Menjelang pergantian siang dan malam. Langit tidak hanya menyajikan biru sebagai batas pandang terjauh dan putih untuk awan yang melayang. Kini ada merah menyala berbaur dengan kuning yang terang. Lengkung langit didominasi jingga yang mengitari separuh bola raksasa yang nyaris terbenam. Senja yang indah. Reza berdecak kagum. MasyaAllah Laa hawla walaa quwwata illa billah! Di ujung senja ini, tentu semakin sempurna bila ada Quinsha di sisinya. Berdua menyaksikan matahari tenggelam dari balkon kamar mereka di Madinah Hotel. Reza mengulum senyum.
Alhamdulillah, perjalanannya lancar. Tidak ada sesi delay. Tidak ada macet sepanjang Gempol—Malang. Taksi yang ditumpanginya melambat begitu memasuki jalan Bandung dan berbelok menuju Batujajar. Rumah bercat putih dengan beberapa pokok mangga di halamannya itu tertutup rapat. Fortunernya terparkir manis di garasi. Quinsha keluar?
"Sebentar, Pak!" pamitnya pada sopir taksi.
Reza turun mengecek pintu pagar. Benar terkunci. Dia pun memeriksa ponselnya. Tidak ada pesan masuk dari istrinya itu. Ke mana? Apa sudah ke MH dulu? Reza mencoba menghubungi Quinsha. Ada nada sambung, tapi tidak diangkat. Dia mengulanginya. Lagi. Dan lagi. Hemh! Quinsha ya? Mau dibelikan ponsel terbaru pun bakal sia-sia kalau dia sembrono menaruhnya. Tetap saja tidak bisa dihubungi setiap saat.
"Mas, turun sini atau bakal naik lagi?" terdengar sedikit tidak sabar.
"Naik lagi, Pak! Kita kembali ke Jalan Bandung!"
Reza mengaktifkan fitur pelacak. Asalkan Quinsha tidak mematikan ponselnya, InsyaAllah dia bisa dilacak. Ya! Tanpa sepengetahuan istrinya itu, dia memasang GPS tracker di ponsel Quinsha. Bukannya dia tidak mempercayai istrinya. Dia sangat mempercayai Quinsha, hanya saja, istrinya itu sering lupa menaruh ponselnya.
Reza menatap layar ponselnya. Hah? Jam segini Quinsha masih di Matos? Yang bener aja! Ini mau Maghrib. Astaghfirullah, Quinsha? Demi apa coba? Berkali Reza menggelengkan kepala tidak percaya. Ada sedikit kecewa menyusup. Buyar sudah angan indahnya beberapa saat lalu.
"Kita berhenti di Matos, Pak!"
Dari Batujajar ke Malang Town Square (Matos) jaraknya memang tidak seberapa jauh. Tidak lebih dari satu kilometer. Meskipun dekat dan berada di jalur lalu lintas menuju kampus, tetapiQuinsha termasuk jarang mengunjunginya. Kalaupun mengunjunginya, ya seperlunya saja. Tidak sampai berlama-lama menyusuri tiap lantai. Apalagi kalau hanya untuk cuci mata. Itu tidak ada dalam kamus Quinsha. Sekarang dia lebih suka berbelanja online. Nah, jika sampai jam segini Quinsha masih di Matos, itu artinya, ada sesuatu yang sangat dibutuhkannya sekarang. Tapi apa tidak bisa jika ditunda satu-dua jam sampai suaminya datang?
Taksi berhenti tepat di depan Matos. Reza terdiam sesaat memandangi bangunan raksasa yang menyembunyikan istrinya. Lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Dia tampak enggan memasukinya. Di ufuk barat, pendar cahaya jingga semakin suram. Langit di atasnya pun semakin gelap. Kumandang murattal mengiringi langkahnya menuju bangunan berkubah di sisi barat Matos. Magrib masih sekitar sepuluh menit lagi.
Reza bersila di teras masjid. Tidak tenang. Pikirannya terfokus pada Quinsha. Dengan wajah suram dia mencoba kembali menelpon Quinsha. Bismillah, Semoga diangkat! Dia sangat berharap Quinsha menjawab panggilannya. Seberapa pun cerobohnya Quinsha, dia ada dalam amanahnya. Reza tidak bisa abai begitu saja. Adalah kewajiban Reza untuk terus-menerus mengingatkannya. Menasihatinya.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam," jawab Reza setenang mungkin. Ada sedikit bahagia menyelinap. Sisanya adalah gusar. Astaghfirullah! Hemh, sabar, sabar!
"Whuaa... senengnya! Mas Reza sudah di mana, nih?"
"Di Ibnu Sina." Jawab Reza datar. Sepertinya dia tidak bisa menahan diri
KAMU SEDANG MEMBACA
Quinsha Wedding Story
SpiritualAssalamualaikum Untuk teman-teman pembaca baru, Part 1-26 bisa dibaca di play store. Yang dipublikasikan ini adalah lanjutan kisah mereka setelah menikah. Dulu ada di novel berjudul Quinsha Project. Nah, sekarang diunggah ulang dan jadi satu dalam...