Lays

25 6 0
                                    

Untuk kali kedua, Oreo membuka mata. Rasa nyeri di bagian punggung tangan langsung datang menyambut, disusul sakit kepala dan perut yang semakin parah.

Kali ini berbeda, saat bangun punggungnya terasa nyaman karena ranjang pesakitan yang lebih empuk dan halus. Ruangan serba putih, bau obat, dan meja di dekatnya yang terdapat vas bunga.

Tatapan mata Oreo yang sempat mengitari seluruh ruangan tiba-tiba berhenti di satu titik. Tepatnya di atas sofa, sesosok pria berjas hitam tengah duduk dan sibuk dengan benda yang bisa buka lipat.

Benda yang mirip dengan milik ayahnya.

Oreo mengalihkan tatapannya, bibir pucatnya bergetar. "Ka.. kak? Kakak, hiks..."

Mendengar racauan lirih disertai isakan, membuat Pria itu langsung menutup laptopnya. Beranjak bangkit untuk mendekati ranjang Oreo.

Merasakan hawa keberadaan seseorang mendekat, Oreo menghentikan racauan menyedihkannya. Sepasang manik biru laut Oreo bergetar, menatap pria berjas hitam itu ketakutan. "Dima-na, kakak? Hiks... Kakak?"

Pria itu menyentuh surai merah Oreo. "Aku menabraknya dengan mobil, maaf."

"Kakak?!!! Kakakk, nggak, Kakak nggak mungkin!!! Oreo mau sama dia, hiks... Kak-hmmmmph!!" Tangan Pria itu membungkam mulut Oreo erat.

"Bocah itu tidak mati."

Oreo semakin menangis histeris, berusaha bangkit dengan tubuh lemasnya. Dia ingin melihat kakaknya. Dengan sekuat tenaga, Oreo menghempaskan tangan besar yang membungkam mulutnya. Tapi setelah dihempaskan, tangan itu ganti menekan bahu kirinya. "Berhenti bergerak atau aku akan membunuhnya?"

"Aku bisa membunuh orang kalau Kau mau." Pria itu merogoh saku celananya, mengeluarkan pisau lipat yang selalu dibawanya kemana-mana. Sekedar memberikan ancaman.

Tubuh Oreo menegang, Oreo ketakutan. Wajahnya pucat pasi,dari mimik wajah pria itu, Dia tidak main-main dengan ucapannya. Oreo menunduk takut, bagaimana ini? Oreo ingin melihat kakaknya. Oreo khawatir dan takut jika kakaknya tertabrak cukup parah.

"Jika ingin menemui Gori-ori..? Istirahatlah dengan tenang! Kalau tidak, kubunuh Dia!" Ancam pria itu dingin.

Setelah memastikan Oreo tenang, pria itu melepaskan cengkeramannya pada bahu Oreo. "Namaku Lays, panggil Aku sesukamu!"

Cklekk

"Permisi, Saya akan memeriksa kondisi pasien." Seorang dokter laki-laki tiba-tiba datang bersama seorang perawat perempuan. Deka lantas menyingkir, memberi ruang untuk pemeriksaan. Tatapan matanya yang dingin, tidak lepas menatap Oreo.

Selesai memeriksa Oreo, dokter itu menghadap Deka. "Ada yang ingin Saya bicarakan, tolong ikut ke ruangan Saya."

🥴

Sepasang kaki mungil Mochi berjalan riang menuruni anak tangga. Mochi sudah mandi dan wangi. Tubuhnya kini terbalut sweater hangat bewarna Sage dengan celana pendek selutut berwarna putih susu, juga sepasang sepatu putih dengan hiasan tokoh kartun yang menempel di sana.

Aaaa, bisa dikatakan sangat menggemaskan dan menyilaukan mata.

Sesampainya di meja makan, Mochi berteriak. "Selamat pagi Eperiy badehh, keluargaku tercinta!"

"Bunny!" Mochi meringis, menunjukkan deretan gigi susunya. Mochi menarik salah satu kursi yang akan didudukinya.

Salah satu remaja berambut merah yang duduk di sebelah Mochi, mencubit kecil pipi kelebihan lemak milik Mochi. "Tidur jam berapa semalam?"

Mochi berjegit, reflek menginjak kaki remaja yang lebih tua dua tahun darinya. Meminta agar tidak bertanya tentang itu. "Kak Astor, shuttt!!"

"Apa?" Anak ketiga keluarga Austin tiba-tiba menyahut. Menyorot Mochi dengan tatapan tajam.

Sementara putra keluarga Austin yang lain, memilih acuh dan kembali memelototi sang kepala keluarga yang masih belum juga memulai sarapan.

Mochi menggeleng gugup, ayolah semua orang yang ada disini sangat menakutkan. Misi utamanya memang harus bertingkah polos dan menarik perhatian, tapi karena kecerobohannya semalam, semuanya berantakan. Mochi belum pernah menghadapi kemarahan mereka, bahkan Mochi tidak tau cara membujuk mereka. Mochi saja baru dua Minggu ini menjadi anak angkat di keluarga Austin, kalau sudah begini Mochi kena mental.

Membuat marah, berarti Mochi bisa saja langsung diusir.

"Astor, panggil Lays untuk turun!" Perintah kepala keluarga Austin. Sebut saja Gery Austin. Duda empat anak minus Si anak angkat.

Astor yang hendak balas menginjak kaki kecil Mochi, terhenti. Ah, awas saja, Astor tidak akan tinggal diam setelah ini. Dengan ogah-ogahan, Astor bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan meja makan untuk memanggil Si Sulung.

Lays Austin, pemuda berumur 25 tahun yang akan mengambil alih perusahaan raksasa Austin's Company. Perusahan yang bergerak di bidang penerbangan, properti, dan keamanan negara.

Lays memiliki kepribadian yang cukup dingin tak tersentuh. Dunianya cukup monoton, karena hari-harinya hanya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja. Hobinya mengoleksi dan memainkan organ dalam manusia, terutama manusia-manusia yang mengusik kehidupannya.

Sebagai anak sulung, Lays dididik dengan keras. Disiplin adalah menu utamanya, tapi kali ini?

Astor mengetuk pintu kamar Lays pelan, takut kalau terlalu beruntun kakaknya langsung melesatkan timah panas ke jantungnya. Ingat, Kakak sulungnya membenci orang-orang yang mengusiknya, sekali diusik, nyawa melayang seketika.

Meskipun Astor adiknya, Lays tidak pandang bulu. Pernah suatu ketika, Kakaknya Gerald mengusik hubungan percintaan Lays hingga hancur berantakan, sebuah peluru bersarang di paru-parunya.

"Ka-"

Suara Astor tertahan, benda persegi yang disimpan di saku celananya bergetar. Pertanda panggilan telepon masuk dari kakak sulungnya. "Halo?"

"Kakak pulang telat, kakak sedang di rumah sakit karena terjadi kecelakaan."

"APA?! Kakak gapapa kan?! Kenapa bisa kecelakaan?" Pertanyaan beruntun seketika meluncur dari bibir Astor. Detak jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya, Astor ketakutan. Astor seketika berlari kencang kembali ke bawah.

"Kau berlari? Kakak tidak kenapa-kenapa. Hanya menabrak anak kecil sampai sekarat." Suara Lays terdengar tenang tanpa rasa bersalah di seberang sana.

😒

Selepas berdalih pergi ke toilet, padahal sebenarnya menghubungi salah satu keluarganya kalau pulang terlambat, Lays berhenti di depan sebuah ruangan yang bertuliskan UGD. Baru beberapa jam yang lalu, untuk pertama kalinya Lays hampir membunuh anak kecil, jika biasanya Lays membunuh musuh-musuhnya yang berumur dewasa atau tua.

Bahkan telapak tangannya masih merasakan berat kepala kecil yang berlumur darah dalam dekapannya. Lays masih ingat, sebelum kesadaran anak kecil itu hilang, anak kecil itu meracaukan kata adik, tolong, dan selamatkan.

Lays merasa aneh, langsung memerintahkan asistennya untuk memeriksa hutan. Sedangkan dirinya langsung melesat ke rumah sakit.

Benar, ditemukan sebuah rumah tak layak huni, terletak beberapa meter lebih dalam dari jalan raya. Didalamnya tergeletak seorang anak kecil yang tengah kesakitan dan sekarat.

"Fell, selidiki asal usul anak kembar itu!" Pinta Lays setelah memencet tombol panggil.

😏

Oreo Goriorio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang