# Epilog

69 9 10
                                    

-  h a p p y  r e a d i n g ✨

Kala duduk tertunduk di samping gundukan tanah yang masih basah. Perempuan itu tak henti mencurahkan isi hatinya kepada manusia yang berada di dalam tanah itu.

Di belakangnya, ada Adam dan Bian yang senantiasa memegang payung hitam untuk menaungi Kala.

Di sampingnya, ada Ibu dan Risa yang tak henti mengusap bahu Kala, agar anak itu bisa tenang.

"Ayah, maafin Kala," lirihnya sambil terisak.

Kala kembali meneteskan air matanya cukup deras. Ia tak bisa membendungnya lagi.

"Kala egois, Kala mentingin diri Kala sendiri, Yah. Kala minta maaf," kata Kala

Perempuan itu mengusap nisan bertuliskan nama sang Ayah. "Habis ini, Kala harus apa, Yah? Kala bodoh, Kala gatau kalau selama ini Ayah sakit keras."

Lagi-lagi, Kala tertunduk dengan air mata yang terus mengalir.

🍂🍂🍂

Kala duduk di depan jendela kamarnya. Sejak pulang dari pemakaman, ia mengurung diri di dalam kamar. Bahkan ia tak menghiraukan Bian yang berada di luar bersama ibunya.

Kala merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Kepergian sang Ayah membuat dirinya larut dalam kesedihan yang mendalam.

Kala tidak menyangka. Setelah ia mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa, setelah impiannya tercapai, ada harga yang harus ia bayar untuk itu. Ia kehilangan sosok Ayah yang selama ini tulus mencintai dirinya.

Hujan di luar sana turun sangat deras, membasahi tanah yang kering akibat kemarau panjang. Hujan yang selalu ditunggu oleh semua orang ketika musim kemarau.

Layaknya hujan di penghujung kemarau, yang selalu dinanti oleh semua orang. Kala juga menanti hujan yang diartikan sebagai impian dan kemarau yang diartikan sebagai perjuangan dalam hidupnya.

Hujan malam itu, seolah paham dan peka terhadap perasaan Kala.

Kala, yang duduk di depan jendela kamarnya, merenung dalam derai hujan yang semakin lebat. Setiap tetes hujan seakan mencerminkan air mata yang turun dari matanya.

Setiap tetes hujan menjadi simbol bagi setiap keringat yang ia curahkan untuk meraih impian. Begitu juga setiap hujan yang dinanti, menjadi penanda bahwa setiap perjuangan yang dijalani, akhirnya tiba pada saat yang tepat.

Hujan di luar sana memperkuat rasa dalam hati Kala. Ia menyadari bahwa meski kehilangan sosok Ayah yang dicintainya, hidup tetap melanjutkan perjalanannya seperti air hujan yang menyiram tanah kering.

Kala, dalam merenungi, semakin yakin bahwa kehidupan ini bagai hujan setelah kemarau. Sesuatu yang diimpikan dan dinantikan akhirnya datang di waktu yang paling tak terduga.

Walaupun, Takdir berbicara lain ketika pelita di hidup Kala tiba-tiba terlepas di saat semua mimpinya dapat tergenggam.

.
.
.

Tamat

Hujan Di Penghujung Kemarau ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang