Zahra yang Malang

14 8 32
                                    

Aku masih setengah sadar saat Umi menarik tangan Zahra. Aku belum sepenuhnya mengerti situasi yang terjadi.

"Umi ada apa? Zahra kenapa?" dengan panik aku mengejar Umi yang menarik paksa tangan Zahra.

"Dia ini kurang ajar, Sayang. Bisa-bisanya dia tidur di sebelahmu. Dia tidak sadar posisi, bahwa dia adalah budak. Tidak pantas dia tidur di kasur nyaman bersama tuannya." anehnya intonasi Umi saat berbicara denganku berbanding terbalik sekali saat berbicara dengan Zahra.

"Umi, aku yang meminta Zahra untuk tidur di sebelahku. Dia tidak bersalah." Aku berusaha menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.

"Kamu lihat Zahra?! Anakku sampai membelamu, kau tidak tahu peraturan budak di rumah ini? Biar aku ulangi agar kau paham, Zahra. Jangan buat anakku memohon dan meminta maaf! Harga diri anakku di atas segala hal yang ada di dunia ini!" Suara Umi menggelegar memenuhi seisi rumah hingga membuat seluruh budak keluar dari kamarnya.

Sungguh aku kasihan melihat ekspresi Zahra. Wajahnya begitu kental mengekspresikan rasa takut. Ternyata pilihan yang aku ambil salah. aku belum memahami situasi yang terjadi di tempat ini.

"Umiku sayang. Aku tidak bermaksud memohon untuk melepaskan Zahra. Namun aku benar-benar sedang ingin ditemani. Jadi aku meminta Zahra untuk tidur di sebelahku. Hal itu murni keinginanku." Sebisa mungkin aku mengatakan dengan suara tegas dan tanpa merengek karena takut dianggap memohon oleh Umi.

"Kenapa kau tidak minta ditemani oleh Umi, Sayang? Budak seperti Zahra tidak layak tidur di kasur mewah yang kita miliki. Besok Umi akan mengganti kasur itu dengan kasur yang baru." Lagi-lagi aku seperti melihat dua orang yang berbeda saat Umi berbicara padaku.

Aku kebingungan mencari alasan apa yang tepat agar Umi mau melepaskan Zahra. mana mungkin aku jujur pada Umi bahwa ini adalah bagian dari misiku untuk bisa mencari tahu lebih dalam tentang keluarga ini dan khalifah. Lagipula mana ada yang percaya tentang ceritaku, seandainya aku nekat menceritakannya.

"Ma-maaf, Umi." aku langsung menutup mulutku karena tahu bahwa hal itu adalah hal yang dilarang.

"Lihat, Zahra! Putri kesayanganku mengucapkan kata maaf! Hanya demi bisa membebaskan budak tidak tahu diri sepertimu!"

Oh! Sungguh aku menyesali kata maaf. ini adalah kali pertama aku menyesali katanya tapi yang keluar dari mulutku. Bukankah kata maaf itu sebenarnya baik? Namun kenapa di tempat ini malah membuat orang lain tersiksa? Aku harus lebih hati-hati lagi bersikap.

"Umi, bisakah Umi menemaniku malam ini untuk tidur bersama? Aku sudah mengantuk. Lupakan saja soal Zahra malam ini. Umi bisa membahas masalah ini besok pagi." Aku coba menawarkan pilihan lain agar Umi mau melepas Zahra.

"Baik, Sayang. Tapi kita tidur di kamar Umi, ya. Umi tidak mau tidur di tempat yang sudah kotor karena Zahra."

Masalah malam ini selesai, akan tetapi masih berlanjut esok pagi. Aku harus mencari cara lain agar lebih mau membebaskan Zahra atau setidaknya mau memaafkan Zahra. Baiklah, hal ini aku jadikan pembelajaran agar kedepannya aku lebih berhati-hati lagi dalam mengambil keputusan.

***
Pagi hari

Tadi malam aku tidak benar-benar bisa tidur. Malam suntuk memikirkan bagaimana caraku menyelamatkan Zahra dari hukuman Umi. Pagi ini seperti biasa, para budak menyiapkan sarapan pagi untukku dan Umi. Sarapan dilakukan di kamar hanya berdua saja. Kata Umi, karena kami sudah satu kamar tidak perlu lagi makan di meja makan.

"Umi, kenapa Umi begitu melarangku untuk memohon dan meminta maaf?" Aku mencoba memberanikan diri menanyakan hal sensitif ini di sela-sela sarapan kami.

"Budak-budak ini jahat, Aisya. Mereka bisa memanfaatkan rasa kasihan dan sayang kita untuk memenuhi keinginan mereka." Ini menjelaskan sambil mengunyah hati gandum dengan kurma.

"Apa keinginan mereka?"

"Merdeka. Tentu setiap budak menginginkan kebebasan. Beberapa budak yang tidak tahu diri saat sudah dibebaskan, justru menyerang mantan tuannya. Umi tidak ingin mereka memanfaatkan hatimu yang lembut dan sifat kasih sayangmu yang begitu besar."

"Oh, ya? Apa para budak memang semuanya begitu?"

"Sudah pasti, Aisya. Budak-budak ini tidak belajar. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan bagaimana cara untuk bebas."

"Tapi sepertinya Zahra tidak seperti itu."

"Lihat, Zahra sudah memanfaatkan sisi lembutmu. Dia berhasil menipumu dengan berbuat seolah-olah dia bukan tipe budak yang bisa berkhianat. Padahal setiap budak hanya akan patuh pada tuannya dan jika tuannya bukan lagi kita, dia bebas menceritakan tentang tuan sebelumnya."

"Lalu apa yang ingin umi lakukan pada Zahra?"

"Menghukum Zahra dengan seberat-beratnya agar kedepannya dia tidak semena-mena."

"Apa hukuman itu berupa kekerasan?" Aku harus benar-benar memastikan bahwa Zahra aman dari hukuman Umi.

"Bisa saja iya, bisa juga tidak."

"jika Umi melakukan kekerasan pada budak, bukankah itu melanggar norma?" Berani sekali aku mewartakan pertanyaan ini. Sedikit menyesal, aku takut umi justru berbalik marah padaku.

"Norma itu dibuat orang, Sayang. Semakin banyak yang setuju terhadap sebuah tindakan meskipun itu terlihat menyakiti, maka itu akan dianggap benar oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya, ketika semakin banyak yang tidak subur terhadap sebuah tindakan meskipun itu terlihat baik dan menyenangkan, maka tindakan itu dianggap salah oleh masyarakat."

"Itu berarti ...."

"itu berarti semua orang di daerah ini melakukan hal yang sama kepada budak-budak mereka." Umi memotong perkataanku sebelum aku selesai mengucapkan pertanyaan.

"Apa hukuman terberat yang kiranya bisa diterima oleh Zahra?" Aku harus terus memastikan kondisi Zahra ke depannya. Zahra harus benar-benar aman.

"Dijual. Hukuman paling berat adalah Zahra akan dijual atau dikembalikan ke tempat penampungan gudang dan diganti oleh budak baru." Penjelasan ini justru membuatku khawatir. Jika Umi mengganti budak baru, aku juga akan kehilangan informasi tentang diriku. Jelas hal ini tidak boleh terjadi.

"Umi, bolehkah aku yang menghukum Zahra?" Kali ini aku mencoba mengikuti alur pikiran Umi.

"Kenapa kamu tiba-tiba ingin menghukum Zahra? bukankah dari tadi malam kamu yang ingin sekali membebaskan dia?" tanya umi dengan curiga.

"Sebenarnya aku hanya berpura-pura. Maafkan aku Umi, aku hanya ingin melihat apakah rasa sayang Umi masih sama besar seperti dulu. Entahlah, semenjak sembuh dari sakit aku merasa banyak hal yang diragukan termasuk Umi dan yang lainnya," bohongku pada Umi.

"Oh, begitu rupanya. Umi akan selalu sayang padamu Aisya. Kalau begitu Umi izinkan  menghukum Zahra. Namun pastikan kalau kamu memang benar-benar menghukum dia." Masih ada keraguan dari ucapan ini barusan.

"Baik, Umi."

Selesai sarapan aku langsung buru-buru menemui Zahra di kamarnya. Sambil melihat sekeliling aku harus memastikan bahwa Umi tidak ada di sini.

"Zahra, ikut aku!" perintahku

Aisha dan Pria Bermata RomantisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang