Bab 9

300 42 2
                                    

"Pada dasarnya, manusia itu makhluk serakah."

●●●●

Seperti sudah direncanakan oleh sang semesta, mereka tidak sengaja bertemu dengan keluarga ten yang sepertinya mereka juga sedang berkunjung ke-rumah baru salah satu keluarganya.

"Loh des, sedang apa disini?"

"Mengunjungi anak kami" jawabnya sembari memberi senyum pada ten

senyum yang tidak pernah luntur dari wajah deswita selalu membuat seorang tenderlova kagum. Deswita selalu menampilkan senyum yang entah kenapa selalu terlihat sangat hangat.

"Halo ibu"

Deswita menatap kearah suara yang berada dibelakang pinggang ten "ada harsa juga ternyata."

Harsa mengangguk "ibu apa kabar?"

Tidak tahan, deswita memberanikan dirinya sendiri untuk mengelus puncak kepala milik si gemas harsa, meski setelahnya dia mendapat tatapan tidak suka dari jovan, deswita mewajarkan hal itu karena seorang ayah yang baik pasti tidak akan suka jika ada orang yang menyentuh kepala anaknya dengan sembarangan.

"Anak saya kalau masih hidup mungkin akan seumuran dengan anak kamu, ten. Saya juga mungkin akan sebahagia kamu. Mungkin tuhan masih tidak mempercayai saya untuk mengurus seorang anak, makanya dia mengambil nya kembali."

Senyum itu tidak pernah luntur.

"Kamu boleh nangis des, gak semua hal bisa kamu hadapi dengan senyum menjengkelkan seperti itu. Kehilangan seorang anak bukan hal yang sepele."

Seakan ucapan ten terhadap deswita tidak ada artinya.

"Memang nya jika saya menangis meraung raung, tuhan akan mengembalikan anak saya? Tidak ten. Justru malah sebaliknya, saya akan terlihat lebih menyedihkan jika seperti itu."

Benar apa kata deswita, menangis bukan jalan keluar setiap masalah.

"Istri saya sudah melewati pase itu, sekarang saya bersyukur karena kami berdua bisa melewati hal itu bersama-sama. Tidak mudah mengikhlaskan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup, terlebih lagi kami berdua belum sempat melihat wujudnya." Tian menimpali.

Deswita merasa sangat hangat kala tangan tian tidak berhenti membelai punggung, deswita mengartikan hal itu sebagai tanda jika dia tidak sendirian di dunia ini.

Tenderlova yang saat itu sudah sangat kepo sekali dengan kematian anak deswita pun secara langsung mulai mengorek luka lama deswita

"anak kalian meninggal saat dilahirkan?"

Berbeda, senyum deswita tidak terlihat lagi, sekarang malah digantikan dengan tatapan datar, fokus ke satu arah, makam anak nya sendiri.

"Kamu bisa baca sendiri tulisan nya. Disana sudah tertera jelas kapan anak saya lahir dan kapan anak saya meninggal." Deswita menjawab seadanya.

Seakan belum merasa puas, tenderlova kembali bertanya perihal sesuatu yang sudah sangat jelas bisa membuat deswita merasakan kembali luka yang dikuburnya sejak lama.

"Aneh, gimana bisa kamu kehilangan anak kamu tanpa melihat dia lebih dulu. Itu aneh, des."

"Maaf, saya kira rasa penasaran anda terlalu berlebihan."

FelicityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang