Bagian 6 (Mom menangis)

41 4 0
                                    

Part ini kelar juga, stuck banget parah, part ini lebih menjurus ke keluarga, part terpendek pula. Dan part ini untuk kalian yang masih mau baca cerita abalku, yang udh bawa fiksi ini ke dalam perpustakaan atau daftar bacaannya, dan yg udh vote tentunya:) , selamat membaca! semoga suka, dan ditunggu VOMMENTNYA!!!

————————————————

"Bodoh." Ucapnya dengan datar, dan membawaku ke dalam gendongannya. Setelah itu ia menurunkan ku di jok depan mobil audi hitam miliknya, ya tuhan aku duduk di mobil mahalnya dengan baju basah kuyup dan keadaan menyedihkan seperti ini. Miller sudah duduk di kursi kemudi dengan tatapan tajam.

  "Lo tuh bodoh atau kenapa sih? kalau hujan kan bisa berteduh dulu, nggak usah maksain kayak tadi!" Desisnya dengan penuh emosi.

Aku memegang erat ujung kaus ku dengan menunduk, nafasku mulai tersenggal. Kebiasaan ku kambuh, trauma ku kembali datang. Tidak, jangan sekarang. Tidak boleh ada yang tahu trauma ku kecuali Mom dan Kak Reno. Mataku mulai berkaca-kaca berusaha mengatur nafas berkali kali.

  "Kalau emang nggak bisa, nggak usah sok kuat minta pulang sendiri! Kalau nggak mau ngerepotin, lo kan bisa minta jemput ke keluarga lo!" Ya tuhan, Miller masih terus membentakku dan menyalahkan ku, sedangkan aku masih berusaha mati-matian untuk tetap dalam keadaan sadar meski nafasku sudah sangat sesak.

  "Lo dengerin gue nggak sih?!" Bentaknya kasar, nafasku tercekat. Oh Tidak.

Aku mengangkat kepalaku, menatap tepat ke dalam manik matanya. Air mataku menetes menahan sesaknya udara yang semakin menipis. "Miller, please..." Hanya itu yang dapat ku katakan di kondisiku saat ini. Miller kini diam, tak ada lagi sepatah katapun yang ia keluarkan, ia sudah mengemudi mobilnya dengan kecepatan penuh.

Setelah di persimpangan jalan, Miller menepi kan mobilnya di depan sebuah minimarket. Ia keluar tanpa sepatah katapun dan meninggalkanku. Aku diam, nafasku sudah kembali stabil, hanya tinggal rasa mengigil yang menggerogoti tubuhku, aku mengusap telapak tanganku beberapa kali dan meniupnya agar terasa hangat.

"Minum ini." Kata Miller saat kembali, dan memberikan secangkir teh hangat menggunakan gelas kertas ala minimarket. Aku mulai menyesap teh hangat dengan lambat, perlahan rasa hangat mulai menjalar tubuhku dan membuatku semakin tenang.

  "Rumah lo dimana?"

  "Di pertigaan depan belok kanan, terus masuk perumahan Golden Talles, rumahnya nomer 41." Jawabku lirih.  Tanpa menjawab, Mobil Miller sudah melesat dengan cepat, jalan juga sangat sepi, tentu saja sepi karena di saat hujan yang deras dan angin sekencang ini orang lain lebih memilih berdiam diri dibawah selimut tebal. Harusnya Miller juga melakukan hal yang sama saat ini, tapi karena gadis bodoh seperti ku ia harus berkeliaran di saat hujan. Ini sudah yang ke sekian kali Miller disulitkan olehku. Aku harus benar-benar bersikap lebih baik lagi kepadanya.

Aku masih sibuk dalam lamunanku sehingga tak menyadari bahwa kami telah sampai dirumah sederhana milikku, Miller masih diam dengan pandangan lurus. Aku melepas seat belt ku dengan cepat.

  "Miller, makasih sudah nganterin gue, maaf juga karena membuat lo selalu kerepotan semenjak gue ada. Dan-"

  "Hujan nya tambah deras, lo harus cepat masuk." Ucapnya memotong ucapanku. Aku mengangguk dan keluar dari mobilnya.
  Setelah ku tekan bell berkali-kali, namun tak ada juga yang membuka kan pintu, semua penghuni rumah belum pulang. Tubuhku menggigil kembali karena angin bertiup semakin kencang, aku membuka ransel untuk mengeluarkan kunci cadangan, tanganku sangat gemetar sehingga tak bisa memasukkan kunci dengan benar. Miller yang ternyata masih bersamaku dengan tak sabar memgambil alih dengan paksa kunci itu dan ia langsung berhasil langsung menekan knob pintu. Aku tersenyum dan masuk ke dalam rumahku.

  "Gue balik dulu." Ucapnya dan berlalu sebelum aku sempat kembali mengucapkan terima kasih.

Aku segera mandi dengan air hangat dan meneguk cokelat hangat, setelah itu aku langsung berlindung dibalik selimut tebal. Dingin. Mom belum juga kembali, entah masih di kantor atau di Toko cake miliknya, dan Kak Reno. Aku tak tahu dimana dia sekarang.

()

Aku membuka mataku ketika deru mesin mobil terdengar jelas di depan rumahku, aku meraih ponselku di nakas, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku terlelap sejak tadi sore, selimut masih melilit di tubuhku dengan rapat, meskipun tak mengurangi rasa dingin yang kurasakan saat ini. Pintu kamarku terbuka dan terlihat lah Mom dengan pakaian rumahnya datang membawa plastik putih kecil dan air mineral. Aku berdeham untuk menetralkan suara serakku.

  "Mom baru pulang?" Tanyaku berusaha beranjak dari kasur, namun belum sempat aku terbangun dengan sempurna, pandanganku sudah menghitam, kepalaku sangat pening. Mom membantu ku untuk merebahkan tubuh dan menarik selimutku.

  "Kamu demam Laura, Mom baru saja kembali dari apotik untuk membeli obat." Mom membuka plastik obat dan memberikannya kepadaku.

  "Kamu kenapa bisa demam begitu?" Tanya Mom setelah aku meminum obatnya.

  "Kehujanan saja." Jawabku enteng.

  "Kamu tuh bukan anak balita yang suka main hujan-hujanan lagi Laura, kamu sudah dewasa!" Ucap Mom dengan geram, aku berusaha menahan tawa. Memangnya siapa pula yang main hujan-hujanan?

  "Dengerin nasihat Mom, Laura! bukan mesem-mesem terus."  Ucap Mom dengan gemas, aku tesrsenyum dan memerhatikan wajah lelah Mom.

  "Mom." Ujarku lembut hingga nyaris tak terdengar.

  "Hmm?"

  "Laura sayang Mom." Ucapku sedikit bergetar, mataku mulai terasa panas, begitupun dengan Mom. Dibalik canda tawa kami, dibalik kekonyolan kami, kami menyimpan banyak luka di masa lalu, hanya saja semua pandai memutupinya dan berusaha saling menghibur. Diantara kami bertiga, Mom lah yang paling tersakiti, lukanya pun mungkin masih membekas dihatinya.

  "Mom tahu," Ucap Mom tersenyum tipis. "Mom.. juga sayang Laura,dan Kak Reno." Ucap Mom sembari menahan tangisnya.

  "Oh, come on Mom, jangan menangis. Tak ada lagi air mata di Bandung, promise?" Ucapku menjulurkan jari kelingkingku, Mom membalasnya dengan semangat.

  "Tentu!" Ucap Mom disertai tetes air mata yang mulai mengalir.

  "Jangan menangis lagi ya Mom, lupakan masa lalu pahit itu, lupakan Dad yang-"

  "Sstt, Mom mengerti." Mom mulai memelukku dengan erat.

  "Laura lebih suka Mom yang bawel, Mom yang super galak dan jutek dibanding Mom yang cengeng kayak begini." Ucapku disertai tawa rendah, Mom ikut tertawa bersamaku.

  "Kalau demam kamu nggak turun-turun, kita langsung ke dokter ya." Ucap Mom sembari membelaiku lembut.

  "Ya Mom nggak perlu khawatir."
  "Kalau kamu ada waktu senggang, kamu harus datang ke toko kue Mom, dan promosiin juga ke teman-teman kamu!" Yeahh, Mom telah kembali menjadi Mom yang cerewet. Tak apa, daripada aku harus melihatnya menangis seperti tadi. Lebih baik seperti ini. Ya lebih baik seperti ini.

 

When I see you againTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang