Hari Pertama III

9 2 0
                                    

Ikiru baru saja duduk di bangkunya, di pojok paling belakang dekat jendela, sinar matahari menyinari tempatnya lembut. Bukannya ia ingin duduk di sana, melainkan hanya bangku itu saja yang belum terisi.

Pertama kali ia sampai di kelasnya, beberapa anak langsung menyapanya ramah, berkenalan, dan segera menunjukkan tempat yang masih kosong. Suasana di kelasnya saat ini cukup ramai, saling bercakap-cakap dengan teman-teman mereka, wajah mereka ceria. Ikiru merasa sedikit lega, tak ada yang perlu dicemaskan.

"Halo." Bocah berambut sebahu di bangku sampingnya melambai. Ikiru tertegun karena pikirnya ia anak perempuan, ternyata bukan. Kalau bukan karena suara dan celananya ia akan benar-benar mengira bocah itu  perempuan.

"Aku Benjamin Houghton, panggil saja Ben." Bocah itu menjulurkan tangannya jauh, padahal jarak mereka tak begitu jauh.

"Ikiru." Ia menyambut uluran tangan Ben. "Tadayori Ikiru."

"Wah, nama yang bagus." Sahut Ben sedikit kikuk, tebakan Ikiru kembali benar. "Wajahmu terlihat berbeda, jadi kupikir kau dari luar negeri." Simpul Ben mengacak rambut panjangnya.

Ikiru menggeleng, lalu teringat wejangan Charlie beberapa waktu lalu. "Tapi keluarga ayahku memang dari luar negeri." Timpal Ikiru berusaha mencari kalimat yang sesuai, ia masih sedikit ragu. Lagipula ia tak pernah berbicara sesering ini apalagi dengan anak-anak seumurannya. Baru tadi ia mengenal Charlie, sekarang muncul bocah bernama Ben. Ini pengalaman baru baginya, ia tak tahu bagaimana cara menyikapinya dengan benar.

"Itu hebat!" Seru Ben antusias, matanya berbinar. "Sebenarnya aku juga bukan dari sini. Rumahku di Utara." Jelas Ben semangat. "Ayahku melakukan penelitian di Barat, jadi kami sekeluarga ikut pindah kesini untuk memudahkan semua urusan kami."

Setahu Ikiru dari buku-buku yang pernah ia baca. Paraland terbagi jadi empat bagian. Wilayah Kerajaan, Barat, Utara, dan Selatan. Dan setiap wilayah punya iklim yang berbeda. Utara dekat dengan kutub, salju turun hampir sepanjang tahun, tak heran rambut Ben panjang, itu memang budaya disana. Wilayah Kerajaan dan Barat punya iklim yang sama dengan empat musim yang teratur. Sementara Selatan sebagian wilayahnya seperti Barat dan Kerajaaan dan sebagian lainnya dikelilingi laut, membuat wilayah itu punya iklim laut yang kering. Di Selatan juga terdapat pegunungan Gordo yang menjadi batas timur  Paraland dengan Ankharasia, negara bangsa Penyihir.

"Apa kau melubangi danau untuk memancing?" Tanya Ikiru tertarik.

"Ya, kami melubanginya." Jawab Ben senang. "Rasanya sangat bosan ketika menunggu ikannya memakan umpan."

"Pernah melihat beruang?" Tanya Ikiru lagi, ia ingin memastikan semua yang ia baca benar.

"Wah, kau tahu cukup banyak." Seru Ben riang. "Beruang di sana bisa setinggi.."  jari Ben terus mengarah naik. "Nah, setinggi itu, atau lebih tinggi lagi." Jarinya terarah ke langit-langit ruangan. Ikiru terkesiap dengan penjelasan Ben, membayangkan bagaimana jika bertemu dengan seekor beruang yang tingginya lima kali lipatnya.

"Hebat.." gumam Ikiru takjub, matanya terarah ke langit-langit juga.

Kriiiiiiing... Kriiiiiiing... kriiiiiiing...

Denting bel menandakan waktu masuk sekolah, pelajaran dimulai. Semua siswa kembali ke bangku masing-masing, Ikiru dan Ben juga mengakhiri percakapan mereka.

Ikiru memperbaiki posisi duduknya dan melihat bangku depannya, seorang bocah laki-laki berambut keriting masih tertidur pulas. Ia tergerak untuk membangunkannya, tangannya terulur ke depan, menepuknya pelan.

"WAAAAH!!!!!" Bocah itu terkejut, sontak menoleh ke belakang.

"Eh, maaf. Pelajaran sebentar lagi dimulai." Ucap Ikiru kikuk, bocah keriting itu menatapnya lemas, wajahnya seperti seragamnya yang kusut.

"Oh, terima kasih. Mason Hartman, mari berteman." Bocah itu memperkenalkan diri dengan keadaan setengah sadar, tangannya terjulur ke belakang.

"Ikiru, Tadayori Ikiru." Ucapnya menyambut tangan Mason, menggoyangnya pelan sebelum melepasnya. Guru mereka memasuki kelas.

"Selamat pagi, anak-anak, nama saya Pak Onez, saya adalah wali kelas 1-B ini, semoga kalian bisa membuat kesan yang baik dan membanggakan." Pak Onez mengambil lembaran yang ada di atas meja guru. "Baik, sekarang saya akan sebut nama kalian satu persatu." Pak Onez mengedarkan pandang ke penjuru kelas. "Bagi yang namanya disebut, bisa berdiri dan memperkenalkan dirinya." Jeda sesaat. "Baiklah Albert Matthew,"

Seorang bocah dengan rambut hitam keriting berdiri. "Namaku Albert Matthew, aku tinggal di..."

Ikiru terus memperhatikan dengan seksama satu persatu temannya berdiri memperkenalkan diri secara singkat. Semuanya terlihat senang pagi ini, tak ada cemoohan, tak ada tatapan sinis. Ia tidak menyangka bahwa ini akan benar-benar terjadi, ia tidak menyangka bahwa ia akan benar-benar mendapatkan seorang teman. Dan sampai gilirannya tiba.

"Tadayori Ikiru," Panggil Pak Onez. Semua orang menoleh ke bangku Ikiru di belakang.

Dengan jantung yang berdegup kencang Ikiru mulai berdiri, dahinya  berkeringat. "Per-kenalkan, nama-ku Tadayori Ikiru, rumahku di desa Woodenhill tak jauh dari Stormcloud." Ikiru sangat gugup, sampai-sampai suaranya terdengar bergetar. "Eh, aku suka membaca, kalau kalian ke rumahku akan ada banyak buku di sana." Ikiru menjadi semakin gugup, hanya itu yang ada dalam benaknya, tapi ia kembali teringat wajah Charlie. Ikiru mengambil napas. "Aku tinggal bersama bibiku, dia pintar memasak. Aku membantunya membuat sarapan, membantu memanen sayuran di halaman belakang, menimba sumur, memetik apel, dan mengorek madu-" Sedetik kemudian Ikiru baru menyadari apa yang baru saja ia katakan, saking gugupnya kata-katanya keluar tanpa sadar. "Eh?"

Seketika seluruh orang di kelas tertawa. Ikiru menjadi khawatir, napasnya tersengal, traumanya akan kambuh. Bagaimana kalau ternyata teman-temannya malah mengolok-oloknya. Selama ini yang Ikiru tahu ketika ada orang yang menertawakannya berarti mereka sedang mengolok-oloknya. Mata Ikiru mulai berkaca-kaca, ia segera menundukkan kepalanya agar tidak ada yang menyadari bahwa dirinya hampir menangis.

"Kedengarannya menyenangkan. Aku akan menjadi orang pertama yang main ke rumah Ikiru!" Seru seorang bocah yang rambutnya menantang langit sambil bangkit dari tempat duduknya.

"Tidak, aku yang akan duluan kesana. Aku penasaran rasanya punya ayam sendiri." Tukas seorang gadis berwajah oriental yang kental dengan rambut hitam sebahu, aksennya tidak seperti orang lokal, tapi ia lancar dengan bahasanya.

"Kedengarannya seru, apakah aku juga boleh berkunjung?" Tanya Ben antusias, ia terlihat sangat gembira.

Perlahan, Ikiru mulai menyadarinya. Ini berbeda dengan yang mereka lakukan, mereka terlihat sebaliknya.

Ikiru jadi salah tingkah mendapatkan reaksi yang tak disangkanya, bahkan Pak Onez ikut terbawa suasana. Dengan wajah yang sulit digambarkan, Ikiru tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Hehe...

Return 0: Awal; Bag ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang