...
...
Aku mengarahkan kamera ponselku ke arah jendela, memotret hujan di luar dari dalam kamar, kemudian mengirimnya pada anak perempuan ceria yang entah sedang apa di rumahnya.
Hujan deras banget.
Itu caption yang ku tulis pada foto yang ku kirimkan pada Jeha.
Tak ada balasan. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Sepuluh menit.
Sampai hampir lima belas menit pun, tak kunjung ada balasan dari Jeha. Dia juga belum membaca pesan yang ku kirimkan atau membuka gambar itu. Biasanya anak itu sangat fast respond. Ah, mungkin sedang sibuk atau membantu bunda Taeyeon di dapur?
Tok tok tok
Terperanjat kecil, aku nyaris menjatuhkan ponsel ketika seseorang mengetuk pintu kamar. Cukup kencang, tapi sepertinya aku tahu siapa itu.
"M-masuk aja, nggak dikunci!" Teriakku.
Yang jelas aku tahu itu bukan mama atau papa, mereka tidak akan mengetuk dan akan langsung membuka pintu jika datang ke kamarku.
Tak berapa lama, pintu itu langsung terbuka, sebuah kepala berambut hitam menyembul keluar. Dia terlihat mendorong pintu dengan bahunya, dan membawa sebuah nampan yang berisi dua mug putih yang masih berasap.
"Jaem," aku langsung berdiri begitu melihatnya membawa minuman dan menutup pintu dengan kakinya.
Anak itu hanya sumringah, lalu datang mendekat padaku— ke arah meja, kemudian meletakkan nampan itu. Dia melakukan beberapa gestur, yang sepertinya mempersilahkanku untuk minum. Sejauh yang ku tangkap.
"Buat aku?" Aku mencoba memastikan, dan dia langsung mengangguk dengan semangat. "Hot choco?"
Dia mengangguk lagi, kemudian memilih untuk duduk di karpet, tepat di dekat ranjang. Aku dengan refleks juga turut duduk di hadapannya, menerima mug putih itu dengan hati-hati.
"Makasih ya," senyumku tipis.
Dia terlihat sangat senang, effort yang dia lakukan membuatku cukup tersentuh. Aku sama sekali tidak kepikiran membuat segelas coklat panas di hari berhujan seperti ini, tidak ku sangka Jaemin sangat peka. Bukankah akan menyenangkan minum coklat panas setelah kehujanan?
"Kamu udah makan?" Tanyaku, sekadar berbasa-basi.
Dia mengangguk dua kali, kemudian mencatat dengan cepat dan memperlihatkannya padaku. "Apakah kamu belum makan? Haruskah kita memasak sesuatu?"
"Ohh nggak! Aku udah makan kok, tadi sebelum pulang aku makan dulu."
Ku lihat, dia ber-oh kecil hingga bibirnya membulat—lagi, lalu tersenyum. Tak banyak yang kami bicarakan beberapa saat kemudian, Jaemin sibuk meniup coklat panasnya, dan aku memotret coklat panasku yang masih mengepul.
Aku mengirim foto itu kepada Jeha— yang rupanya dia masih belum membalas foto hujanku tadi.
Hujan gini enak banget minum hot choco, kamu juga jangan lupa buat. Begitu captionnya.
Kemanakah perginya bocah tengil yang selalu fast respond dan antusias saat chatting denganku itu? Sudah lumayan lama, apakah dia benar-benar sibuk? Apakah sedang mengerjakan PR? Oh, atau mungkin sedang main dengan Kak Jaehyun?
Aku sibuk menggulir room chat dengan Jeha, membaca chat-chat sebelumnya yang akan membuatku tersenyum dengan tiba-tiba dan melupakan coklat panas yang sudah melambai-lambai ingin segera diteguk.
Jaemin sepertinya sadar dengan gelagatku yang aneh, rupanya anak itu memerhatikan sejak beberapa saat yang lalu, sejak aku memotret coklat panas dalam mug putih sambil tersenyum-senyum. Sampai akhirnya dia menuliskan sesuatu, dan memperlihatkannya kepadaku.
"Apakah ada sesuatu yang membuatmu bahagia? Kamu benar-benar terlihat berbeda sekarang."
...
...
"Setahuku kamu adalah anak yang sangat suka belajar dan main basket, mendengarmu yang membicarakan anak perempuan untuk pertama kali, itu mengejutkan. Kamu benar-benar menyukainya, ya?"
"He'em," aku mengangguk kukuh, "walaupun dia ngeselin, aku pikir dia satu-satunya yang bisa mengalihkan duniaku. Jaem, bahkan... aku udah janjiin dia buat menikah di masa depan, berlebihan banget ya? Hahaha."
Lantas, saudaraku itu segera menggeleng dengan cepat, lalu menulis lagi dan aku menunggunya dengan sabar. "Mengapa tidak? Jika kamu bisa mempertahankan cintamu padanya, itu tidak akan mustahil. Sama sekali bukan hal yang berlebihan."
Aku tersenyum setelah membaca kata-kata anak laki-laki itu, tersenyum seperti orang sinting, seperti pasien rumah sakit jiwa yang baru saja kabur.
"Ini, liat deh. Ini anaknya, keliatan tengil banget kan walaupun di foto?"
Dengan refleks, aku memperlihatkan satu foto Jeha di ponselku— foto selfie yang dia ambil sendiri, dengan telapak tangan di pipi kanan, dan manyun seperti anak bebek. Mata bulatnya yang jernih tampak bersinar dengan cerah.
Jaemin sedikit memajukan tubuhnya, mengintip foto yang ku perlihatkan padanya. Dia tampak terdiam selama beberapa saat, entahlah, sepertinya sedang menelisik apakah Jeha benar-benar terlihat seperti anak perempuan tengil dan centil.
"Lucu banget kan? Cantik kan Jaem?"
Tapi ku pikir-pikir... seharusnya saat itu aku tidak pernah memperlihatkan foto Jeha kepadanya.
Ya, seandainya saja, aku tidak melakukan itu...
"Iya, cantik, cantik sekali."
...
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, you [DEAR J II]
RomanceTeruntuk yang terkasih, Aku masih mengingat begitu banyak janji yang kita buat di masa lalu. Janji verbal yang klise, yang akan segera terlupakan begitu saja seiring berlalu waktu. Dan andai kau tahu... hingga nafas terakhirku, aku hanya melihat ba...