Lampung, 22 Februari 2023
"Kenapa nilai ulangan harian kamu doang yang nilainya 30," kesal seorang guru pada anak muridnya.
"Iya bu, nanti saya belajar lagi," balas Aeris pasrah.
"Ck, yaudah sana duduk."
Aeris mengangguk, kembali ke tempat duduknya yang berada di pojok kanan.
"Di bilang, harusnya waktu itu lo nyontek gua aja biar gak di marahin bu Susi," ujar Maggie, teman sebangku Aeris.
"Sama aja gue nyuri nilai lo dong."
Maggie mendecakkan lidahnya kesal. Padahal ia sama sekali tidak masalah jika itu Aeris.
Pelajaran terus berlangsung, mata Aeris memperhatikan penjelasan yang di berikan bu Susi. Tapi, pikirannya berkata lain. Ia sedang memikirkan alur selanjutnya untuk novel yang akan ia buat.
Mungkin sehabis sepulang sekolah ia akan ke Loyal's Cafe, tempat yang hampir setiap hari ia kunjungi. Sekadar mencari inspirasi. Memang ia mencari inspirasi, tetapi dengan memandangi laki-laki yang ia sukai. Menjadikannya tokoh yang sempurna dalam dunianya sendiri.
Dua jam kemudian, bel berbunyi tiga kali. Menandakan waktu pulang sekolah. Aeris segera membereskan barang-barangnya.
"Buru-buru amat, mau kemana?" tanya Maggie.
"Biasa."
Maggie mengangguk mengerti. Sudah hafal sekali jika sewaktu pulang sekolah, biasanya Aeris akan pergi ke Cafe untuk menyelesaikan naskahnya. Duduk di depan laptop berjam-jam, dengan otak yang harus terus berpikir.
Aeris melangkah keluar kelas, diikuti Maggie. Di ambang pintu, ia melihat laki-laki yang familiar.
"Aeris, pulang bareng gue yuk?" ajak Lonan.
Maggie menyikut lengan Aeris, memberi tanda untuk mengiyakan ajakan Lonan.
Menarik napas panjang, Aeris lelah, Lonan selalu mengejarnya walau sudah ia tolak berkali-kali.
"Sorry, gue ada urusan." Aeris tersenyum tipis.
"Yah, kalo gitu nanti malem main mau?"
"Sorry, gue harus selesain naskah."
Meninggalkan Maggie dan Lonan yang menatapnya dari belakang.
"Sakit nih hati gue di tolak Aeris mulu." Lonan mendramatis, memegang dadanya dengan ekspresi yang begitu kesakitan.
Memutar bola matanya malas, Maggie memukul lengan Lonan.
"Lebay lo." Meninggalkan Lonan yang mengaduh sakit.
***
Aeris menatap cafe di depannya. Melangkah masuk, di sambut hangat oleh barista di sana.
"Mau pesen yang biasa kak?" tanya barista laki-laki tersebut tersenyum.
"Em, i-iya." Aeris menjawab dengan terbata-bata.
"Kalo gitu Ice Caramel Macchiato satu. Ada tambahan lagi kak?"
"Enggak."
"Baik, 20 ribu rupiah ya kak."
Saat Aeris memberikan uangnya, tak sengaja jari mereka bersentuhan. Aeris memalingkan wajahnya, malu untuk menatap mata barista ini.
"Di tunggu ya kak."
Aeris berbalik, duduk di tempat biasanya, menatap barista tampan yang ia kagumi satu tahun terakhir.
Aeris memperhatikan segala hal tentang Kalias—barista tampan itu, bagaimana dia membuat coffee, saat dia berbicara, saat dia berjalan, saat dia tersenyum. Hal-hal kecil yang berhasil membuat Aeris jatuh hati.
"Kak ... kak?"
Lamunan Aeris buyar saat dirinya di panggil beberapa kali oleh objek yang ia pandangi sedari tadi.
Lagi-lagi ia ketahuan memperhatikan Kalias diam-diam. Aeris tersenyum canggung, mengambil pesanan nya dan duduk kembali.
Mengeluarkan laptop, buku catatannya beserta pulpen. Jemari Aeris menari indah di atas keyboard, sesekali mencuri pandang pada pemandangan indah yang sedari tadi sibuk berkutat dengan coffee machine.
Satu jam jemari Aeris menari di atas keyboard, tangannya terasa kebas, otaknya sudah memberi sinyal lelah. Menutup laptopnya, membereskan barang-barangnya. Bersiap untuk pulang.
Saat beranjak dari duduknya, ia terkesiap. Ada yang menyodorkan paperbag kepadanya. Mendongakkan wajahnya, ternyata Kalias.
"A-apa ini?" Aeris berkata dengan gugup.
Kalias terkekeh pelan, reaksi Aeris lucu, menurutnya.
"Saya liat hampir tiap hari kamu ke sini, nulis, ngetik, kadang bengong. Jadi ini hadiah buat kamu, karena selalu mampir ke sini dan udah bekerja keras," jelasnya.
Tunggu, itu berarti Kalias memperhatikannya kan? Iya kan... Pipinya bersemu merah, hatinya bergemuruh, berisik sekali.
"T-terima kasih." Aeris mengambil paperbag tersebut, merogoh tasnya, mengeluarkan beberapa permen yang ia simpan di sana.
"Ini, buat kakak juga," ujarnya.
Terlihat, Kalias tersenyum simpul, mengambil permen tersebut, memakannya satu di depan Aeris.
"Enak, manis," komentarnya.
Tidak ingin berlama-lama dalam situasi canggung, Aeris buru-buru pamit untuk pulang.
"Kalo gitu, pamit pulang ya kak."
Kalias mengangguk, tersenyum tipis.
Berjalan secepat mungkin, menyingkir dari hadapan Kalias, sebelum debaran di jantungnya semakin tidak bisa di kondisikan.
Aeris pulang dengan berjalan kaki, rumahnya tidak terlalu jauh dari cafe dan sekolahnya.
Sepanjang jalan tidak henti-hentinya bibir Aeris mengukir senyum lebar. Menenteng paperbag itu dengan perasaan senang.
Tidak sabar untuk sampai di rumah, dan melihat isi di dalamnya. Jika ini barang, mungkin Aeris akan memajangnya di dinding kamar. Jika makanan, mungkin akan ia beri pengawet sebanyak mungkin dan ia simpan.
Pemikiran yang konyol.
Tidak terasa ia sudah sampai di depan rumah yang terlihat sepi, halaman di depan rumahnya terlihat gersang. Tidak ada yang merawat tanaman yang sudah mati itu. Berbeda sekali dengan suasana yang ia kenal saat ia masih kanak-kanak.
Mencoba tidak terlalu memikirkan hal itu, Aeris menatap paperbag itu lagi, seketika senyum manisnya terbit.
Melangkah kan kakinya masuk ke dalam rumah yang terlihat suram. Menaikkan kakinya ke tangga, berjalan menuju kamarnya.
Hal pertama yang ia lakukan saat sampai di kamar, yaitu merebahkan dirinya di ranjang yang sangat lembut. Menenangkan pikirannya sejenak—hening.
Merasa cukup, Aeris bangkit dari tidurnya, duduk di kursi yang terdapat meja belajar, membuka paperbag dari barista tampan—Kalias.
Cookie, Kalias memberinya tiga cookie. Terdapat kata-kata manis di tiap bungkus cookie itu.
'Good work today!'
'Take it day by day, don't stress too much about tomorrow.'
'Don't be so hard on yourself, you're doing great.'
Gila! Benar-benar gila. Apa memang dia seramah ini kepada orang yang tidak dia kenal. Dan lagi Love language-nya membuat Aeris salah tingkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup Of Coffee
RomanceDi cintai terasa jauh lebih menyenangkan dari pada mencintai. Namun, pilihanku adalah mencintai walau terasa begitu menyakitkan.