Aku di Baghdad

42 9 15
                                    

Baghdad 2023

"Aku baik-baik saja, Mak." Lagi dan lagi aku berusaha meyakinkan emak yang khawatir karena aku sedang berada di rantau.

Aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah kota Binjai yang merupakan kota asalku untuk berkuliah di luar negeri. Aku mendapat beasiswa itu karena berhasil memenangkan lomba kaligrafi pada lomba MTQ  (Musabaqoh Tilawatil Quran) yang rutin diadakan setiap tahun di kota Binjai. Setiap juara satu dari masing-masing perlombaan mendapatkan beasiswa kuliah. Lalu, ada tiga orang yang diseleksi lagi untuk kuliah di luar negeri. Alhamdulillah, aku termasuk salah satu dari mereka.

Aku mengajukan beberapa kampus yang diminati, kemudian pihak pemerintah kota  menyetujui kalau aku berkuliah di  Baghdad. Salah satu kota di Irak yang menyimpan banyak sejarah tentang masa keemasan Islam.

"Di sini makanannya enak, aku cukup istirahat, bahkan uang saku milikku lebih dari cukup," sambungku berusaha lebih meyakinkan. Memang selalu ada kendala di perantauan ini, tapi Aku bersyukur selalu berhasil melewati setiap masalah yang ada.

"Iya, Mamak percaya. Kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri, ya." Pemilik suara dari sebrang telepon genggam itu kembali memastikan.

"Soalnya, kamu lagi di tempat yang jauh, mamak gak bisa lihat secara langsung. Jadi, rasa khawatir itu selalu ada."

"Iya, Mak. Pasti aku akan sering kasih kabar dan gak ada yang disembunyikan."

Sebenarnya  ada sedikit kendala, uang saku yang harusnya aku dapat setiap awal bulan, belum juga dikirim oleh pihak penyelenggara beasiswa.

Untungnya, selama ini aku tidak boros dan masih bisa menggunakan sisa uang tabungan. Namun, tetap saja aku khawatir karena masih belum ada kepastian kapan uang saku milikku akan di kirim.

Karena sudah tidak ada yang ingin disampaikan oleh mamak. Kami sepakat untuk menutup telepon. Sebelum meletakkan smartphone milikku, aku sempat membaca pemberitahuan pada grup WhatsApp, bahwa kami akan ke Masjid Tujuh Belas Ramadhan untuk mengerjakan tugas.

***
Aku tiba pukul sebelas siang, jauh lebih awal dari jam yang dijanjikan karena aku ingin eksplor masjid ini terlebih dahulu. Siapa tahu ada hal menarik yang bisa kutulis. Ya, aku juga seorang penulis lepas. Aku menulis di koran Binjai, menyampaikan informasi yang didapat disini. Pekerjaan ini lumayan menambah uang sakuku dan mampu menjadi uang simpanan untuk biaya tak terduga.

Aku  berjalan memasuki pelataran masjid. Karena belum sarapan, tubuhku terasa jadi lebih lemas. Ah, menyebalkan sekali. Bahkan, sampai hari ini belum ada kabar terkait uang saku. Aku jad harusi menghemat uang makan yang tersisa dan hari ini aku tidak sarapan.

Masjid ini terlihat sangat megah ornamen putih dan emas membuatnya semakin menawan. Namun, ada hal yang memecah fokus terlihat seorang berkerudung abu-abu membagikan sebuah kotak pada orang yang lalu lalang. Aku langsung sadar, biasanya itu adalah orang yang sedang bersedekah. Walau aku belum tau apa isi kotak itu dan apakah asumsiku benar jika dia sedang bersedekah, aku tetap mendekat. Jelas ada harapan dalam diri agar bisa berhemat lagi. Benar saja, ada orang yang sedang membagi roti gandum. Alhamdulillah, aku bisa menghemat uang makan lagi.

***
Dalam Dekap Sejarah
By : Kerang laut

Aku dalam Dekap Sejarah
Mengais sisa-sisa dakwah
Menulis puing-puing sejarah pada aksara
Mencari pengetahuan dalam  hamparan pasir ilmu

Dia dalam Dekap Sejarah
Menanti pahala dari sedekah
Melukis tiang-tiang ingat pada setiap tinta
Menemukan hal baru dalam Padang pengetahuan

Baghdad, 2023.

Sebuah puisi mengalir begitu saja, tak terasa  juga sudah menulis beberapa artikel tentang kota Baghdad dan masjid 17 Ramadhan. Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Aku juga melihat beberapa teman sudah sampai, ada yang duduk sambil membaca buku. Kemudian yang lainnya bergabung dan terlihat sedang berdiskusi.

Beberapa waktu kemudian, aku mulai merapikan barang bawaan, rencananya akan ikut bergabung dengan mereka. Namun, belum rampung aku merapikan barang, mereka sudah bangkit dan hendak pergi. Sontak aku jadi terburu-buru mengejar mereka.

"Dari mana saja?" tanya Mahin saat aku baru tiba di rombongan mereka.

"Sebenarnya, aku sudah datang dari jam sebelaa siang, tapi biasalah. Aku harus bekerja dulu. Ada banyak tulisan yang belum aku siapkan," jawabku dengan terengah-engah.
Saat mengikuti mereka aku sadar kalau ini bukanlah jalan menuju museum, harusnya kami pergi ke museum untuk mencari informasi tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid. Aku tadi sudah mencari jalan ke arah museum dan ini bukan jalannya.


"Kita mau kemana?" Giliran aku yang bertanya pada Mahin.

"Ikuti saja si Zura, dia mau ajak kita ke suatu tempat yang penting," jelas Mahin singkat. Kemudian dia jalan ke depan menyusul Zura.

Memang diantara kami semua, Zura yang sudah beberapa kali datang ke sini. Dia  lebih mengetahui banyak hal tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid dari pada aku. Bahkan, dia tau tentang jam pasir yang ada pada masa Khalifah. Jam tersebut memiliki 12 patung, katanya.

Zura memimpin sambil menjelaskan tentang jam  tersebut. Aku mulai tertarik dengan jamnya dan hendak mendekat ke Zura. Sayangnya, Mamak menelpon dam membuatku terhenti sejenak.

"Wa'alaikumussalam, iya Ada apa, Mak?" Aku menjawab salam mamak.

"Kamu tidak apa-apa? Mamak merasa khawatir soalnya." Lagi dan lagi Mamak memastikan keadaanku.

"Aman, Mak. Aku gak bisa telpon lama-lama kali ini. Gak enak sama teman-teman soalnya mereka lagi serius mendiskusikan tugas. Mamak doakan saja yang terbaik untukku," ucapku meyakinkan dan akhirnya Mamak menutup telpon.

Untung saja rombongan Zura masih belum terlalu jauh, aku masih bisa mengejar mereka. Aku menuruni anak tangga mulai memasuki ruangan yang gelap. Tepat saat aku memasuki ruangan, pintunya tertutup. Beberapa teman berusaha membuka pintu kembali, sayangnya tak berhasil.

Kami sibuk mencari cara untuk membuka pintu ini. Entah siapa yang menemukan pertama kali, yang jelas secara tiba-tiba kami mengerubungi sebuah jam pasir dengan 12 patung. Oh, Inikah jam patung yang dikatakan Zura?

Sungguh aku tidak pernah melihat jam seindah itu, dalam beberapa waktu kami terdiam melihat jamnya. Sampai tiba-tiba salah satu dari patung itu bergetar kemudian berputar diikuti 11 patung yang lainnya. Kemudian jam berbunyi dan mengeluarkan cahaya.

Buuufftt

Aisha dan Pria Bermata RomantisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang