Saat bel pulang sekolah berbunyi, Aeris keluar dari lingkungan sekolah dengan sedikit berlari, ia mengingat ucapan Gevi sewaktu istirahat tadi. Gevi meminta ditemani membeli kado untuk adiknya yang sebentar lagi ulang tahun. Aeris memang tidak mau, tapi ia juga tidak bisa menolak, Gevi pasti mengancam membeberkan rahasia besarnya, Aeris tidak mau. Jadi, Aeris lebih memilih kabur.
Namun, sepertinya keadaan tidak memihak kepadanya, di sana, di depan gerbang sekolah, Gevi sudah berdiri menyender ke gerbang, melihatnya dengan senyum mengejek. Aeris menarik napas panjang, menutup mulutnya rapat agar sumpah serapah yang ia coba tahan tidak keluar.
Berusaha tersenyum, menghampiri Gevi yang melambaikan tangan kepadanya. "Oh, lo udah nunggu lama ya?" Aeris memasang senyum terpaksa.
"Iya nih, senyum lo manis banget ya gua liat-liat." Gevi berucap dengan tawa yang ia tahan.
Aeris menginjak sepatu Gevi, hingga Gevi mengaduh sakit. "Makasih, senyum gue emang manis."
Aeris melihat sekeliling. "Motor lo mana?"
"Di bawa temen gue."
"Lho, terus beli kado adek lo gimana?"
Gevi memasang senyum lebar, memperhatikan giginya yang rapih. "Jalan dong ...."
Aeris membulatkan bola matanya. "Yang bener aja, gila! Lo pikir mall nya lima langkah dari sekolah?"
"Ck, gak jalan dari sini ke mall, maksud gue kita naik kereta ke sananya."
"Ah, nyusahin aja lo. Enak naik motor."
"Dih, emang lu udah coba naik kereta?"
"Belum sih ...."
"Ya udah, coba. Stasiun kan deket dari sini." Aeris mengangguk pasrah. Gevi menarik tangan Aeris agar menyamai langkahnya.
"Lelet lu," ejeknya.
"Sabar??! Jangan samain kaki gua sama kaki lo dong."
"Siapa juga yang mau disamain sama kaki pendek lo itu." Rasanya, Aeris ingin menonjok wajah Gevi yang mengejeknya.
Dengan kesal Aeris menendang kaki Gevi. "Mampus lo," balas Aeris tertawa.
"Awh ... sakit, aneh!" Tanpa peduli Gevi yang kesakitan, Aeris berjalan lebih dulu, meninggalkan Gevi yang meringis di belakang sana.
***
Ia menyesali keputusannya dengan meninggalkan Gevi dan pergi ke stasiun duluan tanpanya. Ia berdiri di tengah ratusan orang yang berlalu lalang, ia berdiri bak patung, menatap sekelilingnya. Orang-orang yang sibuk berkutat dengan urusannya sendiri.
Kepalanya tiba-tiba pusing, jantungny berdenyut kencang, keringat mengucur deras, mundur perlangkah demi langkah, tatapannya kabur, tidak lagi melihat dengan jelas.
BUK
Tidak sengaja menabrak orang yang ada di belakangnya. "Ck, liat-liat dong." Wanita dengan pakaian rapih, dengan tas yang ditentengnya, menatap Aeris mencemooh. Aeris menundukkan kepalanya, meminta maaf.
Mencoba menetralkan rasa cemas berlebih yang tiba-tiba menyerangnya, lagi-lagi seperti ini. Gangguan kecemasannya kambuh saat ia berada sendirian di tempat ramai yang sangat asing baginya.
Dari belakang ada yang menariknya kencang, Aeris ingin berteriak sebelum seseorang yang menariknya berbicara. "Ini gua."
Gevi menuntun Aeris untuk duduk disalah satu bangku yang ada di sana, memberinya air putih yang ia simpan di dalam tasnya, membuka tutup botol agar Aeris tidak kesusahan. "Minum dulu." Aeris menerimanya. "Pelan-pelan aja."
"Makasih, Gev." Aeris menunduk, masih menetralkan debaran jantungnya yang tak kunjung membaik. Melihat napas Aeris yang masih memburu, dengan inisiatif Gevi memegang kedua tangan Aeris, mengusapnya perlahan. "Gak papa, tenang." Gevi terus mengucapkan kata-kata penenang yang membuat Aeris membaik.
10 menit berlalu, napas Aeris sudah kembali normal. "Maaf ya, gara-gara gua ngajak lo naik kereta, lo jadi gini."
Aeris menggeleng. "Enggak, salah gua yang ninggalin lo, gua malah ke sini sendirian."
Gevi terkekeh. "Makanya jangan ninggalin gua,
kena lo." Aeris membulatkan bola matanya sebal. "Lo kok jail lagi sih, males.""Udah lah, ayok naik. Biar gak sia-sia udah ke sini." Gevi menarik tangan Aeris. Tidak menolak, karena ia lelah jika harus berdebat dengan Gevi.
Di dalam kereta, tidak henti-hentinya Gevi memainkan rambut Aeris, membuatnya risih dan ingin membentak Gevi. Tapi, ia urungkan saat melihat penumpang lain yang hening, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya.
Aeris mencoba mempertahankan kesabarannya yang sedikit lagi akan meledak. "Diem, Gev." Aeris berujar lirih.
"Gua dari tadi diem, gak ngomong apapun."
Aeris memejamkan matanya sejenak, lagi-lagi menginjak kaki Gevi. "Tangan lo!"
"Sshh ... sakit aneh!" Gevi mengeluh kesakitan, Gevi tidak jadi protes lebih jauh saat melihat tatapan Aeris yang menyeramkan.
"Mah, mah, liat kakak yang pake seragam itu, mereka pacaran ya? Kok berantem sih." Anak kecil yang duduk di depan Aeris dan Gevi menunjuk mereka, berbicara dengan polos pada ibunya yang berada di samping anak itu.
"Hush, gak boleh ikut campur, urusan orang dewasa itu," ucap ibu anak itu, tersenyum canggung pada mereka berdua.
Gevi dan Aeris saling menatap, lalu memasang raut wajah seolah akan muntah. "Ogah banget dibilang pacaran sama lo!" celetuk Gevi.
"Dih? Lo pikir gua mau sama cowok kayak lo?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup Of Coffee
RomanceDi cintai terasa jauh lebih menyenangkan dari pada mencintai. Namun, pilihanku adalah mencintai walau terasa begitu menyakitkan.