Alka pikir Sara akan mendiamkannya setelah perseteruan mereka di depan rumah tadi. Nyatanya, Sara memperlakukan Alka dengan manis. Saat membuka pintu, senyuman Sara menjadi apa yang pertama kali Alka dapatkan. Meski sempat kebingungan, Alka memilih untuk tetap memainkan perannya, sesuai keinginan Sara.
"Aku akan membereskan belanjaan dulu," terang Sara, mengambil alih plastik-plastik yang Alka bawa. Dia berjalan menuju dapur, dan Alka tanpa sadar mengekori.
"Duduklah, nanti kubuatkan coklat panas setelah menyelesaikan ini."
Alka mengangguk, meski ia tahu Sara tidak akan melihat. Sara memunggunginya, merapikan bahan-bahan yang tadi mereka beli. Menyusunnya di dalam lemari pendingin.
Saat menatap Sara dari belakang, Alka menyadari sesuatu. Istrinya sangat luar biasa. Sara tidak hanya memiliki paras cantik yang akan memikat hati orang lain, tapi dia juga manusia dengan hati yang baik. Alka akui, Sara memiliki hati yang besar dan Alka adalah orang bodoh yang sudah memerangkap Sara dalam hubungan semu.
"Maafkan aku," lirih Alka. Sara menoleh, mendapati Alka yang kini menumpukan kepalanya di bahu. Menenggelamkan diri dalam pelukan.
"Al—alka." Sara menegakkan tubuhnya, berbalik untuk membalas pelukan Alka. Dia tidak mengerti, Alka tiba-tiba memeluknya dan membuat hati Sara terasa lebih dingin untuk sesaat. Sara merasa kacau, dia mendadak tidak tahu apa yang dirinya inginkan.
Menghela napas pelan, menepuk punggung Alka. Mereka saling berhadapan dengan Alka yang terus memeluk tubuh Sara. "Maafkan aku, Sara. Aku pria brengsek yang tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu. Aku hanya membuatmu semakin kesulitan setelah pernikahan kita. Maafkan aku." Alka mengeratkan pelukannya, membenamkan wajahnya di bahu Sara. "Setelah tiga hari ini, aku tidak akan menampakkan diri di depanmu dengan sengaja. Aku akan menjauh, dan kau bisa bahagia nantinya."
Sara menghentikan tepukannya pada punggung Alka, membeku di tempat untuk sesaat. Sara tahu, dia adalah manusia paling bodoh di dunia ini. Dia masih mengharapkan Alka, dan berharap tidak ada perpisahan di antara mereka. Alka, pria yang mengulurkan tangan padanya setelah terpuruk sendirian sekian lama. Sekarang, Alka juga yang menarik uluran tangan tersebut. Sara tidak bisa menerimanya begitu saja, tapi ... dia juga tidak bisa menahan Alka.
Andai saja dia bisa hamil. Sara menyesali kekurangannya sendiri. Kalau saja ... yah, kalau saja dirinya bisa memberikan keturunan untuk Alka. Masalah seperti ini tidak akan datang. Sekeras apa pun mereka mencobanya, Sara tidak akan pernah bisa hamil apalagi melahirkan. Dia adalah aib untuk Alka dan keluarganya.
Sara melepaskan pelukan Alka. Menutup pintu kulkasnya, berlari meninggalkan pria itu sendirian. Sara butuh waktu. Meski sudah memprediksi segalanya, dia juga harus menyiapkan hati. Sekali lagi, Sara tidak pernah menginginkan perpisahan itu.
"Sakit," lirihnya, meremas dada yang terasa sesak. Semakin Alka meyakinkan tentang perpisahan mereka, semakin Sara merasa tersiksa. "Kau bodoh, Alka." Sara bersandar pada pintu, mendongak, menatap langit-langit kamar. Dia berusaha keras untuk menahan tangis. Cukup semalam air matanya terbuang sia-sia.
Sekeras apa pun mencoba, Sara tahu jika perpisahan tetap akan terjadi. Mereka akan bercerai.
...
Sara terus mengurung diri sampai jam makan siang hampir datang. Keluar dari kamar dengan penampilan yang lebih baik, menggunakan sedikit riasan agar tidak terlihat pucat. Menghampiri Alka yang sibuk dengan ponsel di depan televisi.
"Al," panggilnya, lembut.
"Sudah baikan?"
Sara mengangguk singkat, duduk di pangkuan Alka dan membenamkan wajahnya di dada sang suami. "Maaf. Aku kekanakan," bisiknya.
Ruang bersantai yang jarang digunakan itu terlihat lebih hidup sekarang. Sara mengatur ulang semuanya dalam waktu singkat, meletakkan vas beserta bunga mawar segar di atas meja, juga membuat ruangan terlihat sedikit lebih berisi dengan meja-meja kecil yang dipenuhi hiasan.
"Mau makan di luar?" tanya Alka, mengusap punggung Sara pelan. Sara menggeleng. "Aku akan membuat makan siang untukmu," putusnya.
"Tidak mau." Sara merengek, mengeratkan pelukannya pada leher Alka. "Aku tidak ingin makan. Biarkan aku berada dalam posisi ini untuk sebentar saja," pintanya.
"Ya, terserahmu saja."
Hening. Rasanya seperti mereka masuk dalam dunia penuh kesunyian. Televisi yang dibiarkan mati, juga keduanya yang seakan tidak berniat mengeluarkan suara.
Alka mengusap rambut Sara perlahan, menghirup manisnya sampo yang menguar. Posisi mereka sangat intim, sesuatu yang tidak pernah terjadi lagi dalam setahun belakangan. Sibuk bekerja, begitu Alka memberikan alasan. Sara tentu saja tidak bisa memaksa, hanya menerima walau ia tahu alasan di balik kalimat yang Alka uraikan. Alka itu pembohong handal, tapi Sara yang sudah mengetahui segalanya tidak pernah bisa membenci. Dia menerima perlakuan Alka, karena dalam hidupnya, pria itulah yang mengenalkan kata cinta. Sayang sekali, karena di saat yang sama, Alka juga yang mengenalkan sakitnya kehilangan pada Sara.
"Al," panggil Sara, setelah keheningan yang cukup panjang.
Alka menghentikan gerakan tangannya, menahan punggung Sara. Memperlakuan sang istri seperti benda rapuh yang dapat hancur kapan saja. "Iya?" Membalas dengan suara selembut mungkin, meski hanya satu kata yang terucap.
"Gitar yang kau gunakan untuk melamarku hari itu ...."
"Bukankah masih ada di kamar?" tanya Alka. Sara mendongak, lalu mengangguk. "Kau ingin aku memainkannya?" Senyuman tipis Sara menjadi jawaban yang tidak perlu Alka dengar.
"Baiklah. Aku ambil dulu gitarnya. Masih di tempat yang sama, 'kan?" tanyanya.
Sara duduk di sisi samping kanan Alka, kembali mengangguk. Alka mengusap pelan ujung rambut Sara sebelum bergerak menuju kamar. Kamar tidur yang tidak pernah ia jamah tiga bulan belakangan.
Alkq mengamati isi kamar mereka. Masih sama. Sebuah kasur lebar dengan empat bantal dan dua guling, lalu selimut yang tertata rapi di tengah-tengah. Alka mempercepat langkah menuju ujung ruangan, membuka pintu yang terlihat menyatu dengan dinding. Membuka pintu tersebut, melangkah dengan percaya diri untuk mencapai meja besar di tengah ruangan. Masih sama. Gitar yang ia beli dengan menabung uang saku selama dua bulan, lalu belajar dengan giat untuk memainkan sebuah lagu. Gitar yang menjadi saksi betapa Alka menggilai Sara dulu.
Alka mengusap pelan gitar miliknya, tersenyum kecil melihat catatan yang dibuat Sara.
'16 Mei 2013'
Hari di mana Alka melamar Sara dengan gaya norak. Memakai pakaian seperti orang kasmaran. Lalu, sebuah lagu jadul tapi manis ia mainkan. Alka melamar Sara, membeli cincin dengan permata untuk dipasangkan di jari manis calon istrinya saat itu. Sara yang semula ragu akhirnya memantapkan diri untuk menerima pinangan Alka.
'Kau tahu, Al. Aku selalu mencintaimu. Jangan merasa bersalah, karena pada akhirnya ... kita juga akan berpisah.'
Alka menengadahkan kepala, menahan buliran bening yang memaksa keluar dari mata. Sara mencintainya, dia pun begitu. Hanya saja, Alka tidak mau menyakiti Sara lebih dalam lagi.
"Kita akan berpisah. Aku ... merasa sangat bersalah padamu," lirihnya, memeluk gitar yang telah menemani kisah mereka dulu.
...
"Alka akan ikut makan malam. Sudah kupastikan." Sara tersenyum tipis, menerima panggilan. "Tidak. Kami akan berpisah. Alka tidak perlu tahu itu. Lebih baik dia tidak tahu," gumamnya.
Sara menyugar rambutnya, beberapa helai ikut terbawa. Dia tersenyum tipis, masih menerima telepon. "Tidak. Aku masih sangat mencintainya. Dia yang terbaik untukku," ungkapnya.
"Sudahlah. Datang saja dengan Chandra nanti. Aku menelepon untuk mengingatkanmu tentang pesta nanti malam. Kenapa harus membahas hal lain?" keluhnya.
"Pastikan dirimu datang, dan jangan bicara omong kosong di depan Alka!" tekannya.
...
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Days Before Divorce •√
FanficSaat pernikahannya berada di ujung tanduk, Sara tidak meminta banyak hal pada Alka, suaminya. Dia hanya meminta tiga hari milik sang suami untuk mengingat kembali setiap momen manis kehidupan rumah tangga mereka selama ini.