Kilas balik

44 4 0
                                    

Remaja berambut merah itu terjatuh, mencengkram salah satu kakinya yang mengeluarkan darah akibat tembakan peluru oleh seseorang.

"Mau kemana Leo?" Brandon melangkah santai setelah meniup ujung pistolnya senang. Menginjak genangan darah yang muncrat dimana-mana.

Menempelkan telapak tangan orang lain yang terpotong sebatas pergelangan.

Brandon berjongkok, menempelkan telapak tangan orang lain yang sengaja sudah dipotong sebatas pergelangan tangan. Membuat gerakan seakan-akan sedang mengelus puncak kepala Leo penuh sayang. "Baby Leo, jangan tinggalkan Daddy!"

Deg

Leo menggeleng, itu telapak tangan besar milik Daddy-nya Matteo yang selalu memberikan tepukan dan elusan di kepalanya. Berlumur darah, terpotong, dan sekarang dibuat mainan oleh Brandon.


Brandon menyeringai iblis, lantas menghempaskan telapak tangan Matteo. "Sekarang giliranmu, Baby Leo!"

Dorrr

😭

Leo terbangun dari tidurnya dengan nafas tidak beraturan. Sepasang manik biru lautnya bergetar ketakutan, di dalam mimpi Leo mati. Daddy-nya dimutilasi, saudara-saudaranya... 

Tukk

Tukk

"Reo? Sudah bangun?" Sebuah jari telunjuk mengetuk-ngetuk kening Leo.

Leo tersentak, disambut tatapan khawatir seorang anak laki-laki yang tidak dikenalinya, tapi wajah itu familiar. Lupa dengan mimpinya, Leo langsung berhambur ke dalam pelukan anak laki-laki itu. Ahh, pelukan yang paling hangat adalah pelukan dari kakaknya Goriorio.

"Oreoo!!" Goriorio itu mengguncang tubuh Leo, begitu merasakan sesuatu yang kental dan hangat jatuh dari hidung adiknya. Goriorio lantas melepas rengkuhannya, melihat kulit pucat wajah Oreo yang kini kontras karena mimisan deras.

Goriorio menarik selimut lusuh yang membungkus tubuh mungil Oreo. Mengelap darah yang terus keluar di hidung adiknya dengan hati-hati. Oreo menjadi lebih lemah dan sering jatuh sakit semenjak dibuang oleh orang tua mereka. Ditelantarkan di hutan perbatasan kota, di pinggir jalan yang kebetulan terdapat gubuk tua tanpa pemilik.

"Maaf," Goriorio ganti memeluk Oreo erat. Kedua bola matanya berkaca-kaca, merasa sakit atas apa yang menimpa adiknya sampai seperti ini.

"Rio lepas!" apa sih?

Oreo risih, ini terlalu erat. Lagian kenapa juga Goriorio meminta maaf, apa karena keadaannya sakit-sakitan dan tidak bisa menolong?

Itu sangat menyinggung hati mungilnya. Oreo menepuk-nepuk punggung Goriorio. Penyakit kepalanya tiba-tiba kambuh. Seperti dihantam batu besar, ditusuk jarum, saking sakitnya Oreo tidak kuat menegakkan badan. 

Tapi entah kenapa, mulutnya terbiasa menyebut nama itu dan ada ingatan asing yang seakan-akan sudah dikenalnya. Sedangkan soal mimpi tadi, jangan-jangan hanya mimpi.

"Oreo?... Kepalamu sakit lagi?" Tanya Goriorio panik, wajah Oreo semakin pucat dengan raut kesakitan.

"Akhhhh sakit!! Shh... Sakitt!! Kakak sakit!!!" Oreo menjambak rambutnya kasar.

Goriorio membaringkan tubuh Oreo. "Kakak cari bantuan, kamu tunggu disini. Oreo dengarkan Kakak, tetap sadar! Tunggu kakak!" 

Goriorio bergegas berlari keluar gubuk. Sial, Goriorio lupa dimana dirinya dan Oreo berada sekarang. Belum lagi jalan raya yang ada dihadapannya sangat jarang dilewati kendaraan. Rumah sakit jauh, bagaimana ini?


Leo memejamkan mata, kepalanya sangat sakit "Sakit, hiks... Kakak sakit!"

Goriorio menegang, seperti yang terjadi semalam. Keadaan Oreo kembali memburuk. Kurang makan, kurang gizi, tidak memiliki uang. Andaikan anak seperti mereka memiliki orang tua.

Kedua manik kembar Goriorio berkaca-kaca. Goriorio berlari keluar rumah. Goriorio tidak tahan dengan keadaan seperti ini. Bukan berarti Goriorio benci Oreo sakit, tapi Goriorio takut jika Oreo semakin memburuk. Lalu...

"Oreo..." Goriorio tidak kuat lagi harus bagaimana, tapi kalau dirinya menyerah besar kemungkinan harapan yang selama ini disusunnya hancur lebur. Takdir kejam, ketika masih kecil Oreo didiagnosis memiliki riwayat penyakit serius yang Goriorio tidak terlalu mengerti penyakit apa, yang Goriorio tahu, penyakit itu bisa membuatnya kehilangan Oreo kapanpun.

Orang tua mereka yang baik dan selalu melimpahi kasih sayang, semakin lama semakin muak. Menghabiskan banyak uang untuk kesembuhan Oreo, tapi malah tidak kunjung sembuh. Kesialan datang ketika perusahaan orang tua mereka bangkrut dan berakhir tidak punya uang lagi. Orang tua mereka tentunya merasa kesal dan melimpahkan semuanya pada Oreo. Lalu mereka membuang Oreo dan Goriorio disini.

"Re-o... Reo... Maaf hiks, Kakak nggak bisa apa-apa huhu!! Kakak nggak bisa bawa kamu ke rumah sakit, disini nggak ada orang hiks..." Goriorio mengusap kelopak matanya kasar. Karena terlalu fokus menangis, dari kejauhan sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.

Bruaaaaghh

Ckittt...

🤣

Kecupan gemas mendarat di pipi gembul Mochi. Gerald tidak hanya menciumi seluruh wajah, tapi juga mengguncang tubuh Mochi. "Bangun, Chii!"

Bukannya bangun, Mochi malah mendengkur malas.

"Chi!!" Kesabaran Gerald yang setipis tisu habis. Pemuda 22 tahunan itu langsung mengangkat tubuh Mochi kedalam gendongannya.



Gerald menyalakan kran di kamar mandi, membasahi tangannya dengan air. Tanpa berperiKeMochiam Gerald mengelap seluruh wajah Mochi dengan air yang berlimpah. "Bangun Kucing pemalas!!"

Mochi menggeliat, bibirnya mendesis sebal. "ABAANGG!!"

Gerald terkekeh, tapi masih juga belum menghentikan kegiatannya. Selesai membersihkan wajah, Gerald membantu Mochi menyikat gigi. "Mau dimandikan atau mandi sendiri?"

"Bangsat!" Mochi melempar sikat giginya kasar.

"Cob--"

"Abang maaf!!" Mochi langsung menyatukan tangan di depan dada. Manik kembarnya bergetar takut, walaupun sepenuhnya Ia merasa kesal. "Mochi mandi sendiri, Abang keluar!"

Gerald membuang nafas kasar, lantas menurunkan Mochi dari gendongannya. Melangkah keluar dengan perasaan sedikit kesal, karena adik bungsunya benar-benar berani mengumpatinya. Lebih baik dia mengadu pada Daddy-nya agar Daddy-nya menghukum Mochi.

Setelah memastikan kakak keduanya pergi, Mochi menutup rapat pintu kamar mandi. Mochi berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap pantulan dirinya. Tubuh mungil, wajah polos, pipi tumpah-tumpah, benar-benar malaikat kecil yang sempurna.

Mochi menyeringai licik. "Terimakasih atas fisik yang menyerupai malaikat ini, setidaknya sekarang nasibku tidak lagi luntang-lantung di jalan."

Mochi terus menatap cermin, mengagumi paras yang dulunya buluk tertutup debu, kini berkilauan layaknya berlian. Mochi harus menampilkan sifat polos dan menarik perhatian di keluarga ini untuk kelangsungan hidupnya. Sekarang, misi utamanya mengubah suasana keluarga ini yang dingin menjadi lebih hangat, mungkin?

Oreo Goriorio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang