Cafe 'kopi raga'.

17 1 0
                                    

Di bangku di luar cafe, aku duduk dan menunggu. Rintik gerimis hujan sudah mulai menyelimuti Surabaya lagi, napasku dingin, cuaca juga mulai membuat menggigil. Aneh, biasanya Surabaya selalu panas, tak pernah sejuk.. apa mungkin dingin ini hanya dari badanku saja? Gugup menemuinya lagi, setelah lamanya. Papa, papaku. Ku hidupkan ponsel ku yang tanpa sadar sudah ku genggam erat di tanganku, kubuka whatsapp sembari menelan keras.

"Pa, papa dimana?" Ketik ku, terkirim lah pesanku, yang kemudian bercentang dua dalam hitungan detik. Sedetik berubah menjadi semenit, dan semenit berubah menjadi sejam. Rintik gerimis pun mulai deras dan angin mulai bertiup lebih kencang, kutatap layar ponsel yang tak berdering, bergetar, dan tak menyala. Aku menggeretakkan gigi ku sebelum aku berdiri. Aku menelan ludahku dengan gugup dan menyalakan ponsel ku lagi.

"Pa, Rabel masih menunggu papa" Ku kirim lagi pesanku, menghembuskan napas yang panjang sebelum aku melihat lampu cafe yang menyala. Senja pun sudah mulai menyambut langit, "Pa, terjebak di kemacetan kah?" Aku kirim lagi pesan pertanyaan ku sebelum aku melihat langit di guyur ombak senja dan kembali ke layar ponsel ku. Aku mengepalkan tangan kiriku dan kemudian aku memutuskan untuk masuk kedalam cafe terlebih dahulu.

"Halo! Selamat datang!" Sambut ramah pegawai cafe, yang kemudian hanya aku balas senyuman tipis dan tundukan kepala. Aku duduk di salah satu kursi, di pojokan, tersembunyi dibalik bayangan. Kubuka lagi ponsel ku, "Pa, papa mau kopi hitam kesukaan papa dulu?" Ku kirim pertanyaan ku, lagi.

Namun lagi dan lagi tak ada balasan, aku berdeham dan kemudian berdiri walaupun badan terasa berat. Aku berjalan ke counter untuk memesan, "Halo," ku sapa perempuan manis di belakang kasir, "Ya kak? Mau pesan apa?," Ia bertanya, ku tatap matanya kemudian ku berdeham, melihat menu yang digantung di tembok, dibelakangnya. "Kopi hitam, panas, pakai gula, yang aren," aku bergumam kemudian mataku kembali ke kasir, "Seperti biasa ya kak Arabella?" Perempuan di belakang kasir itu berkata, aku sering ke cafe ini, ia pun kenal dan sudah hafal dengan raut wajah ku. Aku tertawa kecil dan mengangkat bahu.

"Iya, seperti biasanya," aku membalas, ia mengangguk. Kemudian aku tambahkan "Dan satu kopi susu, gula sedikit, dan panas," kata ku lagi, ia pun mengetik di tablet depannya, sebelum melihatku dan tersenyum manis. Aku melihat tag namanya yang sedikit tersembunyi dibalik rambut panjang merahnya, aku belum pernah menyadari itu sebelumnya. Belum pernah mengetahui namanya. Dia juga sepertinya pegawai baru, baru ada semenjak awal tahun ini . "Gea ya?," Tanyaku, dan ia memasang muka bingung, "Oh, nama saya ya kak?," Ia tertawa kecil dan mengangguk, "Iya saya Gea" katanya dan aku hanya diam dan memerhatikannya.

"Dua?," Gea bertanya dan aku mengangguk lagi, "Dua kopi untuk satu orang, sudah jadi ciri khasnya kakak," ia bercanda, dan aku hanya tersenyum tipis lagi. "Iya saya suka kopi," aku balas dengan suara yang lesu, kemudian Gea langsung bertanya, "Cash kak?," "Iya" balasku dan aku mengeluarkan dompet dari sakuku sembari melihat di sekitarku, dan setelah memastikan tak ada orang di dekatku, ku balikkan atensi ke dompetku. Aku mengeluarkan 30 ribu dari dompet ku dan aku menelan keras, ku berikan 30 ribu itu kepada Gea. "Makasih," katanya sebelum ia memberi kembali uang 5 ribu, sebagai kembalian.

Aku pun dikasih nota dan aku hanya mengangguk sopan, "Ditunggu ya kak," kata Gea dan aku senyum dan kembali ke tempat duduk ku yang tadi. Aku bersiul sedikit sebelum mengeluarkan ponsel ku dari sakuku, yang kemudian ku nyalakan. 'Tidak ada pesan baru' pikirku, dan aku menggeretakkan gigi, ku buka whatsapp dan ku tunggu pesan dari papa yang tak kunjung datang.

Kemudian diketik, "Pa, Rabel sudah pesan kopinya, kopi kesukaan papa. Pakai gula aren" pesanku yang ku kirim, tercentang dua pun pesanku, namun tak dibaca. "Pa, Rabel harus nunggu berapa lama pa?" Tanyaku yang sudah mulai tidak sabar, mungkin juga karena amarah yang lama kelamaan bertumpuk dari hatiku.

Papa dan mama cerai sejak aku kelas dua, sekarang aku sudah kelas sebelas. Papa masih suka memberi aku pesan, kado, dan perhatian. Mama sudah bilang abaikan lah iblis itu, namun aku tak pernah paham dengan perkataannya. Papa sering mengajakku untuk berbincang, hanya berdua, namun.. papa tak pernah datang, sudah dari sejak kelas sembilan aku menunggu di cafe ini. Cafe 'kopi raga' yang sudah mulai membuatku muak. Aku sudah menunggu papa dari kelas sembilan, sebulan sekali di cafe ini, karena katanya papa akan menemuiku, dan berbincang, namun papa tak pernah datang. Katanya sibuk, macet, ataupun lupa. Seakan papa memberi aku perhatian agar aku masih ingin mendambakannya, namun ia tak kunjung datang.

"Kak," tiba tiba ada suara perempuan menyaut, "Ini kopinya," "Eh iya maaf--" aku melihatnya, "Maaf Gea, tadi saya nge blank" kata ku, tegang sedikit, aku mengambil dua gelas kertas yang berisi kopi yang kupesan tadinya, "Makasih," kataku, mataku fokus ke dua gelas kertas kopinya dan memberi senyuman seadanya terhadap Gea, "Sama-sama," ia tersenyum manis, lesung pipinya yang dalam di pipi kanannya terlihat, senyumnya yang begitu bahagia. Aku menaruh dua gelas kopi kertas tersebut di meja, aku menyalakan ponsel ku dan mengambil gambar dua gelas kertas kopi tersebut.

Fotonya yang kan ku kirimkan ke papa. Setelah ku ambil gambarnya, aku mengetik "Pa, Rabel sudah pesan," dan ku kirim lah gambar dua kopi dan pesan yang sudah ku ketik tadi. Aku menghela napas dan bersandar ke kursi yang kududuki. Aku mengetik lagi dan berdeham "Rabel menunggu papa." Kukirim lagi pesannya sebelum aku mengehela napas lebar, seperti menyerah sebelum aku mematikan ponsel ku dan menutup rapat mataku, berusaha menunggunya dengan sabar.

***

Menunggumu lagi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang