Budak yang ...

23 8 30
                                    

Aku meminta Zahra untuk masuk ke kamar yang segera ia turuti. Sebelum melancarkan misi aku menutup terlebih dahulu kamar dan menguncinya.
"Zahra, aku minta maaf atas perbuatanku tadi malam. A-aku ...."

"cukup Nyonya, cukup! Aku mohon jangan ucapkan kata itu, aku takut nyonya Layla akan mendengar dan aku bisa dihukum lebih parah dari tadi malam," rengeknya.

"Tidak, aku pastikan kali ini kau aman. Jangan terlalu berisik aku takut Umi mendengar ucapan kita." Aku berusaha meyakinkan Zahra.

"Tadi malam nyonya juga mengatakan hal yang sama, menjanjikan bahwa aku aman. Nyatanya aku tetap dihukum oleh nyonya Layla. Jadi aku mohon sekali jangan ucapkan kata itu." Kali ini Laila memohon sampai menunduk dan hampir setengah bersujud.

"Baik jika kau belum percaya padaku. Tapi kau harus yakin bahwa aku tidak memiliki niat jahat. aku sendiri masih bingung apa yang sebenarnya terjadi." Aku berusaha menjelaskan posisiku pada Zahra.

"Aisya!" Aku mendengar suara Umi memanggil dari luar pintu kamar.

"Iya, Umi."

"Kau sedang apa di kamar? Umi mau mengganti kasurmu dengan kasur yang baru."

"Aku sedang menghukum Zahra, Umi." Aku harus berbohong demi keselamatanku dan Zahra.

"Zahra, cepat kamu ambil wadah air di ujung ruangan sana. Bawakan kemari. Oh, ya. Ambilkan juga rotan yang ada di lemari," bisikku pada Zahra. Dia bergegas mengambil seluruh benda yang tadi aku perintahkan.

"Menghukum Zahra? Kau menghukum bagaimana?" Umi memastikan.

"Zahra, maafkan aku. Tapi percayalah aku sedang berpura-pura." Aku menerima pemberian Zahra yang tadi aku perintahkan.

"Dasar budak tidak tahu diuntung!" hardikku pada Zahra dengan nada bicara yang sengaja aku kuatkan. Aku menyiram Zahra dengan air yang tadi ku minta. Kemudian aku memukul bantal dengan rotan. Berharap suara cambuknya terdengar sampai keluar.

"Maaf," bisikku lagi pada Zahra.

Zahra yang terkejut menerima siraman air tak sempat menghindar. Akibatnya, kerudung yang Zahra kenakan basah juga sedikit pakaiannya. Zahra bahkan sampai menghindar ketika aku memukul bantal, mungkin pun mengira aku akan memukulnya.

"Sekarang berpura-puralah merintih aku akan membuka pintu kamar," perintahku dengan sedikit berbisik. Untungnya Zahra bisa diajak kerjasama aja melakukan perintah sesuai arahanku.

"Tunggu sebentar Umi aku akan segera membuka pintunya."

"Sudah selesai dengan Zahra?" Umi langsung menanyaiku saat pintu baru terbuka.

"Sudah Umi, sedikit pukulan pada punggung dan sedikit siraman untuk budak dan tidak tahu diri." aku mengutuk diri sendiri yang mengucapkan kalimat tidak baik ini. Tapi mau bagaimana lagi aku harus berpura-pura.

"Ya sudah, Umi mau ke pasar mencari kasur, kamu mau ikut?" Aku mengganggu menjawab ajakan Umi.

***
Di Pasar

"Kamu mau pilih kasur yang mana?"

"Terserah Umi, aku yakin pilihan Umi ada yang paling terbaik untukku."

Umi memilihkan kasur berwarna coklat untukku. kasur yang menurut Umi tidak terlalu tebal tapi juga tidak terlalu tipis. Pedagang kasur kemudian menggulung kasurnya dan meminta salah seorang budak Umi untuk mengangkatnya. Umi memerintahkan dua orang Budha mengangkat kasur itu ke rumah kami. Sekarang tinggal sisa dua orang Bunda yang membawakan belanjaan Umi yang lainnya.

"Oh, ya. Sayang hari ini sepertinya Umi ingin membeli budak juga. Kamu belum terlalu lelah 'kan?"

"Belum, Umi"

Aku dan Umi jalan terus melewati sekitar empat atau lima toko. Dari toko terakhir Umi mengambil jalur kanan melewati pedagang daging. Kami jalan terus melewati pedagang buah, pedagang kain, pedagang perlengkapan dapur yang terbuat dari tanah liat lalu tiba di jalanan yang lebih becek. Dari jalan itu terlihat sebuah rumah kumuh di ujung jalannya.

"Maaf Umi harus membawamu ke sini ya, sayang. Soalnya Umi sedang membutuhkan budak tambahan dan daerah sinilah yang terkenal menjual budak dengan harga yang murah."

"Tidak masalah, Umi." Aku menjawab sambil tersenyum.

Seseorang dengan perut buncit, brewokan dan hanya memakai celana tanpa memakai baju itu menyambut Umi dengan sangat ramah.

"Eh, Nyonya Layla. Perlu budak lagi, kah?" tanya orang itu.

"Iya, aku butuh budak laki-laki." jawab Umi singkat.

"Baik, silahkan masuk ke kamar yang sebelah kiri nyonya, di situ terdapat banyak budak laki-laki yang siap bekerja. Silahkan dipilih yang paling terbaik menurut nyonya."

Aku mengikuti langkah Umi memasuki ruangan sebelah kiri yang diperintahkan orang buncit tadi. sebelum memasuki ruangan yang ada di sebelah kiri, aku sedikit mengintip ruangan di sebelah kanan. Terdapat budak-budak wanita yang kurus dan dekil. Bajunya begitu kusam. hampir setiap budak memakai kerudung yang robek.

Saat memasuki ruangan budak di sebelah kiri. Kami langsung disambut oleh semua budak-budak yang memelas dan memohon.

"Nyonya, Tolong jadikan aku hamba sahaya mu." Kata seorang budak yang terlihat sangat kurus dan tak bertenaga.

"Aku siap mempekerjakan apa saja yang nyonya perintahkan tolong ambil aku jadi hamba sahayamu, Nyonya." Kata budak yang lainnya. budak yang ini terlihat sangat tua dilihat dari jenggotnya yang sudah mulai memutih.

"Haduh, mana budak yang paling baik, ya? yang itu terlalu kurus, takut tidak punya tenaga untuk bekerja. Yang ini sudah terlalu tua, takut umurnya tidak lama lagi. Yang ini jelek, kalau yang di ujung sana, ah, sepertinya cacat." Umi menggerutu sambil menunjuk budak-budak sesuai yang umi ucapkan.

Aku tidak tahan dengan suasana di dalam ruangan ini. Begitu sesak dan menyayat hati. Bagaimana bisa pada zaman keemasan Islam justru perbudakan masih ada sebegininya. Rasanya aku tidak terima jika ada manusia yang diperlakukan seperti ini. Selanjutnya aku memilih menunggu Umi di luar saja.

Setelah menunggu beberapa waktu, aku melihat Umi keluar menggandeng seorang budak bertubuh kekar.

"Oh, Sayang. Hari ini adalah hari keberuntungan kita. Kamu berhasil mendapatkan satu budak yang sangat pas. Lihat tubuhnya kekar, tidak ada cacat, dan dia masih cukup muda." ucap umi. Aku melihat perawakan budak itu memang kekar dan terlihat tidak tua.

Tapi tunggu dulu, kenapa aku sesak begini saat ditatap olehnya. Bukan sesak karena kasihan. Ini sesak yang berbeda. Matanya ...

Aisha dan Pria Bermata RomantisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang