Aku menghela nafas, lagi dan lagi. Percayalah, semua yang diterangkan oleh guru menguap begitu saja. Fokus ku bukan lagi tentang pelajaran saat ini, tapi dengan seorang wanita yang sudah beberapa kali menatapku dengan intens, namun kali ini tatapan nya lebih menakutkan lagi. Aku melihat dari sudut mataku, Miranda masih memperhatikan ku. Ia tak peduli dengan teguran guru yang sudah beberapa kali menyinggung nya agar menyimak pelajaran dengan baik. Awalnya aku berfikir ia sedang memperhatikan kekasihnya; Miller, namun ketika beberapa menit lalu Miller izin untuk pergi ke toilet Miranda masih tak lepas dari pandangannya. Sudah jelas bukan bahwa yang sedang ditatapnya adalah aku?
Setelah pelajaran berakhir, aku segera bercerita kepada Fira tentang Miranda yang selalu menatapku begitu.
"Lo nggak peka banget sih, dia murka sama lo!" Jawab Fira dengan mengunyah gorengan yang baru dibelinya.
"Murka?" Tanyaku tak percaya. Demi tuhan, kata itu sangat menyeramkan bagiku. Fira mengangguk, dan melanjutkan ucapannya dengan mulut penuh.
"Gimana nggak murka, dia lagi asyik pacaran sama pacarnya yang ganteng itu, eh lo tiba-tiba pingsan dan Miller pula yang harus kena getahnya." Cerita Fira tanpa sensor.
"Ya tuhan, gue jadi nggak enak Fir."
"Udah santai saja, gue malah senang lo bikin si mak lampir kesal." Jawab Fira dengan senyum berarti.
Aku tertawa sumbang mendengar ucapan Fira, namun jauh dilubuk hatiku juga aku memikirkan perasaan Miranda, dia pasti sangat geram karena hal itu. Tapi biarlah, biarkan waktu mengalir dan tunggu Miranda untuk bersikap sebagai teman kepadaku.
Saat pelajaran dimulai kembali, setelah beberapa menit Miller baru kembali ke dalam kelas sorang diri, tak biasanya. Biasanya Miranda selalu ada kemanapun Miller pergi.
Saat tengah menulis catatan pelajaran, tiba-tiba secarik kertas terjulur di depan mataku. Aku melihat Miller sedang memberikan kertas itu sembari tangan kanannya menulis catatan, setelah kulihat, apa yang berada di dalam kertas itu adalah satu kalimat tulisan tangan Miller dengan rapih.
Pulang sekolah jangan pulang, kita harus ngerjain tugas untuk mengganti nilai olahraga.
Aku menulis balasan suratku dengan cepat, kalau saja pelajaran sedang tidak dimulai aku sudah pasti menanyakannya langsung.
Tugasnya apa?Bikin kliping tentang materi Olahraga.
Itu saja?
Ya, tugas ini bukan individu, ini nilai kita.
Kerjain bareng kalau begitu?
Saat menulis kalimat ini, aku menimang. Aku terkesan memanfaatkan kepintaran Miller tidak ya? Padahal niatku bukan begitu, ya meskipun ada sedikit perasaan seperti itu. Tapi itu murni karena aku memang tak mengerti apa-apa tentang Olahraga, jangankan teori . Prakteknya saja aku tak bisa.
Saat aku memberikan secarik kertas itu kepada Miller, dia tak membalasnya dan meneruskan menulis catatan pelajaran. Ck, aku berbuat salah lagi.Saat pelajaran berakhir, aku membereskan semua buku dan memasukkannya kedalam ransel, kulihat Miller sedang berbicara dengan Miranda di depan pintu kelas, ah coba saja aku tak kehantam bola basket dan pingsan, pasti hari ini aku bisa pulang dan tidur siang dengan manisnya.
"Gue ada bimbel jam lima sore, lo bisa ke rumah gue untuk nyari materi bareng jam 2. nggak ada ngaret, kalau lo sampe ngaret, nilai lo gue pastikan kosong." Aku menganga mendengar sederet kata yang diucapkannya yang benar-benar sadis.
"Kenapa nggak sekarang aja? lagipula gue nggak tahu dimana rumah lo, jangankan untuk ke rumah lo, jalan balik kerumah aja kadang gue masih ragu." Kataku dengan datar, Miller mengambil secarik kertas baru dan menulis beberapa huruf yang tak bisa kulihat, setelah selesai ia memberikan kertas itu padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I see you again
Teen FictionLaura Andrea, gadis remaja selalu terlihat ceria bertemu dengan Miller pria teman satu bangku nya yang ternyata sangat tampan dan pintar, namun juga memiliki sifat yang sombong. Namun ia tak pernah bersikap baik kepada Laura. Sampai satu titik Laur...