02. Support Character

29 4 6
                                    

Pernahkah kalian berpikir? Bagaimana bisa sekumpulan siswa dapat tak menyadari suatu hal?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pernahkah kalian berpikir? Bagaimana bisa sekumpulan siswa dapat tak menyadari suatu hal?

Mereka terkenal, namun denial. Orang-orang pun tak mengira sama sekali jika mereka tidak menyadari satu hal.

Lalu, pernahkah kalian bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang siswa yang sangat amat menyadari kenormalan dalam penampilan serta gaya hidupnya dapat terlibat dalam kelompok berisikan siswa-siswa mencolok?

Awal mula, akan kuceritakan. Suatu hal yang mungkin membuat kalian kurang percaya serta merasakan bahwa diriku telah mencurangi kehidupan.

~◇☆♧$♡!¿♤~

Namaku Rendi Arrifin Aksa, kelas Sepuluh MIPA Tiga. Hari ini adalah kali pertama kegiatan belajar mengajar. Kenapa aku menyebutnya seperti itu? Karena kemarin adalah neraka bagiku.

Jujur, aku benci masa orientasi siswa. Namun, aku tak bisa menyuarakan hal tersebut sama sekali. Itu hanya pendapat pribadi, tak perlu dimasukkan ke dalam hati.

Kini hanya menikmati posisi nyaman duduk sendirian pada bangku kelas. Beberapa siswa baru datang. Namun, aku tak mempedulikan mereka.

Aku punya impian untuk hidup normal selama menempuh jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas. Karena itu sudah pasti tak akan mengganggu rutinitas dalam belajar dan menggapai nilai akademik yang memuaskan. Aku tak ingin lagi menjadi siswa yang disibukkan padatnya kegiatan organisasi siswa intra sekolah.

Maka, sudah sangat jelas alasanku untuk menjadi murid normal. Tak ada tindakan mencolok. Tidak akan ada siswa ingin bergantung padaku. Menjadi NPC atau Non Playable Character sangatlah nyaman. Mungkin, bahasa awamnya karakter sampingan.

Aku dapat mengetahui istilah itu karena sebenarnya gemar bermain video permainan. Wajar rasanya jika lelaki menyukai hal tersebut.

"Ren!!! Gila, ga nyangka kita sekelas."

Kurasa, aku sangat mengenal suara ini.

"Kemarin pas di barisan, kau pasti asik ngobrol atau kenalan sama yang lain," balasku datar keheranan.

"Mungkin? Wkwkwk santai aja napa, masih pagi ini, tinggi amat itu muka, wkwkw."

Namanya Mikael Febrian. Biasanya bakal kupanggil Kael. Kami sudah berteman sejak SMP. Maka daripada itu, aku paham ancamanku saat ini.

Dia memang sosok yang mudah tersorot. Humble and friendly, sudah pasti akan dipuja-puja oleh banyak murid, terutama kaum hawa. Aku sadar karena mengingat ia adalah siswa terpopuler saat SMP.

Lalu, mengapa aku menyebutnya ancaman?

Hal ini sangat kontradiktif dengan tujuan saat ini. Meskipun begitu, pasti akan menimbulkan pertanyaan. Kenapa aku bisa akrab dengan dia?

Reputation Research GroupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang