...
...
Tiba-tiba, dia mencolek lenganku saat membereskan buku kami, menunjukkan sebuah coretan kecil di bukunya. "Bagaimana rasanya bersekolah di tempatmu? Kelihatannya menyenangkan."
Aku terdiam sesaat, bingung akan pertanyaan abstrak yang ia tulis untukku. "Yahh, kayak sekolah pada umumnya sih, sama aja kok kayak sekolahmu."
Dia manggut-manggut, lalu menulis lagi. "Bukankah akan menyenangkan jika kita bisa satu sekolah? Aku ingin bersekolah denganmu, dan mendapatkan PR yang sama, lalu bisa kita kerjakan bersama juga."
Membaca itu, aku tergelak kecil. "Hahaha, gara-gara pengen dapet PR yang sama?"
Anak itu melotot kecil, menggeleng cepat. "Tidak! Aku memang ingin bersekolah denganmu, tidak perlu mengaku sebagai saudara, kita bisa berteman biasa saja di depan murid-murid lain nantinya."
Aku masih tersenyum kecil, agak takjub dengan idenya yang sebenarnya tidak buruk.
"Kalau sekarang kamu mau pindah sekolah ya enggak bisa, kan bentar lagi ujian kenaikan ke kelas 3, nanggung tau, nanggung," gelakku.
Lantas ia meringis kecil, lalu mengangguk. "Iya, nanti malah jadi kesulitan kalau pindah sekolah saat kelas 3."
Benar, sebentar lagi kami semua akan menjalani ujian kenaikan ke kelas 3, rasanya waktu cepat sekali berlalu, dan sebentar lagi aku akan kelas 3 SMP lalu setahun berikutnya akan masuk SMA—
"Nanti saat SMA... apakah aku bisa bersekolah di tempat yang sama denganmu?"
Tatapanku berpindah dari tulisannya menuju ke wajahnya yang nampak cerah dengan sepasang obsidian cemerlang, berseri seolah dia sangat mengharapkan aku menjawab pertanyaannya seperti yang ia inginkan.
"...mau sekolah di SMA yang sama kayak aku?" Aku tersenyum— lebih ke tergelak kecil.
"Iya, iya. Apakah... kamu bisa meyakinkan papa dan mama nanti? Aku berjanji akan menjaga sikap dan tidak akan mengaku sebagai saudaramu kok! Kita kan bisa berteman biasa saja seperti anak-anak lain! Bukankah akan lebih menyenangkan seperti itu ya? Aku juga ingin berteman dengan temanmu yang kemarin, Mark kan namanya? Ayo kita berteman dengan yang lain juga!"
Aku membaca tulisannya selagi dia terus menulis kalimat panjang yang sangat jelas intonasinya karena ia bahkan juga menambahkan tanda baca.
Karena aku tak kunjung menjawab selama 2 menit, anak itu menggoyangkan lenganku, masih dengan senyuman lebar antusiasnya yang khas. Seolah dia sedang berkata 'ayo jawab, jawab aku!'
...
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, you [DEAR J II]
RomanceTeruntuk yang terkasih, Aku masih mengingat begitu banyak janji yang kita buat di masa lalu. Janji verbal yang klise, yang akan segera terlupakan begitu saja seiring berlalu waktu. Dan andai kau tahu... hingga nafas terakhirku, aku hanya melihat ba...