Flashback 2 tahun lalu
Self reminder :
Even in the midst of the storm the sun is still shining.
(Bahkan di tengah badai matahari masih bersinar.)
---------------
Dewa
"I'am, Sorry, Din," bisikku lirih, seolah tercekat dan tersendat sesuatu yang mengganjal di tenggorokan. Detik dalam detak yang menyakitkan setelah dengan segala keberanian dan pertimbangan kukumpulkan untuk memutuskan pertunangan. Di sini, di rumahnya, ketika tak ada siapa pun di rumah. Orang tua Dinda menghadiri hajatan khitanan anak temannya. Paling tidak itu yang mereka katakan saat pamit padaku tadi. Dijemput teman ayah Dinda.
Kami berdua saja di teras rumah. Di antara anggrek yang bermekaran, di antara embusan sepoi angin malam. Aroma sedap malam yang tumbuh subur di sudut halaman tak mampu melapangkan dadaku yang pepat dan sesak. Dengan segenap keterpakssan, tanpa kerelaan ini kuputuskan. Menafikan nurani yang mengutuki dan menghakimi.
"LDR --- an sulit bagiku, dia yang selalu ada dan nyata di depan mataku," susah payah kuucap itu setelah berhasil merangkai frasa dan klausa yang sengkarut bak benang kusut, tanpa berani menatap netra coklat terangnya. Dengan suara serak, bukan hanya karena flu tapi juga tertelan perasaan bersalah.
Lama --- aku menunggu reaksinya. Mataku berusaha mencuri bahasa tubuhnya. Nyata jemari putih mulus dengan lengan bergelang batu giok emerald yang memegang cangkir itu gemetar. Aku siap bila wedang jahe panas itu disiramkan ke wajahku. Meski nurani ingkari. Tak mungkin ia setega itu.
Ada tawa lirih, aku mendongak. Memberanikan diri melihat ekspresi wajahnya. Nyata wajah putihnya memerah dengan netra sipitnya yang seperti menyala. Murka. Surai ikal kecoklatannya yang dibiarkan tergerai tampak begitu memesona dipapas angin. Murkanya tak mampu memupus pesona kecantikan blesteran Jawa-Tionghoanya.
Nyata ada genangan air mata yang seperti bendungan. Berkilauan terpantul cahaya lampu. Aku terbatuk-batuk, berusaha menghapus perasaan terkutuk yang masih menyeruak masuk.
"I'm not crying because of you; you're not worth it. I'm crying because my delusion of who you were was shattered by the truth of who you are."
(Aku tidak menangis karena kamu; kamu tidak layak. Aku menangis karena khayalanku tentang dirimu hancur oleh kebenaran tentang siapa dirimu sebenarnya).
Suara gemetarnya amat lirih, nyaris seperti sebuah bisikan tapi penuh tekanan. Ada krital bening yang meloncat saat ia bisikkan itu. Tapi dengan cepat ia hapus.
Aku menelan ludah. Sakit. Ada yang tersayat, di sini. Di benakku. Melihat luka menganga yang terpeta jelas di netra sipitnya.
"It's sad when you realize you aren't as important to someone as you thought you were."
(Menyedihkan ketika kamu menyadari bahwa kamu tidak penting untuk seseorang yang kamu pikir akan mementingkanmu).
Aku tertunduk, tak sanggup merespons ungkapan kecewanya, lukanya, hancurnya harapannya.
"You know It's true love ?" bisiknya lirih. Aku tertunduk lebih dalam saat ia melanjutkan, --- "when no matter how far the distance is he can still make you smile."

KAMU SEDANG MEMBACA
爪ㄖҜ丂卂
General FictionDinda, mantan tunangan Dewandaru memilih cinta yang bergitu moksa pada Haikal. Bukan pengkhianatan. Tapi sebuah pilihan ketika sudah ditinggalkan. Dan, Dewandaru masih berkontemplasi menjadi manusia hiprokit. Di tengah dagelan politik yang menggilas...