Appetizer: Bala-bala

258 37 40
                                    

Matahari masih malu-malu memperlihatkan diri di ufuk timur, menciptakan perpaduan cantik warna jingga dan ungu di langit. Gemerisik ayunan daun-daun pohon yang basah oleh embun pagi menimbulkan suara khas yang menenangkan. Segarnya udara pagi terasa dalam hembusan angin sepoi-sepoi yang mengelus lembut wajah Rama.

Mata Rama mengerjap-ngerjap ditimpa sinar mentari yang mengintip lewat jendela kecil di atas ranjang. Susah-payah dia berusaha membuka mata. Rasa malas masih teguh mendekap. Didukung suasana sunyi dan tenang dalam kamar apartemen berukuran kecil dan sangat sederhana ini. Ingin sekali Rama menarik selimut putihnya kembali.

Namun, sangat sulit menyingkirkan agenda di kampus yang harus dijalaninya hari ini. Dengan lunglai, Rama menghampiri mesin pembuat kopi dan menyesap kopi hangatnya, menarik napas dalam-dalam.

Terlintas kenangan indah semalam di Spice Route dan kerinduan akan tanah air yang belum sempat hilang. Diambilnya kembali gulungan kertas merah dalam saku celana dan membacanya. Rama merasakan getaran yang semakin dalam, meresap, memberinya kekuatan menghadapi hari ini.

***

"Alright class, today we're going to talk about how to come up with business ideas. Remember, a good business idea should be something that solves a problem or fulfills a need in the market. But, it's also important to start with what you already have," ujar Mr. Adam Smith membuka kuliah.

Rama jadi teringat dengan ucapan yang mirip dari Shinta saat mereka mendiskusikan akan menjual apa di bazar sekolah. "Ayolah, Ram. Masa enggak ada ide sih, buat stan OSIS? Kamu kan, ketua seksi bidang kreativitas, keterampilan dan kewirausahaan. Mesti yang terdepan dong, nunjukin keberanian memulai. Kamu bisanya masak apa, deh? Jangan bilang masak air, ya," cerocos ketua OSIS nan cantik dan cerdas itu.

"Enggak. Aku mau jawab mi instan, kok," canda Rama yang segera mendapat hadiah cubitan Shinta di pinggang.

"Mulai, deh ... Serius dikit, dong," cetus Shinta cemberut.

Rama berusaha menenangkan diri dari tawanya saat menjawab, "Okey, okey ... Aku benernya mau jawab, tapi khawatir kamu enggak percaya. Jujur, aku cuma bisa bikin satu camilan. Bala-bala. Soalnya, itu kesukaanku. Sejak Mama ngomel karena aku minta dibuatin terus tiap hari, jadinya aku belajar bikin sendiri, deh."

"Oh, bakwan sayur. Enak, enggak?" selidik Shinta setengah menggoda.

"Menurutku sih, enak. Cuma, selama ini aku makan sendiri, sih. Sayang buat dibagi-bagi," ujar Rama terkekeh-kekeh.

"Hu! Pelit!" gerutu Shinta, "Pulang sekolah, aku ke rumahmu, ya. Kamu bikin bala-balanya. Aku mau icip."

***

"Pakai kemiri?" tanya Shinta melihat Rama mengeluarkan dua butir putih itu dari lemari bumbu.

"Iya. Kenapa? Mama sih, ngajarinnya begini," jawab Rama ikut heran.

"Hem, menarik!" sahut Shinta, "Soalnya, kalau aku lagi bantu Bibi bikin sih, enggak pakai kemiri. Jadi makin penasaran nih, sama hasilnya."

Rama tersenyum senang melihat Shinta begitu bersemangat. Dengan sigap, Shinta mengambil pisau lalu membantu Rama menyiapkan dan mengolah bahan. Mereka asyik mengupas wortel dan memotong-motong.

"Kebesaran itu motongnya!"

"Kalau buncis agak menyerong, Ram!"

"Bagian itu enggak usah dipakai, deh. Keras!"

Rama sama sekali tidak terganggu dengan keceriwisan Shinta. Justru, itu semua laksana alunan musik yang menyemarakkan relung-relung dapur yang kini semakin sunyi. Lagi-lagi, Sang Ratu meninggalkannya beberapa hari.

Gorengan pertama sudah terangkat. Shinta tampak tak sabar ingin segera mengetahui rasanya. Beberapa kali dia mencomot dan reflek melepaskan ujung bala-bala yang dipegangnya. Tanpa kenal menyerah, akhirnya Shinta berhasil mencuil dan memasukkannya ke mulut.

Mata Shinta mengerjap-ngerjap menahan panas. Bibirnya terus mengulum sambil sesekali berdesah hingga akhirnya keluar juga komentarnya, "Aduh ... Ini sedap banget, Ram!"

Rasanya, tak ada lagi pendapat dari manusia mana pun di dunia ini yang Rama perlu dengarkan kecuali satu makhluk pengisi hatinya ini. Rama jadi penasaran dan ikut-ikutan mencicipi bala-bala di tengah kesibukan menggoreng.

Sensasinya memang terasa lebih lezat dan utuh. Entah karena sejuta koreksi dari Shinta atau semata akibat kehadirannya menemani Rama membuat bala-bala. Rama memandangi bala-bala itu penuh haru. Senyum bahagia Shinta berpadu dengan resep andalan mama. Sungguh merupakan momen yang ingin terus diulang Rama jika bisa.

"Pokoknya, kita harus jualan ini di bazar nanti. Aku bantuin deh, bikinnya. Sekalian jadi satpam biar kualitasnya tetap terkontrol seperti sekarang. Eh, apa anak-anak di seksimu dipanggil juga, ya?" celetuk Shinta.

"Enggak, enggak, Shin. Kamu aja cukup. Kebanyakan orang bisa makin berantakan lagi. Mereka biar bikin yang lain aja," jawab Rama segera.

"Hem ... Mama masih lama rawat inapnya, Ram?" tanya Shinta yang tiba-tiba mengubah nada suara menjadi lunak dan hati-hati.

"Enggak tahu, deh. Kata dokter, kalau hasil kemoterapi hari ini bagus, besok Mama sudah boleh pulang," jawab Rama agak muram.

"Syukur, deh. Tapi, enggak enak juga ya, minta tolong bikin bala-bala? Beliau kan, butuh banyak istirahat?" ungkap Shinta.

"Iya. Kita pegang sendiri aja. Aku yakin kita bisa," cetus Rama mantap.

Shinta mengangguk setuju. Serta-merta, seluruh kepercayaan diri yang mungkin pernah disembunyikan Rama sejak lahir hingga hari itu, berkumpul jadi satu. Bahkan, jika detik itu langit runtuh pun, Rama sudah merasa bahagia.

Anehnya, keceriaan bersama Shinta masih juga enggan pergi dari keseharian Rama. Sambutan para pengunjung bazar terhadap bala-balanya begitu luar biasa. Makanan itu ludes terbayar dalam sekejap.

***

"Rama, right?"

Teguran dosen sontak menyadarkan Rama dari lamunan. "Oh, sorry Mr. Adam. What did you need?"

"I was asking what skills or resources do you possess that could be turned into a profitable business?" ujar Mr. Adam.

"Oh, eh, bala-bala," jawab Rama gugup. Tawa-tawa kecil pun langsung terlepas di seluruh ruangan.

"Excuse me?" tanya Mr. Adam meminta penjelasan.

"Well, I can cook bala-bala, vegetable fritters, and used to sell it in high school," terang Rama.

"There you go, Rama. That could be your starting point. You already have experience making and selling a food product. Think about how you can expand on that idea to fill a need in the market," jelas Mr. Adam.

"That's a good point. I'll start brainstorming and see what I come up with," jawab Rama.

Rama memasang konsentrasi menyimak penuturan Mr. Adam tentang pentingnya memahami strategi dan konsep bisnis agar sukses dalam pasar yang kompetitif. Dia merenung sejenak, memikirkan bagaimana mengembangkan resep bala-bala dari mama untuk memasarkannya lebih luas.

Sejurus kemudian, ponsel Rama bergetar menunjukkan notifikasi pesan masuk dari Arnold. Dia mengonfirmasi kedatangannya ke apartemen Rama sore ini. Rama sangat senang dan bersemangat menjawab pesan itu. Sebuah ide tercetus di benaknya.

THE DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang