Bab 38 ~ Uhubbuki Fillah

617 78 4
                                    

Buah-buahan di hadapannya telah tandas. Quinsha beranjak menuju kulkas. Ditatapinya satu persatu makanan dan minuman di lemari pendingin itu. Kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Di antara deretan makanan, tersimpan buah kesemek di dalam kantong plastik kedap udara. Buah ini baru datang tadi sore. Dia mengambilnya satu. Menimang-nimangnya. Membaui aromanya. 

Warnanya kuning agak orange cerah. Kelopak buahnya masih hijau segar lengkap dengan tangkai dan daunnya. Kiranya tidak berlebihan jika dia ingin memetiknya langsung dari pohonnya. Masyaallah, Yang Menciptakan bumi demikian luas. Dia Zat Yang Mempergilirkan musim. Di saat buah ini sulit ditemui di Indonesia, di negeri lain justru sebaliknya. 

"Ya, ciumi saja terus," sindir Reza tiba-tiba. 

Ops!

"Tidak usah dimakan biar awet."

"Aromanya khas, Al. Mau coba?" sahutnya tanpa peduli dengan kalimat-kalimat provokatif Reza. Quinsha menjauhkan buah di tangannya dari hidung. Mengulurkannya pada Reza.

"Nggak. Kesemek aja kok diciumi segitunya? Lebih harum durian."

"Memang, sih, tapi ya, masa mau nyiumin durian. Ntar hidungku ketusuk durinya gimana?" Quinsha lalu menghampiri Reza. 

"Al, kamu ngiri sama kesemek ya?" 

"Nggak," jawabnya pendek.

"Iya. Pasti jealous pada orang yang ngantar buah ini." Quinsha melempar tebakan dengan hati berbunga-bunga. Ibarat taman, seluruh bunganya bermekaran. Harum semerbak dan indah. Dia harus membuktikan sesuatu.

"Nggak!" sambarnya tegas, "Bisa-bisanya ngira begitu. Aku nggak jealous. Berapa kali harus kubilang. Aku biasa aja tuh."

"Biasa apanya? Kalimat-kalimat Mas mengindikasikan kecemburuan. Mas nggak rela liatin aku ciumin buah ini."

"Aku nggak bilang kalo aku nggak rela." Dia masih membantahnya. Padahal wajahnya merona. Tampak malu, "Aku justru nyuruh sebaliknya. Nyuruh kamu ciumin buah itu."

"Mas nggak usah jealous. Bukan dia yang susah-susah cari kesemek sampai ke negeri China. Dia cuman nganterin aja kesini. Semalam dia nggak nyampaikan sesuatu tentang buah ini?"

"Nggak. Dia nggak bilang apa-apa. Kami saling menanyakan kabar. Kemudian membahas aktivitas dia di BSMI --Bulan Sabit Merah Indonesia, lalu aktivitas BSMI di Langsa untuk menolong muslim Rohingya—" Nada suara Reza kembali normal. Sepertinya kadar cemburunya menurun.

"Nah, kan... Bener kan... tebakanku. Buktinya begitu kubilang dia sekedar penyampai amanah... Mas Reza kalimatnya lebih manis," Quinsha tertawa penuh kemenangan, "Apa susahnya, sih, ngaku? Mengaku cemburu itu sama dengan membuat pernyataan cinta, lho, Mas—" lanjut Quinsha yang telah selesai mengupas kesemek. Dia memasukkan sepotong buah asal negeri panda itu ke mulutnya. Menanti jawaban Reza.

"Ya, aku cemburu. Kesemek yang aku beli bareng Bang Arya ga kamu ciumin sebegitunya. Giliran kesemek dari dia. Hemh!" Reza mendengkus, "Sekarang sudah puas tahu aku jealous?"

"Puas... puas..." Quinsha tersenyum lebar. Kesemek yang diributkan sudah dikupasnya.

"Ehm, jadi begini ya... jealous-jealous di rumah tangga mantan aktivis kampus ya? Adanya cuma kesalahpahaman saja. Nggak sampe kejadian yang selingkuh-selingkuh... apalah, apalah. Lucu juga," lanjutnya sambil manggut-manggut tersenyum.

"Padahal barusan itu karena gemas saja lihat warnanya sama wanginya. Nggak terlintas sedikit pun kalo hal seperti itu bikin kamu cemburu. Tapi nyatanya bisa ya? Hehehe... Aku suka dicemburui dengan hal-hal begini," Quinsha menggigit sepotong kesemek. Reza hanya memandangi tanpa komentar.

"Masyaallah, manisnya." Quinsha mengubah objek pembicaraan. 

Quinsha tidak tega juga membiarkan suaminya menelan ludah menahan rasa. Dia melihat jelas jakunnya bergerak, Quinsha mengulurkannya seiris. Reza bergeming.

"Nggak usah sok gengsi, Mas!" Akhirnya Quinsha menyuapinya. Kesemek bekas gigitannya. Seiris berdua.

"Enak?"

"He-em."

"Lagi?"

Reza mengangguk dengan mulut penuh.

"La, kok, doyan? kemarin ditawari ga mau." 

"Kemarin itu stoknya dikit. Kalo sekarang kan banyak?" Wajahnya menggurat tawa.

"Ya, kamu benar. Ini bisa sampai seminggu." Quinsha dikirimi 3 kg buah percimmon oleh Bu Endah dan yang mengantar adalah putranya.

"Queen. Kamu belum cerita kronologis buah itu sampai pada kita." 

"Aku cerita ke Yasmeen kalo pengin banget makan percimmon. Dia juga tau kalo aku lagi hamil muda. Jadi, ya... aku dibelikan banyak begini. Qadarullah, ibunya juga ada di sana." 

"Namanya siapa, Queen?"

"Yasmeen."

"Nama yang indah. Apa seindah orangnya?" 

"Ya. Dia cantik."

"Kok mami nggak pernah ngasih tau."

"Tau apa, Al?"

"Yasmeen. Putri cantiknya Tante Een itu."

"Untuk apa?" Quinsha berusaha mencerna kemana arah pertanyaan-pertanyaan itu bermuara. 

"Biasanya kan para ibu-ibu itu suka menjodoh-jodohkan anak-anak mereka dengan anak-anak sahabatnya—"

Demi mendengar kalimat yang dilontarkan Reza. Quinsha langsung menghentikan kunyahannya. Simpul-simpul syaraf otaknya langsung tersambung dengan cepat. Sangat cepat malah.

"Oh, jadi kamu pengen dijodohkan dengan dia?" 

"Itu kesimpulanmu, lho." Reza tertawa-tawa.

"Kamu menggiring opini ke sana, Al!"

"Nggak. Pada faktanya memang begitu. Perjodohan itu nyata adanya. Bukan cuma di novel-novel dan sinetron."

"Itu sama artinya kamu ingin dijodohkan dengan dia? Iya kan, Al?"

"Nggak."

"Trus kenapa tadi nanya-nanya namanya? Cantik enggaknya?"

"Memangnya nggak boleh?"

"NGGAK BOLEH!"

"Kenapa?"

"Gitu masih nanya," sahut Quinsha enggan menjawab. Wajahnya memerah, tentu saja bukan karena kepedasan.

"Uhubbuki fillah, My Queen." 

Quinsha Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang