[30] Hari Kelulusan!

433 52 2
                                    

***

Tentang seorang gadis kecil yang bertemu dengan anak laki-laki yang lebih tinggi darinya. Tentang satu hari kebersamaan yang dipenuhi tawa bersamanya. Tentang ia yang mengajak dia bermain kerumah. Tentang keduanya yang mengabadikan satu momen dengan lensa kamera. Tentang janji anak laki-laki untuk seorang gadis kecil. Tentang perpisahan yang dipenuhi haru. Tentang perjalanan keluar kota yang tak disangka menimbulkan tragedi kecelakaan beruntun. Tentang gadis kecil yang kehilangan ingatannya. Tentang ia yang tumbuh tanpa mengingat kembali masa kecilnya.

"Gimana caranya biar kita bisa terus sama-sama?"

"Sama-sama terus? Nggak bisa. Kecuali kalau kita menikah."

"Menikah itu apa?"

Anak laki-laki itu meringis pelan. Ia juga masih bocah labil yang belum mengerti sepenuhnya apa itu pernikahan.

"Anu—"

"Ah, yaudah. Kita nikah aja sekarang. Yang pentingkan kita nggak pisah-pisah. Aku udah suka sama kamu soalnya." Lontar si gadis kecil dengan polosnya.

Anak laki-laki berumur sekitar 10 tahun didepannya tertawa pelan, menghasilkan kerutan di dahi si gadis kecil.

"Kok ketawa sih?!"

"Jelas aku ketawa. Menikah itu cuma buat orang gede aja. Kita belum bisa. Jadi gini aja...."

Anak laki-laki tersebut menyodorkan kelingkingnya, sembari menunjuk dengan dagu agar si gadis kecil membalasnya. Setelah kedua kelingking mereka bertaut, anak laki-laki itu berucap.

"Kalau udah besar nanti, ayo kita nikah. Aku janji, lho."

Si gadis kecil tersenyum lebar hingga menampilkan gigi-gigi mungilnya. "Oke-oke, aku tunggu."

".... Eh, hampir lupa. Nama kamu siapa?" 

"Azlan. Azlan Nuzula."

"Siapa-siapa?! Coba ulang."

"Maaf , ya, aku harus pulang. Ummi, Abi, aku pasti nyariin."

Hanya satu hari, namun membekas hingga kini.

Azlan Nuzula.

Azlan...

Azl—

Perlahan namun pasti, kelopak mata seorang gadis muda mulai terbuka setelah hampir 3 jam lamanya tertutup rapat. Matanya mengedar memperhatikan sekitar, hidungnya menangkap bau obat, langit-langit ruangan dan dinding-dinding dengan cat putih.

Rumah sakit?

Benar saja. Tak lama seorang dokter mendekat kearahnya.

"Adek sudah siuman ternyata. Masih ingat kejadian sebelum berakhir disini?"

Silmi kenal dokter ini. Dia adalah dokter yang sama yang merawat Maura ketika gadis itu masuk ke rumah sakit. Dokter Rinda.

Ia mengangguk perlahan atas pertanyaan tadi. Silmi ingat semuanya. Semua, bahkan hal yang pernah hilang dari ingatannya, kini kembali mengisi pikirannya.

Sekarang ia tahu, mengapa ada bekas jahitan di keningnya.

Tanpa sadar, setitik air mata turun begitu saja hingga mengenai jilbab bagian telinganya.

Dokter Rinda keheranan. "Ada yang sakit? Biar saya obati."

Namun hanya gelengan yang di dapat. Pandangan mata Silmi terlihat kosong.

Dokter Rinda berinisiatif memanggil sahabat Silmi untuk menenangkan gadis itu. Sepertinya bukan fisik yang sedang terluka, melainkan batin dan hatinya.

Surat Takdir Dari Tuhan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang