FLASHBACK 2 TAHUN LALU
DEWA
Dan aku tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana bunda Aini. Permintaan agar aku menjelaskan semuanya. Dari mana harus kumulai? Jujur? Mengatakan bahwa semua karena Haikal? Bagaimana aku membuktikannya? Aku terlanjur merekayasa bahwa aku memiliki yang lain. Demi apa? Karena sebenarnya aku tak yakin dengan persepsiku akan hubungan mereka?
Lagi, Aku dihempas sebuah moment. Saat di Singapura. Inikah yang menguatkan keputusanku? Entahlah.
_________
Singapura
Apa namanya jika bukan bod*h? Aku menghabiskan banyak uang yang susah payah kukumpulkan hanya untuk mengantar — ralat, bukan mengantar, tapi mengawal dengan suka rela.
"Mas Haikal ulang tahun, tapi dia di Singapura, aku harus mengucapkan langsung, tidak mau lewat pesan atau VC," rengeknya saat itu. Kutelan ludah dengan susah payah, apa pentingnya sebuah tanggal? Mungkin bagi dia dan keluarganya ke luar negeri adalah hal yang biasa dan lazim, tapi bagiku? Tentu saja otakku menjelma menjadi kalkulator yang menghitung berapa dana yang harus mengalir ke sana.
"Mas? Menyesal ya ikut? Aku kan berani sendiri, sering ke sini sama keluarga," katanya, menyadarkanku bahwa aku di sisinya, sudah di stasiun, di singapura. aku tersenyum, menggeleng. Kugenggam erat jemarinya. Dia tersenyum dengan tatap mata hangat, ada geletar yang merancapi relung sanubariku, sungguh! Aku rela jika harus tekor demi senyum dan tatap mata itu.
"Kartu ini bisa aku pakai bertahun-tahun, isinya banyak, diisi mas Haikal," katanya dengan senyum, aku memaksakan diri ikut tersenyum, Haikal menjamin dia tak kekurangan, bahkan memberinya kartu untuk naik MRT, apa yang bisa kujamin untuknya? Apaa? ...
Papan pengumuman dengan tulisan elektrik warna hijau menunjukkan MRT akan tiba dua menit lagi. Kami tiba di peron tepat waktu. Di samping peron, papan pengumuman kembali kutatap, neon kuning terang benderang itu memberi warning; Do not cross the line, for your own safety, Danger.
"Mengapa ditulis dalam tiga bahasa, Sayang?" tanyaku saat membaca peringatan-peringatan itu tertulis dalam tiga bahasa: bahasa melayu, Inggris dan Tamil.
"Ya biar sipelanggar hukum tidak berdalih tidak memahami bahasa. Singapura itu bukan Indonesia, Mas. Di sini tidak kenal kompromi. Tidak ada suap menyuap, tapi aku tetap cinta Indonesia lho, benci sistemnya saja," jawabnya dengan sebuah pernyataan. Aku tersenyum, mengangguk paham.
Bunyi mesin kereta yang semakin mendekat membuat Dinda menggandengku untuk bergegas mendekat bersama penumpang lain. Aku terpukau melihat betapa rapinya mereka tanpa komando. Membayangkan kesemerawutan di negeri kami. Di sini mereka memberi kesempatan penumpang keluar, baru masuk dengan rapi. Benar-benar tertib. Benar-benar sebuah konekvisitas dan kecepatan tinggi dengan waktu tunggu yang hanya sekitar sepuluh menit.
Ding!!
Pintu MRT terbuka, kami masuk. Mataku kembali terpuruk pada dinding MRT. No eating and drinking. Fine $1000, No flammable goods. fine $ 5000, No Durians ...
"Denda durian tidak disebut?" tanyaku, dan dia hanya menggeleng dengan senyum, Matanya menerawang, mungkin membayangkan pertemuan dengan Haikal. Embusan napas kuhela. Mungkin lebih besar dari permen karet. Kuhibur pikiranku dengan berkelana soal denda. Pantas Haikal betah, di sini serba teratur, tertib. Andai saja ada denda untuk memberi kado? Aku menertawakan diriku sendiri. Halu yang terlalu, mana ada hal seperti itu. Apa susahnya bilang aku cemburu?
"Ntar Mas bisa sholat jamaah di masjid Sultan dengan mas Haikal," katanya, aku mengangguk, memaksakan diri tersenyum. Untuk apa? Untuk kebahagiaannya.
"Semoga mas haikal suka kadoku ya, Mas?" ucapnya dengan senyum, mendekap tas kulit di mana kado itu berada. Dibungkus dengan kain sutra halus warna baby blue. Mata sipitnya mengerjab indah, dia sama sekali tidak menghubungi Haikal. Ingin memberi kejutan. Apakah pernah dia lakukan itu di hari ulang tahunku?
***
Enha// sepenggal kenangan bersamamu. bangku MRT saksi bisu di bulan Oktober, ambivalensiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
爪ㄖҜ丂卂
General FictionDinda, mantan tunangan Dewandaru memilih cinta yang bergitu moksa pada Haikal. Bukan pengkhianatan. Tapi sebuah pilihan ketika sudah ditinggalkan. Dan, Dewandaru masih berkontemplasi menjadi manusia hiprokit. Di tengah dagelan politik yang menggilas...