Setelah kembali memasukkan Oreo ke tempat semula, kini Lays disidang kepala keluarga Austin. Gery masih melemparkan tatapan tajam pada Lays, menurut sesuatu yang Lays tidak mengerti. Justru Lays menyibukkan diri dengan layar tabletnya yang menampilkan grafik saham perusahaan. Menurut Lays, kenapa pula pria bau tanah seperti ayahnya ini sampai datang ke rumah sakit.
"Lays tatap mata Daddy!" Perintah duda empat anak yang masih berumur 47 tahunan ini.
Lays melirik sekilas Gery, bergidik ngeri mendengar ucapan Gery. "Itu menjijikan."
"Sialan, LAYS!! KAU INGIN MELAWAN DADDY?" Meledaklah emosi Gery. Ah iya, sedingin-dinginnya Lays, Lays itu mantan anak bedugal yang dipaksanya untuk berubah karena dia anak sulung. Sebelum Lays masih menginjak sepuluh tahun, Gery sempat memberikan piala berlapis emas sebagai juara pertama sebagai anak ternakal di keluarga besar Austin. Setelah Lays berhasil berubah sebagimana sulung yang sesungguhnya, malah ganti adik-adiknya yang menjadi nakal. Suka balap liar dan menjadi buaya darat.
Lays membuang nafas kesal, menatap Gery tanpa minat. "Apa?"
Gery yang sempat memijat pelipisnya, berhenti. "Kenapa semalam tidak pulang?"
"Bukankah sudah ku beri tahu lewat Astor?" Lays kembali fokus dengan layar tabletnya. Lays benci ayahnya yang bertele-tele dan berkesan protektif.
"Masalahnya Kau tidak terluka, seharusnya langsung pulang! Untuk apa sampai bermalam di rumah sakit hanya karena anak kecil yang kau tabrak sampai sekarat?" Gemas Gery.
Tatapan setajam silet, seketika menghunus netra bermanik hijau zamrud milik Gery. "Aku bukan anak kecil!"
Lays beranjak dari tempat duduknya, lebih baik sekarang dirinya pergi menyibukkan diri. Urusannya dengan anak kembar itu sudah selesai. Biaya rumah sakit juga sudah dilunasinya, hanya tinggal menunggu sembuh dan segera menghubungi orang tua mereka untuk pulang lewat bantuan John.
Setelah keluar dari cafe dekat rumah sakit dan mendudukkan pantatnya pada kursi kemudi yang cukup empuk, sakit kepala Lays sembuh total. Wajahnya yang selalu menampilkan raut dingin, kini menjadi tampak lebih tenang dan senang.
Lays gemar memeras otaknya untuk menghasilkan uang. Jika ditanya apa hobinya?
Ngepet
Lays menyalakan mobil, meninggalkan cafe yang sempat disinggahinya selama beberapa jam.
"Oreo?" Gumam Lays, dahinya seketika berkerut mengingat sepasang biskuit hitam yang dipersatukan dengan krim vanila. Pantas saja Lays merasa familiar dengan kedua bocah berambut merah, itu karena nama mereka mirip nama jajanan anak SD.
😶
Disisi Oreo yang berhasil meluluhkan hati sekeras bongkahan es kutub (Lays), Oreo sedari tadi duduk di dekat Goriorio. Bibirnya tak henti bergetar, begitupun dengan sepasang bola mata birunya yang terus melelehkan air mata.
Oreo mengecup punggung tangan Goriorio sedih. Goriorio yang kuat, Goriorio yang selalu menjadi panutannya sekarang terkulai lemah. Setiap Oreo mengeluarkan kata, Goriorio tidak menjawabnya dengan antusias lagi. "Kakak bangun dong! Oreo takut..."
Tenggorokan Oreo tercekat, tidak mau membantunya untuk berbicara. Tadi Kakak Lays bilang Goriorio hanya tidur, setelah itu Kakak Lays pergi. Orang yang berpakaian serba hitam tadi sekarang berdiri di balik pintu, entah apa fungsinya.
Oreo mengelus-elus rambut merah Goriorio. Bibirnya tersenyum sedih. "Oreo dulu nggak suka elus rambut kakak, karena Oreo yang lebih suka dielusin rambutnya. Tapi Kakak pernah marah-marah karena Oreo gak suka elusin rambut kakak, katanya juga pengen tau rasanya. Sekarang Kakak udah rasain kan?"
Lays juga sempat bilang, akan lebih baik Oreo mengajak berbicara Goriorio agar Goriorio mau cepat bangun.
Semoga saja benar.
"Kak Rio, Kak Lays baik banget mau bawa kita ke rumah sakit. " Tangan Oreo berhenti mengelus rambut Goriorio.
🥴
Astor mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah, panas. Terik matahari di siang hari sangat menyengat, tapi mobil Gerald tidak muncul-muncul juga.
Astor ingin sekali berteriak keras, Ia sangat kesal. Karena Lays kemarin sempat menabrak bocah, Astor menjadi dilarang naik motor dan harus diantar jemput. Kata Gery takutnya terjadi kecelakaan sama seperti Lays.
Orang tua selalu begitu.
Astor menyipitkan mata begitu melihat lima meter dari tempatnya duduk menunggu jemputan ada penjual cilok. Sepertinya tidak buruk juga menunggu jemputan sambil makan cilok. Ah, Si Mochi pernah bercerita jika makanan bulat-bulat itu sangat enak.
Astor bangkit, berjalan mendekati gerobak cilok. "Bang? Ini jualan cilok?"
Abang-abang cilok yang memakan ciloknya sendiri karena kelaparan, menyembulkan kepala. "Jualan bakso lah! Jelas-jelas di gerobaknya ada tulisan Cilok Telur Puyuh, ya jualannya cilok!"
Astor tertawa kaku, malu juga. Pakaian SMA tapi terlihat seperti orang yang tidak bisa membaca. "Maap-maap, Bang!"
Abang penjual cilok itu menelan suapan cilok terakhirnya. "Beli berapa?"
"Lima ribuan seratus bungkus!"
🥺
"Mochi!! Abang i am coming!!" Astor menerjang tubuh kecil Mochi yang tengah berbaring di atas sofa ruang keluarga. Anak itu tengah asyik menggigiti permen rasa strawberry berbentuk ayam jago.
"Ihhhh!!! Abang Bauuu!!" Mochi menggeliat risih. Kedua tangannya langsung memukul-mukul dada bidang Astor.
Sumpah mirip kera yang sering ditontonnya di tv tentang dunia binatang. Mochi benci kera yang sejenis dengan Astor, suka tersenyum, suka memeluk, dan suka membalas kenakalannya.
Astor cengengesan, lantas melepas pelukannya. "Stop! Stop! Bayi gak boleh marah-marah!"
"Lihat Abang bawa apa!" Astor menunjuk beberapa bodyguard yang berdiri sejajar membawa banyak kantung kresek berisi banyak cilok.
"Waaaaa cilokkk!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oreo Goriorio
Teen FictionBukan jajan lima ratusan, tapi ini tentang sepasang anak kembar yang memiliki nama yang sama dengan nama jajan anak SD. Isinya bukan cerita transmigrasi ataupun translokasi, tetapi mengandung lintas waktu dari masa lalu ke masa depan. Keluarga yang...