#5

480 32 1
                                    

Memulai pagi dengan menatap wajah Alka yang masih terlelap. Sara merasa hatinya berdebar luar biasa, seperti saat pagi pertama setelah pernikahan mereka. Jantungnya berdetak tak karuan, memberikan alunan kuat tentang perasaan yang masih tersisa banyak.

Maniknya mengamati garis wajah yang Tuhan ciptakan. Alka itu luar biasa tampan. Pria paling tampan yang bisa Sara bayangkan. Dimabuk cinta, begitu orang lain mengatakan. Tapi, Sara yakin jika siapa saja akan bertingkah seperti dirinya saat berhadapan dengan seseorang yang memenuhi pikiran.

"Apa aku terkena sihir?" gumam Sara. Wajar saja dia berpikir seperti itu. Orang lain mungkin menatap Sara sebagai orang gila yang tidak bisa bergerak maju. Mendambakan perasaan yang tidak akan pernah bisa digapainya lagi.

Sara berada dalam jurang yang terlalu dalam. Memaksakan diri, dan terus menyakiti hatinya.

Menatap sekali lagi guratan indah yang menjadi lukisan hidup di depan mata. Sara mendekatkan bibirnya pada kening Alka, mengecupnya pelan dan tersenyum manis. Bahagia itu sederhana, Sara mempercayainya.

Membenarkan letak selimut Alka sebelum berangsur turun dari ranjang mereka. Sara berniat memulai hari, menyiapkan sarapan sambil memikirkan apa saja yang bisa mereka lakukan hari ini.

Sara membasuh wajahnya, menatap pantulannya di cermin. "Pagi, Sara." Menyapa diri sendiri.

Mengembuskan napas lelah, dia mengusap wajah yang memainkan banyak drama kemarin. Sara berjalan setelah membuang tisu ke tempat sampah, menuju dapur tempatnya memulai kegiatan pagi ini.

Tangannya bergerak limcah, mengambil bahan-bahan yang akan digunakan untuk memasak, lalu mulai mengolahnya satu per satu. Sara ingin membuat roti lapis dan susu coklat hangat, tidak terlalu bersemangat. Menatap sarapan pagi yang nyaris tidak menggoda seleranya sama sekali. Sara terbatuk, menyentuh dadanya yang sedikit sesak.

"Hah, melelahkan," gumamnya. Mendesis pelan, menyentuh dahinya sendiri. "Demam." Berucap dengan suara sangat lirih.

Sara menarik salah satu kursi untuk diduduki, melipat kedua tangannya di atas meja, lalu membenamkan kepala di sana. Kepalanya terasa sedikit pening. Sara ingin tidur lebih lama, kalau tidak ingat Alka adalah orang yang tidak bisa memulai hari tanpa sarapan lebih dulu. Meski seadanya, Sara ingin membuatkan sarapan yang bisa memberikan energi untuk suaminya.

Kepala Sara semakin terasa berat, untuk mengangkatnya saja dia tidak yakin bisa. Sara pikir, suhu tubuhnya semakin naik. Dia mungkin bisa pingsan di meja makan. Tubuhnya mendadak menjadi begitu lemas. Sara terisak, tidak bisa menahan semua rasa sakit yang menyerang tubuh.

"Sara. Ya Tuhan, apa yang kau lakukan?" Sara tidak bisa hanya untuk menoleh ke arah Alka. Napasnya mulai memburu, dan Alka yang kalut segera mengangkat tubuhnya.

"Al," lirihnya. Rasanya, sudah lama sejak Alka menjadi begitu khawatir akan keadaan Sara. Sara mendesah pelan, cukup lega. Baginya, melihat wajah Alka yang khawatir adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan. Meski begitu, melihat Alka mengkhawatirkannya, Sara merasa lega. Paling tidak, dia tahu jika meski hanya sedikit, Sara masih memiliki tempat di hati suaminya.

"Jangan bicara dulu. Ya Tuhan, semalam suhu tubuhmu masih normal. Kenapa sekarang sangat tinggi?" Alka terus meracau, meletakkan Sara di ranjang dengan hati-hati. "Kau pasti kelelahan. Kenapa terus menolak bantuanku, hah? Tubuhmu itu lemah!" Alka benar-benar terlihat kacau sekarang.

"Al," panggil Sara.

Alka menggeleng tegas. Air mukanya semakin tidak tenang, sedangkan Sara berusaha keras meraih lengan Alka, sekali lagi mengatur napasnya. "I'm okay, Al."

"You are not okay, Sara! Berhenti bicara dan biarkan aku menghubungi dokter!"

Sara menggeleng lemah, menyentuh ujung kemeja yang Alka kenakan. "Jangan pergi," pintanya. "Aku yang paling tahu keadaan tubuhku. Aku baik-baik saja."

Three Days Before Divorce •√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang