Ambulance

13 1 1
                                    

Di sebuah padang rumput yang lebat, yang ditumbuhi bunga dandelion, terlihat sepasang anak kembar berambut merah tengah berlarian dengan wajah gembira. Oreo mempercepat larinya dan langsung menubruk Goriorio. Mereka seketika langsung ambruk di antara rerumputan, membuat bunga-bunga dandelion berterbangan di udara.

Goriorio dan Oreo tertawa kencang.

"Kakakkk!!!" Oreo memeluk erat Goriorio. Entah mengapa Oreo sangat merindukan Goriorio dan ingin memeluk Goriorio sangat lama.

Goriorio mengusap-usap rambut Oreo sembari menatap langit biru cerah dengan beberapa awan putih yang menggantung. "Reo pengen ketemu Mommy ga?"

Oreo melepaskan pelukannya pada Goriorio, menatap aneh sang kakak. Maksudnya Santi ibu mereka? Eh, tapi kenapa tiba-tiba Goriorio memanggil Santi Mommy? Bukannya selama ini dipanggil Ibu?

"Oreo nggak mau ketemu, Ibu kan jahat sama kita. Dia buang kita, Kakak." Oreo merubah posisinya menjadi terlentang, kedua tangannya sibuk mengambil beberapa bunga dandelion. Mengamati bunga-bunga dandelion dalam tangannya dengan polos.

"Bukan ibu Santi, Rio!" Goriorio menarik Oreo agar duduk. Dari arah belakang, tanpa  Oreo sadari sesosok wanita cantik berambut perak memeluk Oreo erat. Karena pelukan tiba-tiba itu, bunga dandelion yang niatnya Oreo tiup, gagal dan berterbangan.

Wanita cantik itu menciumi pipi Oreo penuh sayang. "Ihhh siapa sihhh?"

Oreo berbalik, menghadap ke arah wanita cantik itu.

"Mommynya Lio sama Leo." Wanita cantik itu tersenyum, ganti memeluk Goriorio hangat.

"Tapi ibu Oreo kan Ibu Santi?" Gumam Oreo kecil, tidak mungkin keras-keras. Oreo sangat menghormati orang yang lebih tua dan tidak ingin menyakiti hati orang yang lebih tua, meski orang yang lebih tua tidak sependapat dengannya. Tapi juga, wanita cantik itu menyebut nama Lio dan Leo, bisa jadi bukan dirinya dan Goriorio.

Wanita cantik itu melepas pelukannya. Jari jemari lentiknya mengelus pipi Oreo lembut. "Leo sudah besar, ya? Mommy sayang Leo. Maafin Mommy selama ini nggak bisa bareng-bareng sama Leo, sama Lio juga."

"Sekarang Lio sama Leo umur berapa?"

Goriorio menunjukkan satu jari dan empat jarinya. "Empat belas tahun mommy!"

"Kalau Oreo, lebih muda lima belas menit dari Rio, Mommy!" Ucap Goriorio semangat, mendapat hadiah cubitan gemas di pipinya.

"Leo, Mommy sayang sama kamu. Mommy ingin bicara dan bercerita banyak hal sama kamu, Leo. Leo jadi anak yang kuat ya? Jadi good boy nya mommy, ya?"

"Maafin Mommy ya kalau selama ini dan nanti bikin Leo sedih. Sekarang udah waktunya, Lio ikut Momm--"





Oreo mencengkram perutnya yang terasa amat sakit dalam tidurnya.  Tak lama, sepasang kelopak mata Oreo terbuka. Sakit perutnya kambuh lagi, Oreo tidak tahu penyakit apa yang di deritanya. Tapi rasa-rasanya rasa sakit di perutnya  lebih sakit dari yang kemarin.

Oreo memiringkan tubuhnya ke kiri, meringkuk sembari menggigiti bibirnya. Sebenarnya dia kenapa? Belum lagi Oreo sangat mual dan ingin muntah.

Dari luar, John sedikit mengintip, setelah itu pergi memanggil dokter.

Oreo mencengkram perut kanan bagian bawah, rasanya sangat nyeri. Oreo tidak tahan.

🥺🤨

"Makamkan Dia sesegera mungkin. "  Lays melirik ke arah Brandon yang duduk dengan tenang, menunggu kelanjutan cerita Lays. Ah, sayang sekali, baru juga dibicarakan sudah lenyap dari dunia ini. Tapi ini sangat menarik!

"Tapi Tuan Lays, Saya belum memberitahu kematian Tuan Goriorio kepada Tuan Oreo." Terdengar suara John yang cemas. Meski baru kenal dua anak kembar itu, John menjadi merasa iba dengan apa yang menimpa mereka. "Apakah tidak apa-apa Saya memberi tahu Tuan Oreo?"

"Tidak usah, Oreo masih terlalu kecil, nanti Aku saja yang memberitahunya." Lays merogoh saku jasnya, mengeluarkan selembar foto yang baru dicetak. Di sana terdapat sesosok wanita berambut perak yang meletakkan dua keranjang bayi yang terbuat dari anyaman rotan di depan pintu rumah warga. "John, Aku memberimu tugas tambahan, Kau mau mengambilnya?"

"Tuan? Maksud anda...?"

"Sedikit mencurigakan bukan, anak kembar seperti mereka memiliki warna rambut yang menjadi ciri khas keluarga Austin?" Lays memberikan foto tersebut pada Brandon. Fokus Brandon langsung terarah pada dua keranjang bayi di depan pintu.

"Anda ingin melakukan tes DNA?" Reflek John tanpa sadar.

"Lakukan secepatnya, John. Tetapi jangan sampai terdengar di telinga Pak Tua Bau Tanah itu."

"Untuk pemakamannya, apa aku harus datang?" Lays teringat kabar duka yang baru disampaikan John.

"Sebaiknya Anda datang untuk memberikan penghormatan, Tuan." Lays menutup sambungan teleponnya. Memandang Brandon yang selesai memandangi foto dalam genggamannya. "Brandon, Kau ingin ikut denganku?"

"Itu sangat berbahaya, Lays. Terlebih jika Daddymu mengetahui keberadaan ku." Brandon meletakkan foto itu di atas meja. Sedangkan Lays bangkit dari duduknya, merapikan jas mahalnya yang menjadi sedikit kusut karena dari pagi tadi terus duduk.

Lays melambaikan tangan. "Aku bergi dulu, bye-bye!"

Lays melangkah keluar dari apartemennya, mengendarai mobilnya untuk segera ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, terlihat sebuah peti mati sedang di masukkan ke dalam mobil ambulance.

*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Oreo Goriorio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang