Lebih baik begini.

4 1 0
                                    

Setelah berbulan-bulan aku dan Gea setiap pulang sekolah berkumpul di seberang warung, ataupun jika hari libur aku mampir ke cafenya. Salah, bukan hari libur saja, setiap hari aku mampir ke cafenya walaupun papa tak minta untuk bertemu, aku mau melihat Gea lagi. Walaupun aku sudah menemuinya di bangku tua diseberang warung. Walaupun aku dan Gea sudah dekat. Aku tak berkata apa-apa tentang ayahku terhadap Gea.

Namun seiring berjalannya waktu, Gea setiap bulan makin curiga, mengapa aku setiap bulan, akan memesan dua kopi. Dan selalu kopi hitam panas pakai gula aren, seperti aku selalu menunggu seseorang. Dan lagi dan lagi aku ketiduran, akhirnya suatu malam, Gea menanyakan. Namun aku diam, kemudian entah mengapa Gea dapat meluluhkan ku. Aku menjelaskan semuanya kepada dia. Dan pada malam itu aku pulang dengan mata merah.

Namun aku masih menunggu papa. Entah apa yang di pikiran ku aku juga tak mengerti. Aku paham papa melakukan ini agar aku tetap mendambakannya. Aku sudah ingat perkataan itu di pikiranku seperti tinta yang selamanya berada di atas kertas. Aku muak mendengarkan kata-kata itu. Aku tau papa melakukan ini agar ia dapat menggunakan ku, jika suatu saat aku dapat membantunya ketika sengsara. Tetapi entah mengapa, aku masih menunggunya.

***

Tiga bulan telah berlalu, dan ini sudah mau mendekati akhir bulan. Biasanya papa minta bertemu sebelum akhir bulan, namun tak ada pesan dari papa. Jam berbunyi, yang berarti sekarang jam tujuh pagi. Aku menali sepatuku seperti biasa. Dan kemudian berangkat sekolah. Memulai hari yang membosankan disekolah, lagi dan lagi. Bel berbunyi, istirahat. Lucunya, ibu memberi aku bekal sosis berbentuk hati. Yang membuatku tersenyum sedikit. Dan bel berbunyi lagi, lagi dan lagi. Bel terakhir berbunyi, bel pulang.

Ketika menunggu di bangku diseberang warung untuk Gea. Aku mendapatkan pesan dari Gea, "Ke cafe saja, aku tadi langsung pulang" katanya di pesan itu. Tak pikir lama aku pun langsung memesan grab untuk ke cafe. "Terimakasih pak" kataku dengan senyuman tipis terhadap supir grabnya, yang dibalas dengan anggukan kepala dan juga senyuman kembali. Aku keluar dari mobil dan memasukkan ponsel ku ke sakuku. Menguap, sebelum aku dengan capeknya dan dengan ngantuknya jalan menuju pintu masuk cafe. Aku melihat ke bawah, dan ketika aku hendak memasuki cafe, ada pria yang ingin keluar dari cafe.

Kemudian, kita bertabrakan, membuatku terjatuh kebelakang, "Eh" kata pria itu, aku menggelengkan kepala dan ia menjulurkan tangan agar aku dapat berdiri. Dan ketika aku menatap keatas untuk melihat pria tersebut.. rasanya rasa ngantuk langsung hilang dari tubuhku. Aku segar, sangat segar. Tak salah kan? Ini.. ini muka ayahku. Aku tak mengambil tangannya dan berdiri dengan sendiri tanpa bantuan.

Sempat ada kesunyian, hanya saling tatap menatap, namun muka ayah tak kaget ataupun shock.. Aku bingung, ini jelas ayahku. Aku yakin ini ayahku. "Ingat ak-" "Maaf mbak, permisi yah" kata-kata ku terpotong dengan kata ayahku sendiri. Ia tak mengenalku? Ayahku? Ia melewati aku yang berdiri tegang dan berjalan ke arah parkiran. Aku membalikkan badan dan melihatnya sekali lagi, "Tak ingat aku?!" Teriakku dan pria itu membalikkan kepala, "A-anda siapa ya? Salah orang mbak" balas nya dengan keras. Aku menelan ludahku ketika ia membalikkan kepala dan berjalan ke parkiran lagi.

Aku kemudian masuk dengan mendobrak masuk pintu cafe dengan terburu-buru, semua orang melihati aku ketika aku mendobrak masuk. Namun aku langsung ke counter, ke Gea. "Kenapa Ra?" tanyanya bingung dengan muka kebingungan, "Siapa- tadi yang bapak-bapak baru keluar cafe tadi" aku bertanya dan Gea melihatku dengan muka kebingungan, "Maksudmu-" "Jawab aku! Siapa tadi nama bapak yang baru keluar dari cafe ini! Siapa?!" Teriakku, yang mengagetkan Gea, matanya sedikit membesar.

"Ehm- sebentar" katanya dan mengetik di tablet counter, "Eh- namanya.." dan jiwaku rasanya langsung lenyap di laut merah, ketika aku mendengar Gea berkata "Ahmad Faris Dabir" katanya. Dan rasanya langit sudah hancur dan dilahap tanah. "Itu- papaku.." bisikku bawah nafasku, "Apa?" tanya Gea sedikit kaget, dan aku terburu-buru membalikkan badan. Melihat papaku yang sedang meminum dan berusaha membuka mobil menggunakan kunci, di parkiran.

"Aku harus kesana" kataku dengan nada yang sudah mulai dipenuhi dengan amarah, "Ra!" teriak Gea ketika aku mulai berjalan cepat dengan kemarahan yang lama kelamaan tumbuh dari dalam. Apalagi ketika aku melihat bahwa... ada anak seumuran aku di tempat duduk belakang, menggunakan seragam SMA... memegang ponsel bermerek, mempunyai tas sekolah yang.. Yah mahal..

Papa mengurusi anak itu? Terus? Aku gimana? Hatiku berteriak, apalagi ketika aku melihat papa.. Tertawa sehabis mengagetkan anak tersebut, rambutnya panjang, dicat biru tua. "Ra! Jangan Ra!" teriak Gea ketika aku ingin membanting buka pintu cafe dengan lebar. "Kamu mau ngapain?!" teriak Gea, "Tak kasihkan dia pelajaran sumpah" sautku kembali.

Tetapi secara tiba-tiba tanganku ditarik dengan Gea kebelakang hingga jatuh kebelakang, aku terjatuh duduk, Gea terjatuh dibelakangku. Memelukku dari belakang agar aku tak merontak-rontak. "Gea lepaskan!" teriakku, semua mata di cafe kemudian lengket di kita berdua. "Gea!" "Enggak! Ra sadar!" teriaknya balik. "Gea pahamin aku!" "Ngga Ra! Jangan malah marah besar!" Bentak Gea, namun aku tak mendengarkannya.

Gea lumayan kuat, pikirku, semua percobaan ku untuk keluar dari pelukan eratnya gagal. "Pukulan- ataupun kata-kata mu takkan mengganti apapun!" teriaknya... kemudian aku terdiam. Badanku tiba-tiba berhenti dengan sendirinya. "Apa katamu?" tanyaku lemah, membalikkan kepala sedikit agar dapat menatap mata Gea. "Apapun yang akan kau lakukan.." ia berhenti perkataannya sebentar sebelum berkata lagi.

"Apapun yang kau akan lakukan, tak akan mengubah apapun."

Dan kata-katanya menembus hatiku, rasanya seperti menelan pill realita yang pahit dan menyengat di lidah. Aku melihat papa dari belakang pintu kaca cafe. Yang sedang memberi.. Putri barunya kopi yang ia baru minum tadi. Rasa ketidak adilan dan sakit yang kurasakan sangatlah pedih. Tubuh ini terpuruk, mungkin hanya angan-angan yang tersisa. Dan hisakkan nangis ku mulai mengintip, meleber keluar.

Aku membalikkan badan dan menguburkan mukaku ke dada Gea, menghisak dan menangis, yang kemudian di elus lembut kepalaku dan punggungku dengan Gea. Pelukan hangatnya terasa seperti sayang yang tak akan memudar. "Kamu lebih baik tanpanya..." bisik Gea, mengistirahatkan dagunya di atas kepalaku. "Tanpa kata-kata- tanpa perlu menatap matanya yang hanya akan terasa seperti mengelupas luka lama yang dalam" katanya dan aku mengangguk lembut.

"Tak perlu kamu.. Menghampirinya untuk meneriaki perasaan tersakiti mu jika dari awal ia bahkan tak pernah mempedulikannya." Tambahnya, "He doesn't deserve you Ra" katanya lush, dan ciumannya yang lembut ke dahiku menenangkan ku sedikit. "Tak perlu kamu berusaha mengatakan apa yang kamu rasakan," ia berhenti sejenak, "Jika dari awal dialah pelaku rasa sakitmu"

"Tak perlu kamu kembali ke kepedihan yang perih, kembali tenggelam di lautan memori masa lalu..." katanya dan menepuk bahuku, aku hanya membalas kata-katanya dengan anggukan kepala, sebelum Gea melanjutkan "yang seharusnya kamu lakukan adalah- berenang ke tepi pantai, bersyukur kamu masih bisa bernafas, dan... nikmati langit ketika senja menyapa, juga sejuknya angin pantai"

Ada beberapa momen kesunyian di dalam cafe, yang hanya terdengar hanyalah hisakkan tangisanku yang menggema di ruangan yang dipenuhi manusia ini. Semua mata terpaku kepada kita, namun sudahlah, aku tak peduli. "Iya Ge" kataku yang kemudian menenangkan kesunyian. "Sudah dia sudah pergi" katanya, Gea yang dari tadi melihati papaku, dan sekarang melihati mobil papa yang keluar dari parkiran.

Aku menggelengkan kepala sebelum aku melepaskan pelukannya, ia ketawa sedikit yang kompak denganku... ia pelan-pelan memegang sisi wajahku, dan mengusap tangisanku. "Matamu merah kayak kuntilanak" candanya dengan senyuman tipis untuk menghiburku sedikit, aku mendengus lalu tertawa kecil sambil memutar bola mataku. "Udah jangan nangis" bisik Gea, "Apapun untukmu" balasku.

"Aku juga putus dengan Lingga" katanya tiba-tiba, "Jadi bukan hanya kamu yang sengsara hari ini yah!" tawanya dan aku melihatnya dengan mata terbelalak, "Oh.." gumamku, "Kamu gapapa kan?" tanyaku, "Ya- ayok sedih bersama saja" jawabnya. Kita pun tertawa kecil. "Kenapa?" aku bertanya sekali lagi, "Aku- tak tahu, aku yang memutuskannya. Aku... tak tahu juga mengapa. Yang penting aku bersama mu Ra" katanya.. Dan aku memeluknya kembali, lebih erat daripada sebelumnya.

***

Menunggumu lagi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang