...
...
"Jaemin?"
Aku berlari kecil, menghampiri Jaemin yang menunduk di bangku kayu panjang sembari mengoles sesuatu pada lututnya. Dia masih menggunakan seragam sekolahnya juga, dan sepedanya ku lihat ia sandarkan di dekatnya.
Mengabaikan Mark yang ikut berlari mengikuti, kehadiranku membuat Jaemin terkejut, anak itu menegakkan punggung, wajah terkejutnya benar-benar sungguh tak bisa disembunyikan.
"Kok luka?" Fokusku langsung tertuju pada lututnya yang terlihat ada sebuah memar dengan lecet, di dekatnya juga ada kapas dengan bekas darah. "Kamu jatuh?" Aku bertanya lagi.
Jaemin hanya nyengir kecil, kemudian mengangguk.
"Kok bisa, astaga... jatuh dari sepeda?" Terkaku.
Lagi, dia mengangguk, gerakannya kikuk dan kaku seperti biasa. Kemudian saat menggulir pandangannya pada Mark yang berdiri di sebelahku, Jaemin makin terkejut.
"Oh, ini temenku, Mark." Seolah peka, aku mengenalkan mereka berdua.
"Is he...?"
"Saudara tiri yang pernah ku ceritain waktu itu," aku berbisik pelan.
"Ah!" Mark langsung mengulurkan tangan, "hai, gue Mark, Jaemin... kan?"
Jaemin terlihat meletakkan salep antiseptiknya dengan tergesa, mengelap tangannya beberapa kali dan segera menjabat tangan Mark dengan canggung sembari mengangguk.
"Nice to see you," ucap Mark dengan sebuah senyum klise ala kadarnya.
Saudara tiriku itu seperti biasa, dia nampak antusias— sepertinya dia lebih antusias dari biasanya saat ku perkenalkan pada teman sekolahku. Dia terus tersenyum, senyuman lebarnya yang terlihat meneguhkan hati, seolah kau bisa merasa hangat hanya dengan melihatnya.
Selepas keduanya berjabat tangan, aku mengembalikan topik mengenai alasan dia jatuh dari sepeda. "Jadi gimana kamu bisa jatuh? Ngga ditabrak orang kan?"
Saudaraku itu dengan cepat menggeleng kukuh, lalu segera menulis di catatan kecilnya, sedikit tergesa.
"Tersandung batu di trotoar."
Aku dan Mark sedikit melebarkan mata membaca jawabannya, lalu Mark segera menyeletuk. "Gosh, how come? Emang ga keliatan ya?"
Lagi, Jaemin nyengir kecil, khas dirinya. Aku menghela pelan, dan mendorongnya pelan sampai dia terduduk di bangku lagi. "Sini aku bantu."
Jaemin nampak terkejut, dia menahan lenganku yang membuka tutup obat merah, seperti memintaku yang berlutut di depannya untuk bangkit.
"Gapapa Jaem, udah diem aja."
Jaemin kemudian melepaskan cengkeramannya di lenganku, duduk dengan kikuk di atas bangku. Mark juga berhenti berkicau, dan mengambil duduk di samping Jaemin. Mungkin dia lelah berdiri dan memilih untuk memerhatikanku yang sedang mengobati luka Jaemin.
...
...
Lalu saat aku ingin mengajak Jaemin ke kamar untuk belajar bersama, mama tiba-tiba datang menyerobot, pandangannya sangat tajam kepada Jaemin, membuat anak itu menunduk karena takut.
"Masuk ke kamar kamu sekarang, jangan keluar sampai Mark udah pulang."
Jaemin tidak berani membantah kalimat dingin mamaku, dia segera mengangguk cepat dan berjalan dengan kepala tertunduk naik ke lantai dua— menuju kamarnya sendiri.
"Ma—"
"Jeno kamu ngapain sih?! Kenapa bisa kamu pulang bareng dia?"
Mama menarik lenganku dengan sedikit kasar hingga membuatku terkejut, memotong kata-kataku yang tertahan di ujung tenggorokan.
"Kita ketemu di jalan ma," aku menjawab ala kadarnya, tidak merasa harus menjabarkan secara rinci bagaimana kronologi kami bertemu.
"Ya udah pura-pura nggak kenal aja emang nggak bisa?! Lagian ada Mark! Dia harusnya nggak boleh tahu tentang Jaemin! Kamu ini kenapa sih?!"
"M-ma..." aku agak terhenyak, "emangnya kenapa...? Beneran se-nggak boleh itu? Mark kan juga temenku."
"Kalo dia nyebarin ke orang lain gimana?! Orang-orang nggak boleh tahu papa kamu punya anak lain, Jeno! Papa kamu itu anggota dewan!!"
"Mama... ini cuma Mark, Jeno janji ngga akan ada orang lain yang tahu lagi, jangan marah-marah kayak gini ma..."
Saat itu, aku cukup ketakutan dengan amarah mama. Itu adalah pertama kalinya aku melihat mama sangat marah dan kesal padaku. Tapi kemarahannya yang ku kira berlebihan... suatu hari nanti rupanya akan ku maklumi dan ku mengerti.
Aku menyadari bahwa apa yang dikatakan mama benar, bahwa... tidak seharusnya orang-orang tahu mengenai keberadaan saudara tiriku.
...
...
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, you [DEAR J II]
RomanceTeruntuk yang terkasih, Aku masih mengingat begitu banyak janji yang kita buat di masa lalu. Janji verbal yang klise, yang akan segera terlupakan begitu saja seiring berlalu waktu. Dan andai kau tahu... hingga nafas terakhirku, aku hanya melihat ba...