P r o l o g

192 17 63
                                    

Dewa


Masa lalu adalah rimba pesakitan. Dan aku masih bersimpuh di sini, di pelataran rumah anggrek dengan emblem yang berukir nama kami berdua, Dewandaru dan Dinda. Setapak yang menapak jejak dan singgah dalam lara yang mendoa. Mengapa tak dihapus saja? Ataukah sengaja dibiarkan dan menjadi sejarah? Meski cerita kami telah usai, tertelan ratusan hari. Berganti narasi dan tokoh lain lagi.

Vertikal garden dengan jajaran aneka anggrek adalah saksi bisu cinta kami yang sempat merekah, dulu. Kini semua telah berubah.

Hujan gerimis yang meluruh seperti tombak-tombak berbisa yang merejah ke batang rapuh tubuhku. Dan dalam netraku yang basah, kulihat mentari pun memancarkan jarum-jarum halus berkontemplasi dengan sinarnya. Atau bulan yang memucat dan bermuram durja dalam tangis bergradasi tawa.

Dan,
Koyakan cinta yang merebah masih begitu mendamba. Berpura-pura kepada Tuhan sebagai manusia hiprokit. Amnesia pada kebenaran yang telah tergelar. Alpa dan leka mengunci tingkah dan pola.

Alpaku pada harap yang dirongrong rindu. Hatiku dirampas dan dijarah nafsu yang membusuk.

Apakah definisi romansa?
Ketunggalan jarak.
Tanpa menghapus jejak antara aku dan Dinda?

Sesungguhnya siapakah pasangan jiwa? Dinda temukan padaku? Atau pada dia? Lokus yang berwujud manusia bernama Haikal?

Sosok yang mampu melaungkan cinta pada fana. Agar kelak abadi hingga baka.

Dindaku bersaksi jatuh cinta padanya dalam moksa. Usai balawa yang mengguncang.

Dan aku?
Masih tertatih mengais mimpi
Berkongsi dengan interupsi.
Mengais remahan asa untuk menjadi keluarga meski bukan sebagai pasangan jiwa.

"Lho? Mas Dewa? Kapan datang?" raut terkejut, dengan tanya yang merajut membuatku bangkit dari simpuh. Menatap seraut wajah dengan deskripsi sewot yang imut. Selalu seperti itu sambutannya ketika melihatku. Seolah aku adalah siluman dari gua selarong. Atau makluk dari masa depan yang teleportasi.

Entakan kaki dan embusan napasnya adalah bahasa non verbal yang menunjukkan jelas ketidaksukaannya pada kehadiranku.

"Tersedot black hole dan terdampar di sini," kekehku sambil memperbaiki rangsel di bahuku. Dia menggerutu tidak jelas. Mengibaskan buku dalam tangannya, masih saja kutu buku. Bersama Haikal pasti membuat adiksi pada bacaannya makin parah.

"Kenapa emblemnya tak dihapus? Haikal tak apa-apa?" tanyaku dengan kekehan, menunjuk ukiran nama kami di atas paving block hexagonal, dia mencebik entah apa. Gestur defensit, dan mungkin dalam hati mengutuk; shit!

Aku memperhatikan perempuan yang pernah aku anggap segalanya itu. Masih memakai baby doll bermotif doraemon, bersandal bulu, dengan rambut yang dicepol sembarangan tanpa bobby pin. Beberapa helai surai terurai keluar dan terserak di leher putih jenjangnya. Kaca mata silindernya masih nangkring manis di hidungnya, agak melorot posisinya. Mata sipitnya dengan bola mata coklat terang menatapku tidak suka. Aku tertawa, dia memang bukan species hiprokit sepertiku.

"Tuan rumah yang baik harusnya mempersilakan tamu masuk," sindirku dengan tetap mengulas senyum.

"Tamu tak diundang," cebiknya sewot. Menatapku garang. Aku hanya tertawa.

"Kenapa berhujan-hujan? Kalau masuk angin gimana? Kalau flu gimana?" berondongnya dengan amarah. Tatapan ambivalensi nyata mengoyak realita apa yang tersembunyi dari sikap sarkasnya.

"Dewaa ...  Kapan datang, Nak? Ayo, masuk!" seorang perempuan paruh baya --- telah kuanggap pengganti sang telapak surgaku yang  telah tiada muncul di depan mata. Tanpa peduli Dinda segera menyeretku masuk. Cekalan tangan lembutnya seperti oase dalam tandusnya carut marut hidupku.

"Mas Haikal sebentar lagi pulang, Bun," ucapnya datar dengan ekspresi selempeng jalan tol.

"Malah kebetulan tho, Nduk. Biar ngobrol-ngobrol," jawaban sang bunda seakan memblokir upayanya menyingkirkanku.

"Ganti baju, Le. Keringkan rambut dengan handuk agar tak masuk angin," suara bunda masih terdengar meski berlalu memasuki dapur.

"Kunci kamar tamu hilang, Bun. Biar cepat pulang. Paling numpang ngopi doang," lebih mirip sebuah pengusiran halus. Aku hanya mengumbar tawa. Telah terbiasa dengan lidah pahitnya.

Dari arah dapur aku mendengar bunda -- hus dia. Memintaku agar jangan mengambil hati. Kutanggapi dengan tawa. Kugulung kemejaku sebatas siku, netraku menatapnya. Langkah kakinya berdentam-dentam menaiki tangga. Kuletakkan rangselku di sofa ruang tengah. Saat itulah suara salam Haikal terdengar.

Dan amazing, Dinda berlari, berbalik menuruni tangga. Melewatiku begitu saja, menghambur ke arah Haikal. Memeluknya dengan erat.

"You've been in my mind. I wish you were here.  I miss you!" (Kamu selalu ada di pikiranku. Aku harap kamu ada disini.  Aku rindu).

Aku tergelak melihatnya. Pasti Haikal merasakan senyar geranyam tidak karuan. Gerimis-gerimis membasah, disambut istri tercinta dengan selaksa cinta. Seperti inikah mereka melewatkan momen ketika hanya terpisah beberapa jam saja? Ataukah butuh sebuah validasi dariku bahwa Dinda lebih bahagia setelah kucampakkan? Jika iya, mengapa aku masih betah bersua setelah dari Surabaya? Transit saja? Ataukah ingin melihat dari dekat seperti apa rumah tangga mereka?

------------------

Self reminder :

When a deep injury is done to us, we never heal until we forgive.

Ketika luka yang dalam terjadi pada diri kita, kita tidak akan pernah sembuh sampai kita memaafkan.

----------------

Enha  // 11-12-2023 //

爪ㄖҜ丂卂Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang