Memiliki keluarga besar utuh, harmonis, dan saling peduli tidak selamanya menyenangkan. Adakalanya itu terkesan mengintervensi, sampai-sampai seperti kehilangan otoritas sebagai suami dan istri seperti yang dirasakan Reza dan Quinsha.
"Skripsi Caca sudah selesai. Al besok juga sudah boleh pulang. Menurut Mama, kalian sebaiknya besok ikut pulang ke Jakarta," saran Mama Anna.
"Iya, Al, sebaiknya begitu. Hamil trimester pertama itu berat, lho, buat Caca. Kalo kalian di Jakarta, ada Mami sama Mama Anna. Di Jakarta, Caca bisa lebih terurus. Dia di sini tampak lebih kurus dari awal nikah. Dan kamu, pemulihannya bisa lebih cepat karena ada mami dan mama."
Ibu kandung dan ibu mertuanya rupanya telah membuat skenario untuk mereka.
"Skripsi Caca masih ada revisian dikit, Ma. Insyaallah nanti kalau sudah beres urusan perskripsian, Caca dan Mas Reza bakal pulang." Quinsha menyatakan ketidaksetujuannya pada ibunya.
"Masa ga bisa dikerjakan dari Jakarta?"
"Bisa, sih, Ma, tapi nanti yang mengantas ke kampus siapa? Daripada mondar-mandir Jakarta-Malang, lebih baik Caca sedikit lebih lama di sini," sahutnya membela diri.
"Apa tidak bisa minta tolong teman-temanmu untuk mengantar ke kampus?" Mama Anna yang hidupnya tidak pernah mau kesulitan, memberi saran yang tidak patut diikuti oleh Quinsha.
"Ga bisa, Ma. Ini soal tanggung jawab dan etika." Meskipun Quinsha menjawab dengan suara rendah, tetapi nada kesal itu tetap ada.
"Mami dan Mama, aku dan Caca pasti pulang ke Jakarta, tapi tidak besok. Ini keputusanku. Oke?" putus Reza tegas.
"Mama dan Tante, apa tidak sebaiknya kita kembali ke hotel? Kasian Caca. Dia butuh istirahat setelah sidang skripsi tadi." Zaki menyelamatkan suasana yang mulai tidak kondusif itu.
"Sebentar lagi, Mama pulang. Bukan begitu Jeng Farah?" tanya Mama Ana pada besannya. Mami Farah mengacungkan jempolnya.
"Betul. Begini, Al." Obrolan kembali tanda-tanda serius, "Nanti kalau kalian kembali ke Jakarta, kamu dan Caca bisa langsung ke rumah. Di rumah sepi, sejak Syafa Syifa boarding school."
"Langsung ke rumah mama saja, Al. Zaki sekarang lebih suka tinggal di Harapan Makmur. Langit sama Luna sejak punya mommy, jarang main ke rumah. Mama juga kesepian. Kalau ada Caca, mama punya teman ngobrol. Oh ya, satu lagi. Mama paling tahu makanan kesukaan Caca. Mama juga paling tahu yang terbaik bagi calon cucu Mama."
Quinsha hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bagaimana bisa kedua sosok ibu di depannya ini saling memperebutkan dirinya dan Reza. Apa dikira masih bocil dan belum layak menikah? Quinsha memberi kode dengan tatapan mata tajam pada Reza, tetapi sia-sia.
"Mama..." sela Quinsha lembut.
"Kamu bakal tinggal bersama Mama kan? Mama lebih tahu makanan kesukaanmu." Mama Anna bergeser duduknya di samping Quinsha.
"Bukan, bukan begitu, Ma, juga Mami," elak Quinsha, "Begini, meskipun Caca masih muda dan dalam pandangan Mama sama Mami belum sempurna menjadi istri, Caca mohon diberi kesempatan untuk belajar menjadi istri, sebenar-benarnya istri. Dan, kesempatan belajar menjadi istri itu hanya efektif bila dilakukan bersama suaminya saja," pungkas Quinsha. Namun, di dalam hatinya dia melanjutkan kalimatnya dengan tanpa campur tangan orang ketiga.
"Caca betul, Mi. Aku juga perlu belajar menjadi suami dan imam yang baik bagi Caca dan anak-anakku nantinya. Jadi, nanti kami langsung menempati rumah baru."
"Tidak bisa begitu, Al." Mami Farah menyampaikan ketidaksetujuannya.
"Bisa, Mami, karena aku kepala rumah tangganya," sahut Reza tetap santun. Ia mengucapkan kalimat ini dengan suara Reza tetap lebih rendah dari suara ibunya.
**
Setelah duo mama kembali ke hotel, ruang rawat inap Reza kembali sepi. Reza sudah pindah tidur di bed diperuntukkan bagi keluarga pasien.
"Menikah itu juga menambah masalah ya, Mas? Bisa-bisanya mama sama mami seprotektif ini pada calon cucunya."
"Ladang amal itu, Queen. Gimana caranya kita menolak ide-ide mereka, tapi tetap dalam batas-batas kesopanan. Jangan sampai membuat sakit hati."
"Betul. Padahal kalo nurutin nafsu, maunya dah ikut bersuara keras juga."
"He-em," sahut Reza dengan gumaman, "sepertinya ke depan, konflik-konflik kecil bakal datang dari para ibu itu."
"Sepertinya begitu, lalu dari orang-orang di masa lalu, mungkin. Terutama orang-orang dari masa lalu kamu, Al. Kalau masa laluku sudah semua kan? Ada Akmal sama Irfan."
"Masa laluku sama bersihnya dengan masa lalumu, Ca. Nggak ada itu pacaran-pacaran. Aku juga ga tebar pesona ke sana ke sini."
"Bisa jadi, masalah akan datang dari orang-orang yang akan kita temui sepanjang perjalanan."
"Semua itu ga usah kamu khawatirkan. Lingkungan kerjaku sehat. Seluruh anggota tim, aktif mengikuti kajian intensif. Lingkungan pertemananku, apalagi. Mereka yang mengaktivasi kegiatan-kegiatan kajian di lingkungan kantor. Insyaallah, semuanya dalam perlindungan Allah."
Quinsha mengiyakan. Hanya saja, mustahil sebuah rumah tangga berjalan mulus seperti di atas jalan tol. Pasti ke depan akan dia temui masalah-masalah kecil. Semoga mereka berdua bisa melaluinya dengan selamat. Seperti yang Reza bilang di awal pertemuan mereka pasca menikah, adanya masalah adalah untuk menguatkan iman.
"Ca, barakallah, untuk nilai sempurnanya. Padahal jelas tidak mudah mengerjakan skripsi dengan kondisi pikiran terdistraksi. Bercabang-cabang sampai kaya dahan dan ranting beringin."
"Banget, Al. Apalagi pas jelang nikah, lalu kamu datang keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya, kamu mengambil sebagian besar waktuku, wuih... rasanya tidak bisa kugambarkan, dan aku harus beradaptasi lagi dengan semuanya. Nah, pasca nikah itu, konsultasiku mulai berdarah-darah. Padahal sebelum nikah, konsultasiku beres-beres aja. Sampai-sampai Bu Endah selalu memintaku untuk lebih fokus. Fokus, Quinsha, fokus!"
"Sampai seperti itu? Kupikir semuanya baik-baik aja. Proses menggarap skripsimu tidak terganggu karena kita LDR."
"Justru karena kita LDR, menjadi tidak baik-baik saja, Al. Ih, gimana, sih?" Quinsha gemas dengan Reza yang benar-benar tidak peka. Bisa-bisanya menganggap semua baik-baik saja?"
"Gimana apanya, Ca?" Reza mengerutkan keningnya, "Kalo LDR, praktis aku tidak mengambil waktu-waktumu kan? Kamu bebas mau garap skripsi di mana saja dan kapan saja. Mau begadang semalaman juga bisa."
"Secara harfiah memang tidak, Al, tapi masuknya kamu di kehidupan aku, itu yang bikin gagal fokus. Gimana bisa fokus kalo kamu betah seliweran di sini." Quinsha menunjuk pelipisnya. "Tiap aku mau makan, mau tidur, dengar azan, mau ini mau itu, ingatnya kamu terus. Mau ngetik, bolak-balik ngelirik hape berharap di telepon. Akhirnya ambyar deh."
"Masyaallah, ini pernyataan cinta versi lain ya, Ca?" Reza merangkum kedua tangan Quinsha, membawanya dalam dekapan.
"Yaiyalah, Al. Eh, memangnya kamu ga kepikiran aku?"
"Kepikiran, sih, tapi tetep bisa fokus. Saking fokusnya dan biar ga kepikiran kamu, kalo pekerjaan hari Selasa bisa diselesaikan Senin, aku selesaikan Senin. Selama tidak ada jadwal meeting, aku usahakan lebih awal bisa pulang ke sini."
Quinsha tentu saja ingat, suaminya beberapa kali datang Rabu malam, padahal seharusnya Kamis atau Jumat malam.
"Itu bagian dari pernyataan cinta yang lain juga 'kan? Act of service?"
"Hei, sejak kapan Anda mempelajari love language?"
Quinsha hanya terkekeh.
Begitulah kehidupan rumah tangga mereka. Obrolan mereka setiap harinya cenderung random dan bikin baper yang baca.
**
Assalamu'alaikum
Terimakasih sudah menanti lanjutan kisah Quinsha setelah menikah. Oya, kalau cerita ini tidak upload tiap hari, artinya masih dalam proses pembuatan :) dan tidak ada di versi lamanya. terimakasih sudah bersabar dan terus membaca kisah ini.
Wassalam
Kak Nia
KAMU SEDANG MEMBACA
Quinsha Wedding Story
SpiritualAssalamualaikum Untuk teman-teman pembaca baru, Part 1-26 bisa dibaca di play store. Yang dipublikasikan ini adalah lanjutan kisah mereka setelah menikah. Dulu ada di novel berjudul Quinsha Project. Nah, sekarang diunggah ulang dan jadi satu dalam...