"Asli! Lo bucin berat sih, Ram. Lo PD banget ya, naksir ketua OSIS jutek gitu," seloroh Arnold.
"Nah! Kayanya itu bedanya gue sama yang lain, Nold. Kebanyakan cowok tuh, antara kagum sama minder duluan kalau lihat Shinta. Mereka selalu memandang tinggi Shinta karena jabatan atau keenceran otaknya. Ya, gue juga enggak buta sama keduanya, ya. Cuma, saat jatuh cinta sama Shinta, gue belum tahu semua atribut itu," terang Rama.
"Oh, ya? Terus, apa dong, yang bikin lo jatuh cinta?" kejar Arnold tak sabar.
"Hem, jadi ceritanya waktu itu ..." tutur Rama dengan pandangan menerawang yang semakin jauh.
***
Setelah lebih dari satu semester bersekolah, baru kali ini Rama menginjakkan kaki di kantin. Mama yang biasanya menyiapkan bekal, harus beristirahat di rumah sakit usai tumor di leher rahimnya diangkat.
Sebelumnya, Rama biasa membuat sendiri roti lapis sebagai bekal. Namun, hari ini dia kesiangan dan persediaan bahan di kulkas banyak yang kosong. Rama lupa berbelanja menggantikan Bibi Isah yang beberapa hari ini bolak-balik dari rumah ke rumah sakit.
Rama berdiri mematung sambil memegang nampan berisi semangkuk bakso dan segelas es teh. Dia kebingungan mencari-cari kursi kosong di tengah kantin yang padat itu. Setiap murid di situ seolah sudah memiliki tempat duduk favoritnya masing-masing.
"Eee ... Eee ... Dik Shinta, nanti tetap bisa datang kelas Matematika, kan?" Sebuah suara terbata-bata yang gemetaran membuat Rama menoleh ke arah kanan berjarak dua meja di depan posisinya.
Tampak kakak kelas yang dikenalnya sebagai ketua ekskul KIR sedang kikuk berdiri menghadapi seorang gadis. Gadis berambut kuncir kuda dengan kardigan putih menutupi seragam yang terus menunduk memandang ke arah meja. Kursi kosong di sebelahnya membuat Rama menaruh perhatian.
"Jadi, Kak. Aku cuma maag pagi ini. Habis makan biasanya baikan," jawab gadis itu tanpa melirik lawan bicara. Dia tetap tekun menatap ke arah pangsit abon yang dipegangnya dengan dua tangan. Setelah beberapa saat, gadis itu melahap dan mengulumnya pelan-pelan.
Sang ketua KIR menghela napas super lega, seolah terbang seluruh beban dunia yang sedari tadi bertengger di pundaknya. Dengan gelagapan, dia pamit pergi disambut anggukan tanpa suara dari gadis itu.
Rama senang karena ternyata sang ketua tidak hendak duduk di kursi kosong itu. Dia melangkah ringan menghampiri Shinta. "Kosong? Boleh saya duduk di sini?" tanya Rama ramah.
Shinta mengangkat kepala memandang Rama. Sepasang sinar bening nan jeli yang terarah lurus ke arahnya membuat Rama takjub. Tanpa sengaja, seorang siswa menabrak meja sebelah dan membuat Rama menumpahkan seluruh isi nampan yang dibawanya ke seragam Shinta.
Shinta syok setengah memekik dan segera melepas kardigannya. Rama yang jelas juga kaget merasa sangat bersalah. "Maaf, ya. Aku enggak sengaja," ujar Rama penuh penyesalan.
Rama bergegas ke salah satu gerai penjual dan kembali dengan menyodorkan sebungkus besar tisu. "Ini! Buat bersihin pakaianmu," katanya.
Dengan malas, Shinta menerima dan pergi ke toilet untuk membersihkan diri. Begitu kembali, dia kaget melihat Rama yang baru saja selesai mengepel sisa tumpahan makanan. Rama mempersilakan Shinta duduk kembali dan pamit pergi sebentar.
Kedatangan kapten tim basket kelas satu yang terkenal songong membuat Shinta jengah. Cowok itu menanyakan proposal pengajuan dana untuk seragam baru timnya menjelang kompetisi antarsekolah. Bahasa tubuh Shinta sangat menunjukkan bahwa dia sudah malas meladeni. Sang kapten terus saja mendesak agar Shinta membantu proposal itu disetujui kepala sekolah.
Rama datang meletakkan nampan di atas meja dan mengangsurkan semangkuk bakso beserta segelas teh hangat ke hadapan Shinta, lalu menggeser nampan yang masih memuat bakso dan teh lain itu ke meja sebelah Shinta, tempat Rama kemudian duduk.
"Makan dulu, Shin. Jangan telat lagi," ajak Rama.
Seperti mendapat angin segar, Shinta segera menyesap teh hangat tanpa memerdulikan cowok yang berdiri di dekatnya. Sang kapten jadi kesal dan menyingkir. Shinta melirik ke Rama dan mereka berdua pun tersenyum geli.
"Makasih, ya," ucap Shinta tulus, "Eh, maaf. Jadi, aku minum beneran ini."
"Enggak apa-apa. Memang buat kamu, kok," tukas Rama yang air mukanya berubah jadi lebih serius, "Sudah tahu maag, malah makannya cuma pastel abon. Irit boleh, tapi jangan kesehatan yang diirit."
Shinta tersenyum malu dan menyahut, "Iya, deh. Eh, ini besok aku ganti, ya. Hari ini aku enggak bawa uang saku lebih."
"He? Awas ya, kalau besok berani ganti!" sergah Rama, "Mending besok uangnya kamu pakai beli makanan yang bener. Biar enggak ada alasan maag lagi!"
Lagi-lagi Shinta tersipu. Dia menusuk sebuah bakso dan menggigitnya sedikit-sedikit sambil melirik Rama yang tampak asyik menikmati hidangan. Tanpa disangka, Rama menoleh kepadanya.
"Hati-hati! Tuh bakso bisa nyemplung ke teh," kelakar Rama.
Shinta tertawa dan pura-pura memalingkan muka dari Rama untuk berkonsentrasi menghabiskan bakso. Rama jadi gemas melihatnya dan ingin mengganggu. "Jadi, kamu apanya OSIS sih, kok berkuasa buat kasih dana seragam basket?" tanya Rama.
Sendok Shinta menggantung, tak sempat menyentuh bibir. "Ketua II. Enggak berkuasa, sih. Makanya, aneh aja dia maksa aku bujuk kepsek biar kabulin proposalnya," jawab Shinta cemberut.
"Oh ... Pejabat tertinggi di kelas satu, ternyata," sahut Rama manggut-manggut.
"Hem, jadi aku enggak seterkenal itu, ya?" gumam Shinta.
"Eh? Bukan, sih. Ini aku aja yang kuper," cetus Rama buru-buru, "Percaya enggak, kalau ini pertama kali aku ke kantin?"
Kedua manik cokelat muda itu kembali membulat saat sang empunya bertanya takjub, "Serius?"
Rama suka sekali menyaksikan pemandangan itu. Dia jadi terus mencari bahan obrolan agar tetap bisa menangkap cercah-cercah cantik yang berkilau di sepanjang obrolan mereka hingga bel masuk berdentang.
***
"Berarti lo sejak awal tahu dong, dia anak KIR dan OSIS?" cecar Arnold.
"Iya. Tapi, bukan itu yang pertama kali bikin gue tertarik. Matanya itu, lo," jelas Rama.
"Jadi, lo cowok yang lebih lihat fisik daripada otak dan kepribadian?" ejek Arnold.
"Enggak juga," elak Rama, "Justru, dia memang harus cerdas dan punya jiwa kepemimpinan yang tinggi biar bisa punya sorot mata setajam itu."
"Ah! Ngeles aja lo kaya pinjol," semprot Arnold, "Intinya, lo bucin! Enggak ada niat cari pandangan lain? Secara, lo digantungin gitu sama Shinta."
"Gue memang enggak pernah dekat sama cewek lain sebelum dan sesudah Shinta. Lagian, memang enggak butuh, sih. Semua yang gue mau ada di Shinta," lanjut Rama.
Arnold berdecak sambil menggeleng-geleng. Dia menatap sungguh-sungguh ke Rama saat berkata, "Shinta pernah keluarin pernyataan enggak sih, yang bikin lo seyakin ini nunggu dia? Kalau enggak, asli gue kasihan sama lo, Ram."
"Ada, dong. Lo kan belum tahu soal momen spesial itu," kilah Rama.
"Momen apa?" balas Arnold segera.
Rama tersenyum-senyum sambil bilang, "Nanti malam aja, ya. Aku harus siap-siap kuliah, nih."
"Ah! Begini lagi, deh," keluh Arnold.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DESSERT
RomanceRama dan Sinta sudah bertahun-tahun menjalankan tradisi makan malam setiap 14 Februari. Dan keduanya selalu saja tergelak mengingat momen-momen lucu yang pernah mereka alami semasa SMA. Tapi makan malam kali ini terasa berbeda dari biasanya. Apa yan...