(preview) Bagian 1

5.9K 722 59
                                    

...

...


"What you do? Buruan ambil your lunch sebelum bel masuk."

"Nggak, gue skip aja." Aku mengibaskan tangan singkat mendengar ucapan Mark yang sibuk makan di seberangku bersama Lucas.

"Lha kok gitu? Gue ambil deh jatah lo ya?!" Lucas— yang memang sangat lapar siang itu, nampak sangat bersemangat. Yah, memangnya kapan dia tidak lapar?

"He'em, ambil aja," jawabku acuh, masih sibuk menulis tanpa menoleh sekalipun ke arah mereka, entah apa reaksinya.

Mark sepertinya heran, aku tahu dia sadar sejak keluar kelas jika aku membawa buku matematika sekaligus catatan.

"What you dooo...!" Suara Mark mulai meninggi, aku tahu dia akan kembali menanyakan ini. Tentu saja dia bertanya-tanya karena hari ini kami tidak ada kelas matematika.

"Ini, nulis catetan buat Jeha." Aku menjawabnya, tersenyum tanpa sadar.

"That gurl again?" Kerutan di dahi Mark nampak semakin nyata, meneguk air mineralnya, teman blasteranku terlihat menatap tidak percaya. "Are you her tutor or what? Did she pay you?"

Pertanyaan Mark— yang sebenarnya adalah sindiran, terdengar cukup menggelikan atau aku yang tampak menggelikan di matanya. Tapi semua kata-kata Mark berhasil membuatku tertawa kecil dengan singkat.

"Dia nggak pinter matematika, Mark. Jadi gue pikir dia bakal butuh banget catetan ini. Kasian dia kayaknya kesulitan banget," aku mencoba menjawabnya dengan logis. Tapi aku jujur.

"Hul... so cheesy." Mark malah ngedumel sembari melahap satu persatu buah jeruknya.

"Why cheesy? Aku cuma bantuin dia."

"You do like her."

Mark to the point. Aku terdiam sesaat.

"I do," jawabku tanpa ragu sedikit pun.

"Sheeshhh, it's not you—!"


...

...


Bukan percaya diri, tapi setiap melihatku dia selalu sangat antusias dan berisik. Memanggil namaku sembari berteriak seperti melihat seorang idola. Hahaha... dia lucu, kan? Gadisku.

Anak perempuan dengan rambut pendek itu berlari dengan langkah kecil-kecil keluar dari kelas, menerjang siapa saja yang menghalangi jalannya seperti dinosaurus kelaparan. Gelakku mengalun pelan, tak sabar ingin merengkuhnya, meski aku tak akan melakukan itu.

Ini sekolah, lagipula kami tidak boleh melakukan banyak kontak fisik. Kak Jaehyun akan marah. Si sulung yang seperti pendekar berkuda hitam, siap menyerang siapapun yang menyentuh putri kerajaan.

"Hehe," anak perempuan itu tahu-tahu malah cengengesan di depanku, entah apa maksud di balik tawa mencurigakan itu.

"Haloo," aku menyapa, seperti biasanya, dengan eye smile yang selalu dia elukan setiap waktu. Seolah-olah dia lebih jatuh cinta pada mataku yang tersenyum seperti bulan ketimbang diriku sendiri.

"Beli odeng—!"

Aku langsung menggeleng kukuh sebelum anak perempuan ini menyelesaikan kalimatnya. "Nggak boleh ya, kamu udah janji nggak akan kemana-mana dan langsung pulang."

Ku lihat, wajah cantik yang selalu berseri seperti kelopak cherry blossom di musim semi itu merengut. Dia mencoba membuat wajah sejelek mungkin meski masih terlihat cantik di mataku— tapi kali ini dia lebih terlihat seperti kelopak bunga yang mengkerut karena hawa musim dingin.

"Kenapa sih? Aku mau odeng!"

Aku menggeleng lagi, mencoba untuk tidak terperangkap oleh tipu daya gadis cilik yang selalu bisa mengendalikanku dengan wajahnya yang memiliki 1001 ekspresi.


...

...


"Jeha-ya," aku memanggilnya sembari membawa gadis cilik itu berjalan. "Aku nggak bisa menjamin kalau aku bakal selalu ada di samping kamu, jadi kamu harus bisa berusaha ngelakuin semuanya sendiri, ya? Kalau kamu nggak mau berusaha sendiri, gimana jadinya waktu aku nggak ada—"

"Maksud kamu apa? Kamu mau kemana? Kamu bakal terus di sisi aku."

Anak perempuan itu berhenti, memotong kalimatku bahkan belum sempat aku menyelesaikannya. Kepalanya itu menoleh— sedikit mendongak karena aku lebih tinggi, tatapannya sangsi, seperti tidak suka mendengar asumsi yang belum selesai ku lontarkan.

Sejujurnya, aku mengatakan semua itu tanpa sadar, seperti ada dorongan dalam dadaku yang meronta untuk dikeluarkan melalui tenggorokan, dan pada akhirnya kalimat-kalimat itu menyinggung hatinya.

Aku menyesal seketika.

"Iya, maaf. Aku bakal selalu ada di sisi kamu, aku nggak akan pernah... ninggalin kamu lagi." 


...

...


Ku rasakan, sebuah tangan mencengkeram lenganku dengan kuat dan mengguncang tubuhku, memaksaku untuk kembali ke realita. Guncangan itu membuatku menarik napas panjang, dan pandangan kabur itu perlahan mulai memudar.

Siapa itu? Pria bertubuh tinggi? Pakaiannya hitam—

"Hah!!"

Plak!

Aku menyabet tangan itu dengan lenganku dan mundur tiga langkah hingga menubruk pagar rumah. Napasku menderu seperti habis berlari sejauh ratusan meter, sempat ketakutan melihat orang yang mencengkeram lenganku.

Tunggu.

Itu Jaemin.

Napasku masih tersengal ketika indra penglihatanku benar-benar telah meyakini bahwa orang yang menyadarkanku barusan adalah saudara tiriku yang baru saja keluar dari garasi. Jaemin memandangku dengan wajah syok sekaligus khawatir, dia terus menggerakkan tangannya dan mencoba untuk mendekat meski ragu karena baru saja ku pukul tadi.

Sepertinya dia sedang bertanya apa yang terjadi padaku dan apakah aku baik-baik saja.

"Maaf," ujarku, atas tindakanku yang memukulnya barusan.

Sepertinya aku benar-benar tersadar dari halusinasi. Mungkinkah karena kurang tidur?

Anak itu bertanya lagi dengan gestur, aku yakin dia masih bertanya apa yang terjadi padaku.

Menggeleng pelan, aku mencoba untuk memasang sebuah senyum dan mengelap sedikit keringat yang mengembun di dahi dengan gerakan cepat.

"Nggak apa-apa."

Dengan cepat, Jaemin mengambil catatan kecil yang ia bawa dan menulisnya. "Tidak apa-apa bagaimana? Kamu seperti terkena asma."

"Nggak kok, serius. Nggak apa-apa, cuma... agak sakit aja kepalaku," aku berkilah sekenanya. Tapi memang kepalaku benar-benar sakit.

Sekarang pun masih sedikit berdenyut, ku rasa benar aku kurang tidur.

"Kalo gitu... aku masuk dulu ya."

Membenarkan kembali tas sekolahku yang merosot, aku menepuk pundak Jaemin yang sepertinya tidak puas dengan jawabanku. Ku lihat, sepedanya pun tergeletak, seperti habis ia jatuhkan begitu saja.

Meninggalkan saudaraku di pelataran rumah— entah akan pergi kemana ia, aku masuk melalui pintu utama, sama sekali tak menoleh ke belakang untuk melihat reaksi Jaemin.

Aku sungguh tidak tahu bagaimana ketakutan itu datang begitu saja.

Rasa takut untuk melihat ke belakang. 


...

...

Dear, you [DEAR J II]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang