Aku mengerjapkan mata, masih ada sisa pusing di kepala. Belum rampung aku membuka mata terdengar suara teriakan gembira dari orang sekitarku.
"Aisya sudah bangun!" teriak mereka.
"Alhamdulillah, Panggilkan Nyonya segera!" Perintah seorang dengan brewok di wajah.
Wajah orang yang menyambutku ini asing sekali. Aku perhatikan sekeliling dan tempat ini juga asing. Aku bisa mencium bau debu yang begitu terasa. Tempat tidurnya juga aneh, ada kain yang tergantung di empat tiang penyangga tempat tidur ini.
"Handphoneku di mana?" tanyaku pada pria brewok itu. Aku harus segera memberi kabar pada Mamak.
"Apa yang kamu bicarakan Nyonya muda?" Dia balik bertanya dengan wajah bingung seolah baru pertama kali mendengar kata handphone.
"Handphone, loh. Masa gak tau, sih! Tasku mana?"
"Maaf, saya tidak tau apa yang Nyonya muda bicarakan."
Baru hendak menjelaskan prihal handphone, seorang ibu tiba-tiba mememlukku dengan erat.
"Aisya anakku, kau sudah sadar. Oh, syukurlah. Umi sangat mengkhawatirkanmu." racaunya.
"Umi?"
"Iya, ini umi, Sayang." Dengan lembut dia mencium keningku.
"Umi?"
"Iya, Sayang. Abdullah, panggilkan tabib Kashmir! Katakan kalau anakku sudah sadar," perintah wanita ini yang kemudian dipatuhi oleh orang tadi.
"Tabib?"
"Iya tabib, Sayang."
Aku semakin bingung. Siapa wanita ini? Kenapa dia membahasakan diri dengan sebutan umi? Tabib? Oh, apakah tidak ada Dokter? Mungkinkah aku sedang bermimpi atau berhalusinasi?
"Boleh tinggalkan aku sendiri di ruangan ini?"
"Boleh, tapi harus tetap ada satu budak yang menemanimu. Umi takut ada sesuatu yang terjadi padamu."
"Budak?"
Aduh! Apalagi ini, setelah 'Umi', 'Tabib', dan sekarang 'Budak'
Akhirnya, aku diizinkan untuk sendiri, meski tidak benar-benar sendiri. Ada seorang wanita yang sepertinya usianya tidak jauh dariku. Aku memanfaatkan waktu untuk menenangkan diri sambil mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Aku ingat! Tadi kami ada di masjid 17 Ramdhan dan sedang melihat jam pasir. Terlalu banyak berpikir membuatku haus.
"Maaf, kamu nama kamu siapa? Kalau mau ngambil minum dimana, ya?" tanyaku yang dibalas dengan kerutan di dahi.
"Nyonya Muda lupa denganku? Nyonya Muda lupa tempat mengambil air?" Ah, ada apa dengan orang-orang di sini. Setiap Ki aku bertanya, mereka malah balik bertanya.
"Nyonya muda mau minum apa? Biar aku buatkan."
"Aku hanya ingin air putih."
Wanita itu keluar ruangan dan kembali dengan segelas air putih. Gelasnya juga cukup asing, berwarna merah bata.
"Terimakasih!"
"Sama-sama, Nyonya Muda."
"Kenapa kau memanggilku dengan sebutan Nyonya Muda? Bukankah namaku Aisya? Dan tolong jawab, kamu Siapa? Sekarang aku ada di mana?"
"Ah, syukurlah Nyonya tidak lupa siapa nama Nyonya. Nyonya muda adalah anak dari Nyonya utama. Aku adalah Zahra, budak yang dipekerjakan untuk membantu segala kegiatan Nyonya dan sekarang Nyonya Muda sedang ada di kamar."
Aku rasa, aku memang sedang berhalusinasi atau mungkin ini adalah efek dari obat yang ada di rumah sakit. Aku sering mendengar kalau orang yang dalam pengaruh obat bius sering halusinasi. Semoga ini memang halusinasi atau mimpi.
Pintu kamar kembali dibuka, Umi masuk ke kamar bersama seorang kakek tua. Sebelum kakek itu mendekatiku. Zahra lebih dulu membisikkan sesuatu ke telinga sang kakek dan umi.
"Assalamu'alaikum, Aisya!" salam sang kakek.
"Wa'alaikumussalam!"
"Apakah kau ingat aku siapa?" Kakek itu bertanya. Jelas saja aku tak ingat dan cukup menjawab dengan gelengan kepala.
"Aku tabib Kashmir, orang yang merawatmu saat sedang sakit," jelasnya.
Oh, ini tabib yang dipanggil tadi. Lebih tua dari yang ku bayangkan.
"Apa yang kamu ingat dan kamu tidak ingat? Kata Zahra, kamu lupa padanya dan lupa kalau ini adalah kamar milikmu."
"Aku tidak tahu apapun, tidak tahu umi, tabib, dan lainnya. Aku hanya tau nama aku Aisha, seorang mahasiswa dari Universitas of Baghdad." ungkapku. Aku mencoba mengikuti alur halusinasi yang sedang terjadi ini.
"Apa yang kamu bicarakan Aisya?" Umi terlihat khawatir dan bingung tentang hal yang ku ucapkan.
"Tidak apa-apa, Aisya baru sadarkan diri. Ingatannya mungkin masih sebagian yang kembali. Kita hanya perlu sabar menunggu. Nanti akan aku buatkan ramuan untuk Aisya. Karena ini kasus langkah, mungkin akan butuh waktu cukup lama untuk membuat ramuannya, Nyonya Layla." papar tabib Kashmir dengan panjang.
"Tapi Aisya bisa sembuhkan, Tabib?" Umi memastikan lagi.
"Bukankah, sekarang Aisya sudah sembuh? Dia hanya perlu penyesuaian. Berdoalah, insyaAllah Aisya akan mendapatkan ingatannya kembali. Aku ingin izin pulang agar segera bisa membuat ramuan untuk Aisya," izin Tabib.
"Baik, biar kami antar, Bib."
Semua orang keluar lagi dari kamar untuk mengantar tabib. Sekarang hanya ada Zahra dan aku.
"Apa yang terjadi padaku sebelum ini? Kenapa aku sampai bisa sakit?" cerocosku pada Zahra.
"Nyonya Muda mengalami kecelakaan,"
"Cukup panggil aku Aisya saja, jangan Nyonya Muda!"
"Tidak bisa, kami bisa dimarahi oleh Nyonya Layla jika memanggil nama saja."
"Baik, kalau begitu saat tidak ada umi, panggil aku Aisya. Ingat! Ini perintah. Kau harus patuhi!"
"Baik, Nyonya. Eh, maksudnya Aisya."
Halusinasi ini seru juga, aku mulai menyukainya. Aku ingin melihat sampai kapan halusinasi ini akan bertahan.
"Sekarang ceritakan, aku kecelakaan apa dan bagaimana?"
"Beberapa waktu yang lalu kamu dikejar kuda gila saat di pasar. Aku tidak begitu tahu yang terjadi sebenarnya, karena aku sedang memilih buah dan kamu ada didekat budak Ali. Aku hanya mendengar suara teriakanmu dan saat aku lihat kamu sudah dikejar oleh kuda itu." jelasnya. Aneh dan sangat tragis sekali. Bagaimana bisa aku dikejar oleh seekor kuda?
"Karena terlalu bingung, kami berlari sembarangan dan bersembunyi di gubuk penjual kurma yang sedang rusak dan ingin di perbaiki. Pemilik gubuk itu entah kemana, saat kamu bersembunyi, gubuk itu rubuh dan kamu tidak sadarkan diri selama 15 hari."
"Oh, begitu." Aku terkejut dengan kisah yang diceritakan Zahra. Satu sisi aku terkekeh karena jika ada istilah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sedangkan untukku, Sudan dikejar kuda tertimpa gubuk pula.
Terdengar suara langkah kaki menuju kamar, ternyata pemilik langkah itu adalah umi.
"Bagaimana keadaan kamu saat ini, Sayang?"
"Sudah jauh lebih baik, Umi."
"Syukurlah, umi akan membatalkan pekerjaan hari ini. Akan umi gantikan dengan si Abdullah saja. Abdullah! Abdullah!" panggil umi.
"Iya, Nyonya."
"Tolong kau katakan pada adikku, hari ini aku tidak jadi ikut ke istana. Aku ingin merawat anakku yang baru sadar. Bawakan saja beberapa kain berwarna emas dengan kualitas nomor satu. Hadiahkan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai permintaan maaf karena kedatanganku harus diwakilkan."
"Khalifah siapa?" tanyaku tidak percaya
"Khalifah Harun Ar-Rasyid, Sayang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aisha dan Pria Bermata Romantis
Ficción históricaBercerita tentang Aisha yang terjebak dalam tubuh Aisya.