bagaimana kalian setuju? Kalau ngga setuju ngomong aja," ujar Hafa sedikit menyindir sambil melihat ke arah Lovi dan yang lainnya dengan ujung matanya.
"Betul. Ntar ada yang ngomongin di belakang, kami ngga mau tanggungjawab." Suara menyebalkan Aeleasha terdengar.
"Cepet tetangga ngomong mumpung kita kumpul di kelas," kata Azkia sambil mencoret-coret papan tulis.
"Kalian buat rencana lomba itu tanpa kami?" Tanya Nadira yang masih terheran-heran dengan tingkah laku mereka.
"Nungguin kalian bakalan lama. Aku udah ngomong sama pelatihnya sama Rifana kemarin sore."
Ucapan Hafa membuat yang mendengar begitu tidak menyukainya. Mereka benar-benar sudah tidak menganggap Lovi dan teman-teman dekatnya adalah keluarga. Mereka hanya budak bagi raja dan ratu di kelas.
Rifana mengangguk mantap mendengar ujaran Hafa yang menjengkelkan itu. "Pelatihnya udah setuju. Kalian siapkan duit lima ribu setiap latihan."
Menurut beberapa teman-teman yang pilon itu cukup menguras tenaga dan juga dompet tipis mereka.
"Setuju," teriak Nadira mewakili teman-teman yang tidak setuju. Ya, beberapa dari mereka tidak setuju dengan diskusi kali ini.
"Baiklah, aku anggap semua setuju. Jangan ada yang ngomongin di belakang kami," Kata Hafa yang diakhiri dengan tawa menegerikan. Lovi menatap datar Hafa yang sedang tertawa itu. Sungguh menyebalkan.
~~~
Bel istirahat berbunyi, para siswa berhamburan ke luar kelas. Bel yang mereka tunggu-tunggu sedari tadi. Mereka ingin melepas penatnya tugas yang dapat membawa mereka ke jalan sukses masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatamorgana yang Enggan Menjadi Nyata
Novela JuvenilBayangan tentangmu terekam di benakku. Caramu tertawa, tersenyum, berbicara masih tersimpan di benakku. Namun, hal tersebut luntur saat mendengar kabar dari seorang kawan. Sakit? Jangan tanyakan hal tersebut. Sebelum seorang kawan menyampaikan kabar...