Kebohongan yang diciptakan, begitu apik tersimpan oleh Jiwa-Jiwa yang tak ingin menghancurkan kebahagiaan kecil yang sudah lama dibangun. Meski pada akhir nya, kebohongan pasti akan terbongkar, dan membuat Jiwa-Jiwa yang tak bersalah harus merasakan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
± HAPPY READING ±
Hujan turun begitu deras sejak sore hari tadi. Hingga malam, langit masih enggan menyudahi kegiatan nya dalam membasahi bumi. Bukan hanya bumi, Hujan pun turut membasahi hati seorang lelaki yang kini duduk berdiam diri disofa balkon kamar nya.
Cairan pekat yang masih mengepulkan asap itu diseruput nya dengan hati-hati. Memang mampu menghangatkan tubuh namun tidak dengan pikiran nya. Kalut akan hal yang tak pasti, selalu menjadi alasan utama nya bermalam dengan secangkir kopi panas yang setia menemani.
Helaan nafas terdengar begitu resah, sesaat setelah ia menyandarkan kepala nya ke bahu sofa, pandangan nya terarah pada hamparan langit yang gelap nya tak seperti biasa dengan ribuan tetes air sebagai penggiring nya. Bulan tak gentar, ia masih berusaha terus menyinari meski cahaya nya sudah mulai meredup akibat awan-awan yang perlahan menutupi.
Berbicara tentang bulan, ingatan nya kembali pada kalung berbandul bulan sabit yang dulu ia dapatkan dengan susah payah, sebab harus menyisihkan uang jajan tak seberapa yang bunda nya berikan untuk bekal ia berangkat kesekolah. Kalung yang ia sendiri tak tahu, akan menjadi sebuah benda yang adik nya bawa sebagai tanda salam perpisahan.
Sebelum nya ia memang berniat memberikan kalung itu kepada sang adik sebagai hadiah ulang tahun nya nanti. Namun siapa sangka waktu nya untuk berpisah dengan sang adik ternyata lebih dulu datang sebelum ulang tahun sang adik tiba.
Ini sudah 12 tahun berlalu, namun semua nya tidak banyak yang berubah. Bunda sudah mau berbicara sejak 1 tahun kepergian si bungsu, Ia sangat bersyukur untuk itu. Namun tak jarang, dibeberapa waktu Bunda nya akan bertanya apakah putra nya yang lain tumbuh dengan baik atau tidak. Ingin sekali ia meyakinkan pada bunda nya bahwa si bungsu pasti tumbuh dengan baik disana. Namun, bukan kah ekspetasi tanpa ada nya realitas adalah halusinasi?
Jenan merasa seperti kehilangan arah. Bukan nya tak punya tujuan, hanya saja banyak sekali lika liku perjalanan yang harus ia lalui untuk mencapai tujuan tersebut.
"Nan.."
Suara mendayu perlahan menguar mengalahkan suara hujan yang sempat menguasai Indra pendengaran nya. Menoleh cepat, pandang nya menemukan sosok yang menjadi alasan nya terus bertahan hingga saat ini - Laras, sang bunda.
"Bunda?"
Laras duduk disamping sang putra. Menatap raut lelah itu dengan tatapan sendu, Jenan nya terlihat begitu memprihatinkan, tubuh nya pun perlahan menyusut tak sekekar yang dulu. Laras khawatir takut-takut Jenan akan jatuh sakit.
"Kamu lagi ada masalah? Bunda lihat akhir-akhir ini kamu banyak sekali melamun dijam malam kayak gini. Cerita nan... Kamu punya bunda" Laras to the point mengatakan hal tersebut, karena ia benar benar khawatir.