First Main Course: Nasi Goreng

241 36 22
                                    

Setelah pekerjaannya selesai, Arnold merasakan kelelahan luar biasa yang mendera. Didorong oleh perasaan rindu tanah air yang kembali menyergap, Arnold pun menghubungi Rama.

"Bro, boleh enggak, malam ini gue nginep di apartemen lo? Masih penasaran nih, sama cerita soal Shinta," ujar Arnold.

"Lo kalau pulang jam segini, Nold? Gila!" cetus Rama takjub, "Gue lagi enggak di apartemen sih, sekarang. Malam ini gue nemeni mama di rumah sakit. Lo masuk aja enggak apa-apa, kok. Minta aja kunci cadangan ke pengurus apartemen. Besok pagi banget gue temui lo, ya."

"Ha? Mama lo sakit apa, Ram? Kok, elo enggak pernah cerita?" tanya Arnold kaget.

"Yaelah. Baru juga dua kali kita ketemu, Bro. Besok deh, gue cerita, ya. Buruan rehat lo. Keburu berubah jadi labu busuk, ntar. Lewat tengah malam begini," sergah Rama.

Arnold cengengesan dan menutup pembicaraan. Dia kemudian memesan rideshare alias ojek via aplikasi. Dua menit kemudian, sebuah mobil datang dan Arnold pun duduk di jok depan, sebelah sang pengendara.

Sungguh cepat memang, mengingat betapa sepinya daerah bisnis pusat di kota Sidney ini saat malam hari. Jalan-jalan yang biasanya ramai oleh kendaraan dan pejalan kaki terlihat sunyi, hanya sedikit orang yang lewat sambil mengayuh kaki atau sepeda. Dari kejauhan, gedung-gedung tinggi dan mercusuar terkenal seperti Sydney Opera House dan Sydney Harbour Bridge terlihat cantik di bawah cahaya lampu dan refleksi dari air.

Perasaan gembira dan cemas bergumul erat di dada Arnold selama melalui jalan-jalan asing di kota asing ini. Dia memang sangat jarang mengeksplorasi Sidney. Jalur yang dihafalnya hanya dari terminal ke terminal untuk kereta bawah tanah.

Arnold merasa sedikit gugup meski tahu kota ini relatif aman. Memasuki area apartemen, jalan-jalan terlihat lebih lengang dan gelap dengan cahaya lampu jalanan yang redup. Satu-dua kedai kopi atau restoran masih buka, tetapi kebanyakan tempat sudah tutup dan tidak ada aktivitas yang terlihat.

Suasana yang tenang dan sepi di tengah malam terasa menenangkan bagi beberapa orang, tetapi juga bisa membuat yang lain merasa kesepian atau terisolasi seperti Arnold saat ini. Begitu sampai di apartemen Rama, dia segera meminta kunci ke pengurus apartemen dan membenamkan kesendiriannya ke dalam kamar Rama yang terus bungkam tanpa kehidupan.

***

Rama tampak lelah dan kurang tidur saat tiba di apartemen pagi ini. Menemani ibunya di rumah sakit semalaman membuat matanya terlihat sedikit bengkak dengan hitam di bawahnya, mungkin karena begadang. Dia terlihat kurang bersemangat dan pikirannya carut-marut. Rambut yang biasanya rapi, terlihat sedikit berantakan, dan pakaian kasualnya pun agak kusut dan seperti dipakai asal-asalan.

Meskipun begitu, Rama tetap berusaha tersenyum menyembunyikan kegundahannya ketika membuka pintu apartemen. Dia terkejut melihat Arnold di dapur, baru saja selesai menyiapkan nasi goreng sushi untuk mereka berdua.

Nasi goreng buatan Arnold hadir dalam gulungan telur dadar dan nori berisikan acar timun dan wortel di tengah. Rama takjub memandangi deretan potongan sushi yang tertata rapi di atas piring. Dia mencomot satu dan melahapnya segera. Biji matanya terbelalak merasakan sensasi ikan asin di dalamnya.

"Lo enggak bisa masak yang biasa aja ya, Nold?" gurau Rama mengambil sepotong sushi lagi.

"Yah ... ini kebiasaan gue, Ram," jawab Arnold terkekeh-kekeh sambil menengadahkan tangan seolah pasrah.

Rama pun duduk sambil berujar, "Makan bareng, yuk!"

Sejenak, mereka menikmati sajian itu bersama. Arnold lebih dulu membuka suara hati-hati, "Gimana kondisi mama lo sekarang?"

"Baik. Makanya gue bisa ke sini sekarang," ungkap Rama.

"Terus? Mama lo? Sendiri?" tanya Arnold sulit membendung rasa ingin tahu.

"Dijaga Papa, kaya biasanya," jawab Rama singkat.

Arnold mengangguk-angguk. "Lo enggak tinggal sama orang tua aja, gitu?"

Rama menggeleng dan berkata, "Papa pengin gue fokus kuliah. Lo tahu sendirilah, namanya orang tua. Biarpun butuh banget kehadiran kita, tetep sebisa mungkin enggak mau ganggu. Kitanya aja yang kudu inisiatif, sesekali nengokin."

Arnold mengangguk-angguk membenarkan. Dia tidak mampu menahan pikiran yang melesat menuju keluarganya di rumah. Arnold merasa bersalah karena berada jauh dari mereka, tidak bisa memberikan dukungan di saat-saat sulit seperti ini.

"Seenggaknya, lo beruntung, Ram. Masih bisa kumpul sama keluarga. Lah gue? Mana cukup duit gue buat boyong keluarga ke sini?" cetus Arnold sambil menepuk bahu Rama, berusaha menguatkan.

Rama tersenyum tipis. "Lo bener, sih," gumamnya lirih.

"Memangnya, mama sakit apa, Ram?" tanya Arnold agak tidak enak hati tetapi merasa sangat perlu menunjukkan perhatian.

Rama menghela napas berat sebelum menjawab, "Kanker serviks."

Hati Arnold terasa hancur mendengarnya. Arnold yakin Rama adalah orang yang kuat dan tangguh, tetapi berita tersebut sangat mengguncangnya. Dia tidak bisa membayangkan penderitaan yang dirasakan oleh Rama dan keluarga.

Mata Rama sudah mulai berkaca-kaca. Arnold jadi merasa bersalah dan khawatir. "Maaf. Gue malah bikin lo tambah sedih, ya? Mungkin ... ada yang bisa gue bantu, Ram? Apa kek?" ujar Arnold gugup.

Rama tertawa kecil dan getir. "Sorry, Nold. Gue memang kadang suka oleng. Berat banget jaga semangat hidup pas lagi sedih dan serba enggak pasti begini. Gue sering bingung, harus ngapain lagi, ya?" ucap Rama dengan suara bergetar.

Arnold memeluk Rama sambil bertutur, "Lo jalani bagian lo, dan percayakan bagian lain ke Papa, Mama, dan para dokter. Jangan ambil beban terlalu banyak, Bro."

Rama seolah mendapati angin segar menyelinap melalui rongga hidung dan menggeliat bebas di sekujur tubuh. Dia merasa lebih ringan dan tanpa sadar tersenyum lega. "Thanks, Nold. It means a lot," kata Rama.

"Nah! Gitu, dong!" seru Arnold ikut lega, "Jadi, apa kabar bala-balamu?"

"Ah, iya! Itu juga yang pengin gue bahas sama elo, Bro!" jawab Rama bersemangat, "Jadi, gue udah nemu komposisi tepung yang pas, nih. Tinggal masalah penampilan, nih. Gue mau bentuknya yang agak beda dari bala-bala biasanya. Biar unik!"

Arnold berpikir sejenak, kemudian menyahut, "Lo bisa tiru kemasannya kukis, deh. Bikin ukurannya kecil-kecil, lo tumpuk beberapa, terus iket pakai tali rami. Taruh di wadah beralas kertas minyak, baru masukin boks bening."

"Ah! Emang otak Michelin lo!" seru Rama girang.

Rama mengajak Arnold segera menyelesaikan sarapan. Dia sudah tak sabar ingin menunjukkan hasil resep terbarunya sekaligus memraktikkan saran Arnold. Arnold mengawasi aksi Rama sambil sesekali memberi masukan. Dia juga menunjukkan tempat memeroleh kemasan berkualitas bagus dengan harga miring.

Satu contoh produk bala-bala terpampang sudah. Rama dan Arnold memandangnya penuh rasa puas. Rama memotret hasil kerja kerasnya sepagian ini dan memamerkannya ke Shinta. Mereka berbincang sejenak melalui pesan WhatsApp. Sesekali Arnold menggoda dengan berpura-pura mencuri baca obrolan keduanya.


THE DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang