Palate Cleanser: Es Jeruk

218 36 24
                                    

"Eh, sumur lo kering, ya?" canda Arnold.

Sejenak perhatian Rama beralih dari ponsel dan melirik geli ke Arnold, "Sindiran lo basi, ah! Dikira ini ladang, ada sumur buat menumpang mandi?" seloroh Rama, "Ambil aja di kulkas. Anggap ini apartemen gue."

Arnold mengikik sambil membuka kulkas dan mengambil segelas air putih untuk diminum. Sambil mengamati isi kulkas, Arnold berkomentar, "Stok jeruk lo banyak juga, ya? Sering bikin es jeruk? Kalau gue buat lagi, bosen enggak?"

"Mana bisa bosen sama es jeruk? Yang ada kembung kalau minumnya bergelas-gelas sehari!" celoteh Rama.

Arnold tertawa dan dengan gesit mengeluarkan beberapa buah jeruk, jeruk nipis, dan stroberi yang ada di kulkas. Dia memeras buah jeruk dan jeruk nipis dengan putaran yang mantap tanpa menekan kulitnya terlalu keras.

Dituangkannya air perasan itu ke sebuah panci kecil berisi air. Setelah menambahkan sedikit madu, Arnold mengaduknya sebentar lalu memasukkan potongan stroberi. Arnold merebusnya di atas api sedang selama lima menit hingga campuran menjadi sirup.

Rama menghirup aroma segar yang membawanya menghampiri dapur. Tampak Arnold mematikan kompor dan membereskan tempatnya bekerja tadi. Rama menggeleng-geleng sambil berkacak pinggang dan berkomentar, "Lo tuh enggak bisa lihat bahan nganggur di kulkas, ya?"

"Kalau memang kita lagi butuh, ya diolah aja kan, apa yang ada?" jawab Arnold.

"Andai gue sanggup gaji lo, Nold. Gue bakal sehat fisik dan mental, deh," cetus Rama.

Arnold terbahak-bahak. "Soal mental, lo cukup jadi sobat gue, Ram. Tapi, kalau soal sehat fisik, ya maaf. Gue agak sombong soal gaji," gurau Arnold, "Eh, jadi lo masih kontak sama Shinta, ya?"

"Iya, lah. Dia satu-satunya yang bikin gue masih terhubung sama Indonesia. Mungkin ini ya, yang bikin gue masih kangen sama negara kita? Padahal, keluarga gue semua ada di sini," gumam Rama.

"Wajar kok, kangen kampung halaman. Yang sudah enggak punya siapa-siapa di sana pun, pasti suatu saat juga masih pengin balik ke Indonesia," sahut Arnold, "Kayanya, yang enggak wajar justru gue. Lama banget enggak pulang."

"Memang kapan terakhir lo ke Indonesia, Bro?" tanya Rama.

Pandangan Arnold seketika nanar menerawang. Rasa rindu kembali mendekap Arnold. Arnold mengambil napas dalam-dalam dan mencoba meredakan emosinya yang mulai berkecamuk.

"Setahun lalu. Sejak kerja di Spice Route, gue belum pernah mudik lagi," ucap Arnold. Perlahan dia tersenyum miris dan berkata, "Membawa selera Indonesia ke dunia ... Mimpinya sih, begitu. Tapi, sepertinya gue enggak layak disebut rajawali kaya yang ibu gue bilang. Gue enggak sanggup jauh dari sarang."

"Ah, Nold. Lo jangan bikin gue lemes lagi, dong," keluh Rama, "Gue juga sering berpikir, apa gunanya gue kuliah? Kenapa enggak jaga Mama aja?"

"Lo butuh sekolah dong, Ram. Kan, buat masa depan lo?" jawab Arnold bijak.

"Masa depan gue ketinggalan di Indonesia, Nold. Shinta," cetus Rama diiringi tetesan bening yang tak sanggup lagi ditahannya.

Arnold terdiam. Dia berusaha mencerna kemelut dalam hati dan pikiran Rama. Arnold memegang kedua bahu Rama sambil menatap dalam-dalam ke Rama seraya berkata, "He! Lihat mata gue! Apa Shinta yang minta kamu begini? Jadi lemah di negeri orang?"

Rama menggeleng lemah. "Enggak lah, Nold. Shinta enggak mungkin setuju kalau tahu gue begini. Tapi, gue juga enggak bisa melepas pikiran soal dia," jawab Rama menunduk.

"Sama. Ibu gue juga enggak bakal suka lihat gue payah di sini. Itu yang bikin gue mau terus bangkit," tukas Arnold, "Kalau lo beneran menghargai keberadaan Shinta, lo jadiin dia alasan buat tetap semangat, dong!"

Berangsur-angsur Rama mengangkat wajah sambil tersenyum tipis dan mengangguk lemah. Dia menghela napas panjang dan melirik ke kompor. "Itu jadinya harus diademin berapa taon?" ujarnya mencoba bercanda.

Arnold tersadar dan melihat jam di ponsel. "Pas! Lima menit!" serunya.

Arnold segera mengambil dua gelas tinggi bening, menuang isi panci ke dalamnya, menambahkan tiga balok kecil es batu ke masing-masing, dan menghiasi pinggirnya dengan irisan jeruk nipis.

"Palate cleanser! Hidangan untuk menetralkan lidah dari rasa masakan sebelumnya. Kalau ini, sekaligus menetralkan suasana hati agar siap melanjutkan aktivitas berikutnya," seloroh Arnold.

"Ah! Namanya es jeruk dari dulu memang paling bisa menyegarkan hari," sahut Rama lalu menyesap sedikit ramuan Arnold. Matanya mengerjap-ngerjap sambil berdecak dan berkata, "Hem ... Kalau ini sih, bisa menyegarkan tahun!"

"Lebay lo!" gelak Arnold.

"Asaaal ... lo bikin ini tiap hari selama setahun!" sergah Rama yang ikut terpingkal-pingkal.

Sejenak mereka tenggelam dalam kesejukan sensasi asam dan manis yang membasahi sekujur lidah teguk demi teguk. Mereka berbincang ringan tentang keseharian, masa lalu, dan masa depan. Sesekali mereka tampak serius dan penuh haru, tak jarang kilat-kilat manik mata mereka berbinar lebih terang diselingi gelak tawa kecil.

"Lo ajaib sih, Nold, bisa hadir saat gue butuh dan kasih banyak dukungan begini ke gue. Yakin lo bukan malaikat, Nold?" selidik Rama.

Tawa Arnold berderai mendengarnya. "Norak, ah!" cetus Arnold.

Tak menyerah, Rama malah membalik badan Arnold dan meraba punggungnya sambil bertanya sok serius, "Lo turun pakai sayap atau selendang bidadarinya Jaka Tarub, sih?"

Arnold menggeliat geli sambil berkelakar, "Jadi ini salah satu gombalan lo ke Shinta?"

"Enggak, lah. Mana berani gue pegang punggung Shinta. Bisa keluar kerisnya entar dari situ," sahut Rama yang membuat tawa keduanya kembali meledak.

"Gue cuma jalani apa yang ibu gue pernah bilang, Ram. Terkadang, cara terbaik untuk membantu orang itu cuma dengan mendengar dan hadir untuk mereka," terang Arnold kemudian.

"Hem, lo lebih dari itu, sih. Ada asupan buat perut gue juga, soalnya," gurau Rama sambil kembali menuang es jeruk ke gelas mereka berdua. Arnold mengangkat sedikit gelasnya yang penuh lagi ke hadapan sebagai tanda terima kasih.

"Tapi, lo memang secinta itu ya, sama ?" tanya Arnold masih heran.

"Ya, gitu deh," jawab Rama sambil mengedikkan bahu dan melanjutkan bercerita, "Gue ini anak IPS yang bela-belain pindah jurusan ke IPA. Biar bisa lebih dekat dan nyambung sama Shinta kalau ngomongin pelajaran. Gue introver parah, ya. Tapi, sampai nekat daftar jadi kandidat ketua OSIS buat nyaingi dia biar lebih dilihat. Yah, walau pasti sudah ketebak hasilnya. Gue nomor buncit!"

Arnold tertawa geli mendengarnya. "Lo enggak merasa terlalu terobsesi ya, sama Shinta?" tanya Arnold hati-hati.

Rama menarik dan menghela napas sejenak, lalu berujar, "Mungkin, ya. Ini gue doyan banget es jeruk juga ngikut kebiasaan dia, sih."

"Ah! Terjawab deh,kenapa ada banyak jeruk di kulkas," tukas Arnold.

THE DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang