Proses Pencarian Identitas

22 9 58
                                    

Aku mulai paham dengan situasi yang sedang aku alami. Meski rasanya masih tak masuk akal, tapi aku mulai percaya kalau ini bukanlah halusinasi. Sepertinya yang terjadi pada saat kami melihat jam milik khalifah Harun Ar-Rasyid membuatku ada di posisi ini. Ya, percaya atau tidak percaya aku kembali ke masa lalu, yaitu masa kepemimpinan khalifah Harun Ar-Rasyid.

Sampai saat ini pun aku belum bisa menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada Zahra. Karena sudah pasti Zahra tidak percaya dan aku belum mengetahui apa konsekuensi yang akan diterima jika identitasku yang sebenarnya diketahui. Aku juga mulai berpura-pura menjadi Aisya.

Berada di situasi sekarang membuatku khawatir pada Mamak. Bagaimana kabarnya? Apa yang terjadi dengan aku yang sebenarnya di tahun 2023? Mamak pasti mencariku dan sangat khawatir.

"Zahra, bisa kau bawa aku pergi jalan-jalan keluar rumah? Aku mulai bosan berada di sini," Tak terasa aku sudah dua hari berada di tempat ini. Aku mau minta Zahra untuk menemaniku mencari angin segar sembari mencari informasi tentang keberadaanku dan bagaimana caraku kembali ke tahun 2023.

"Boleh  Nyonya muda, kamu ingin jalan-jalan ke mana?"

"Kemana saja yang penting aku merasakan angin luar rumah."

Zahra mengajakku pergi ke kebun kurma yang ada di dekat rumah. Awalnya Umi menyuruh salah seorang budak laki-laki untuk ikut dengan kami agar ada yang menjagaku lebih teliti. Namun aku menolak karena sebenarnya aku ingin sendiri. Sayangnya Umi tidak mengizinkanku pergi sendiri, harus tetap ada Zahra yang ikut denganku. Ya, setidaknya itu lebih baik daripada harus ada budak lain yang ikut.

"Oh ya, Zahra. Kamu belum menceritakan banyak hal tentang aku dan Umi. Aku mau kamu ceritakan hal yang lebih detail tentang kami, bahkan kalau bisa seluruh kejadian yang paling kamu ingat saat bersama dengan kami." Aku berusaha mencari informasi lebih tentang Aisya dan Umi.

"Tidak ada, kalian adalah orang baik dan aku hanyalah budak. Aku tidak boleh menceritakan banyak hal kepada tuanku. Jujur beberapa hari ini aku sudah terlalu banyak bicara dengan tuanku. Seharusnya budak menjaga batasan dengan tuannya." Zahra selalu mengucapkan hal dasar ini setiap kali Aku berusaha mencari informasi lebih tentang Aisya dan Umi Layla.

"Bagaimana jika Aku menganggapmu teman, bukan sebagai seorang budak? Apa kau mau bercerita tentang aku dan Umi?" Aku masih terus berusaha.

"Apapun anggapan nyonya, pada kenyataannya aku tetaplah budak dan aku harus menjaga lisanku dari hal-hal yang bisa mengancamku."

"Apakah berbicara denganku bisa mengancammu? Aku hanya memintamu untuk bicara. Justru jika kamu tidak mau berbicara aku bisa membuatmu terancam sungguhan."

"Maaf, bukannya tidak ingin patuh. Akan tetapi,  Nyonya utamaku adalah nyonya Layla. Beliaulah yang bisa mengatur nasibku sebagai budak. Beliau yang benar-benar bisa mengancam dan membebaskanku," kekeh Zahra.

"Kalau begitu berarti kamu takut dengan umiku? Bagaimana jika aku yang menjamin bahwa kamu tidak akan terancam dengan apa yang akan kamu  katakan?"

"Maaf tetap tidak bisa, Nyonya!" tegas Zahra.

Kalau Zahra tetap bungkam dengan kondisiku dan Umi. Bagaimana cara aku mencari informasi? Baiklah, mungkin aku harus menggunakan cara yang lebih lembut dan halus agar Zahra mau bercerita padaku.

"Kalau begitu ceritakan tentang kota ini. Tentunya itu tidak melanggar kode etik diperbudakan 'kan? Karena sudah pasti kota ini tidak akan menyinggung aku dan umi." Aku mulai mengganti topik.

"Ini adalah kota Baghdad. Kota yang tidak terlalu besar diisi oleh banyak pedagang dan ada juga beberapa petani kurma," ucap Zahra.

"Kota ini adalah pusat kepemimpinan umat Islam 'kan?" Aku bertanya pada Zahra sesuai dengan sejarah yang pernah aku pelajari.

"Bukan, pusat kepemimpinan umat Islam pada masa Khalifah Harun ar-rasyid saat ini ada di kota Raqqah."

"Aku membaca sejarah bahwa pusat kepemimpinan umat Islam ada di kota Baghdad. kenapa sekarang ada di Raqqah?" Aku terheran karena fakta yang terbaca dan kenyataan yang aku lihat berbeda.

"Nyonya membaca sejarah di mana? Setahuku sejak dulu pusat  kepemimpinan Islam ada di kota Raqqah bukan di Baghdad."

"Mungkinkah nanti pindah ke kota Baghdad?"

"Tidak tahu, Nyonya." Zahra menjawab sambil menggelengkan kepala.

Ah, pasti nanti pusat kepemimpinan pindah ke kota Baghdad karena begitulah sejarah yang kubaca di 2023. Bodohnya aku bertanya pada Zahra yang tidak tinggal di tahun 2023. Jelas dia tidak tahu terkait informasi ini.

"Baik lupakan tentang kota Raqqah. Sekarang pusat  kepemimpinan berada di sana 'kan? Berarti di sana ada khalifah Harun Ar-Rasyid?"

"Tentu saja, Nyonya." aku sering memperhatikan Zahra selalu menundukkan kepala saat berbicara denganku dan terlihat seperti orang yang sedang ketakutan.

"Kamu bisa antarkan aku kesana?"

"Jika diperintahkan oleh Nyonya Layla, tentu aku akan menaati perintahnya."

"Baik, kalau begitu sekarang di mana umi? Aku akan meminta izin langsung padanya." Kami pergi dari kebun kurma dan menemui umi di tempat pembuatan kain.

"Assalamu'alaikum, Umi." Selesai mengucap salam aku langsung mencium tangan umi. Kulihat di situ ada beberapa orang yang sedang menyortir kain. Dilihat dari depan bangunan ini tampak aneh, tidak seperti rumah pada umumnya. Atapnya rata  dan sepertinya atasnya ditutup oleh jerami.

"Wa'alaikumussalam, Sayang. Kenapa kamu ada di sini? Jika ada perlu dengan umi perintahkan saja si Zahra untuk menemui umi. Kamu istirahat saja di rumah."

"Tidak, aku memang ingin melihat tempat kerja umi. Boleh aku masuk?"

"Tidak boleh, Sayang. Tempat ini tidak terlalu sehat untukmu. Umi kan sudah memberi peraturan untukmu agar jangan masuk ke tempat ini. mungkin karena kamu lupa jadi kamu bertanya lagi dan jawaban umi tetap melarangmu masuk ke tempat ini." Larang umi.
"Zahra, kamu kan sudah tahu saya tidak mengizinkan Aisya pergi ke sini. Harusnya kamu ingatkan dia." Umi menegur Zahra.

"Maaf, Nyonya." Cara terlihat ketakutan sekali dari sorot matanya. Bahkan aku melihat tangannya sedikit gemetar saat umi mengucapkan kalimat teguran itu. Padahal umi mengucapkannya lumayan lembut.

"Kalau begitu aku minta izin untuk ke kota Raqqah. Aku ingin ke istana dan melihat-lihat istana dan jika bisa aku ingin bertemu dengan khalifah Harun Ar-Rasyid."

"Tidak, umi tidak akan izinkan kamu untuk bertemu dengan khalifah Harun Ar-Rasyid. Beliau itu orang jahat. Dia adalah khalifah yang zalim terhadap pedagang seperti kita. Berapa kali Ibu hampir difitnah olehnya."

"Khalifah yang jahat?"

Aisha dan Pria Bermata RomantisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang