10. Tanpa Dia

27 4 0
                                    

—Happy Reading🌷

•••

"Alya, kenapa melamun dari tadi?" Suara Salma menyadarkan Alyana dari lamunan. Ia mengerjap lalu balik menatap perempuan itu.

"Eh? Gak papa kok, Sal. Cuma lagi kurang fokus aja. Haus juga. Cari minum di luar, yuk? Ini nanti aja lagi selesaikannya," ucapnya berbohong. Lalu dia bangkit dari duduk dan menepikan semua gambar yang telah dicetak untuk ditaruh di album nanti.

Salma pun ikut berdiri. Namun, perempuan dengan hijab instan dan dan rok plisket itu tampak mengerutkan dahi. "Serius cuma karena haus? Dari tadi kamu teh aneh masalahnya. Ada yang kamu pikirin?"

Alyana kontan menggeleng cepat. "Gak ada kok, serius. Yaudah ayo cari minuman segar di luar. Mau gak?" tanyanya terbata, sesekali merapikan hijab pashmina yang dikenakan.

Salma terdiam beberapa saat, menelisik wajah Alyana yang membuat si empu menjadi sedikit panik. Bagaimana tidak, Alyana pun sadar bahwa gerak-geriknya memang aneh sedari tadi karena terus melamun memikirkan Arfi. Ya, pelaku yang membuat pikirannya terganggu sejak beberapa minggu lalu. Padahal, Alyana tahu bahwa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan.

Memikirkan seseorang yang nyatanya bukan siapa-siapa? Bahkan hampir disadari oleh Salma yang melihat sendiri tingkah anehnya.

"Yaudah kalau gitu. Yuk! Mumpung belum masuk dzuhur," jawab Salma kemudian, menampilkan senyum yang membuat Alyana seketika merasa lega. "Tapi kamu yang bayarin, ya?" sambungnya. Alyana dengan cepat memasang gestur hormat.

"Iya, aman kok, Sal. Uang jajan kemarin masih ada. Yaudah yuk."

Setelah Salma mengangguk, keduanya lantas melenggang keluar rumah. Saat di teras, Alyana berhenti terlebih dulu untuk pamit kepada Dewi dan Mariam yang tengah memilah-milih kelapa tua untuk dijadikan bahan membuat sayur lodeh.

"Iya, pulangnya jangan sampai lewat waktu dzuhur atuh, ya?" Mariam membalas terlebih dulu dari Dewi, sementara wanita itu kini mengangguk mengiyakan.

Alyana tersenyum hingga menampakkan deretan rata gigi putihnya lalu mengangkat kedua ibu jari. "Siap, Nenek! Assalamualaikum. Dadah juga, Bunda!"

Tanpa membuang waktu Alyana mengayunkan kaki dengan Salma yang mengekor di belakang. Selama perjalan menuju warung, Alyana terus disibukkan memandang sekitar lahan pertanian. Hal itu nyatanya selalu sukses membuat Alyana merasa tenang. Dia pun senang melihat para petani yang bekerja di sawah, menanam, dan merawat padi-padi mereka sekadar agar bisa kembali menghasilkan beras. Sesekali, suara gemericik air dari irigasi terdengar di kejauhan, bersamaan dengan senyum tipis yang entah sejak kapan tercetak sempurna di wajah Alyana.

Tak lama kemudian, keduanya melewati pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi di tepi sawah. Buah kelapa yang tergantung di antara pelepahnya mengingatkan Alyana pada Dewi dan Mariam yang tadi sedang memilah-milah kelapa tua. Bandung memang terkenal dengan tanahnya yang subur, yang membuat tanaman seperti padi dan kelapa tumbuh dengan baik di sini.

Bukan hanya itu, tapi ada banyak lagi.

"Sal, lihat deh, sawahnya bagus banget," kata Alyana, menoleh sebentar ke arah Salma yang masih berjalan di belakangnya.

"Iya, indah banget. Apalagi sekarang juga cuacanya cerah, jadi teh makin kelihatan hijaunya," jawab Salma, sambil tersenyum.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya tiba di warung yang dituju. Warung kecil yang tampak sederhana. Namun, lengkap dengan berbagai kebutuhan sehari-hari para warga.

"Kamu mau yang mana, Sal? Aku ambil teh kotak aja, deh."

Salma menatap Alyana. "Yaudah atuh, samaan sama kamu aja. Saya teh sebenarnya nggak haus, cuma karena kamu yang minta keluar alhasil saya ikut."

Di Bawah Sinar Jingga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang